Rokok selalu menjadi pro dan kontra antara pihak perokok aktif dengan pasif. Tak hanya itu, embel-embel sektor penyumbang cukai terbesar sampai penyelamat BPJS Kesehatan membuat perokok aktif kian angkuh.

Sejak masa akhir kuliah, saya sempat berasumsi kemunculan beberapa buku pro rokok itu dikomandoi oleh perusahaan-perusahaan rokok yang memiliki cuan segudang. Pasalnya, mayoritas buku bercerita tentang rokok itu seolah ingin melawan kampanye negatif terhadap produk tembakau tersebut.

Bahkan, ada buku yang membahas tentang kretek adalah nasionalisme dan warisan budaya.

Buku yang membahas rokok dan kretek itu bisa jadi tidak salah. Mereka hanya mengambil sudut pandang yang menguntungkan pihaknya, tanpa membeberkan negatifnya.

BACA JUGA : Dharma Samudera Fishing, Kisah Emiten Perikanan di Negeri Maritim

Ibaratnya, penjual produk investasi hanya akan bercerita seberapa besar keuntungan yang akan didapatkan ketimbang seberapa besar risiko yang diterima.

Nah, asumsi saya itu diperkuat oleh penuturan anak penggagas Hari Bumi Sedunia Tia Nelson. Pada peringatan hari bumi 2019, dia menyoroti aktivitas kampanye bohong oleh industri rokok.

Tia menyebutkan, perusahaan rokok banyak melakukan kampanye dengan informasi yang keliru. Tujuannya, perusahaan rokok tengah berupaya melawan regulasi terkait penjualan produk mengandung nikotin tersebut.

“Ada dana besar yang digunakan perusahaan rokok untuk menyebarkan informasi keliru ke publik,” ujarnya.

Hal itu semua mungkin dilakukan demi menjaga kinerja keuangan perusahaan rokok di tengah disrupsi teknologi seperti, kehadiran vape, rokok elektrik.

Perokok Aktif vs Perokok Pasif dan Tagar Generasi Anti Rokok

Pagi ini, Sabtu (04/05/2019), saya sempat melihat #GenerasiAntiRokok sempat menjadi salah satu trending topik Twitter di Indonesia. Sayangnya, tagar itu hanya bertahan beberapa jam saja setelah dikalahkan #AndreTaulanyKufurNikmat sampai #RamadhanKareem.

Entah itu tagar bersifat pemasaran atau bukan, tetapi respons warganet cukup beragam. Suasan pro dan kontra kembali hadir antara pelaku dari perokok aktif dan korban dari perokok pasif.

Saya pun teringat dengan seorang guru Sekolah Menengah Atas (SMA) yang menjelaskan alasannya merokok.

“Kalau bukan demi Indonesia, saya tidak akan merokok,” ujarnya sambil menghisap rokoknya sambil menunggu angkutan umum di halte.

Sentimen nasionalisme itu bisa jadi tidak salah, industri rokok adalah sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja.

Apalagi, tenaga kerja yang diserap adalah warga yang berada di sekitar pabrik rokok tersebut. Jelas, ini adalah sentimen positif untuk membuat sebuah daerah semakin produktif.

Namun, perkembangan teknologi nyatanya membuat industri rokok mulai memangkas tenaga kerjanya. Banyak perusahaan rokok yang menutup pabrik Sigaret Kretek Tangan (SKT).

Padahal, pabrik SKT yang paling banyak menyerap tenaga kerja.

Sejak 2014, PT HM Sampoerna Tbk., PT Gudang Garam Tbk., dan PT Bentoel Internasional Investama Tbk. sudah memangkas tenaga kerjanya hingga ribuan orang.

https://twitter.com/petekan_/status/1124460135256956928

Para perokok selalu punya dalih kebiasaan mereka itu demi menyelamatkan nasib petani tembakau. Padahal, Indonesia melakukan impor tembakau dalam jumlah yang sangat besar.

Jumlah impor tembakau dalam kurun sewindu terakhir dari segi jumlah meningkat 81,99%. Data terakhir, pada 2017 impor tembakau tercatat sebanyak 119.544 ton.

Dari segi nilai, sewindu terakhir sudah melejit 63,35% menjadi US$618,66 juta.

Negara asal impor tembakau Indonesia paling besar berasal dari China sebanyak 56.524 ton. Posisi kedua adalah Brasil sebesar 15.345 ton, sedangkan ketiga berasal dari Amerika Serikat (AS) sebanyak 7.414 ton.

Senjata Laten Para Perokok

Meskipun begitu, para perokok aktif masih memiliki beberapa senjata laten yang membuat mereka bangga. Salah satunya adalah kontribusi cukai rokok terhadap pendapatan negara.

Tidak bisa dipungkiri, pendapatan cukai rokok sangat besar. Pada 2018, pendapatan cukai rokok senilai Rp153 triliun. Nilai itu sudah melejit sebesar 196,97% dalam 10 tahun terakhir.

Hal itu pula yang membuat munculnya kalimat, “rokok, cukainya dinikmati bersama, tetapi ada diskriminasi untuk perokok.”

Para perokok makin kian bangga menghembuskan asapnya ke perokok pasif setelah pemerintah menggunakan cukai rokok sebagai dana penyelamat BPJS Kesehatan.

Pada Oktober 2018, Presiden Ke-7 Indonesia sudah menandatangani peraturan presiden terkait pemanfaatan cukai rokok demi menutup defisit BPJS Kesehatan.

Lalu, berapa besar dana dari cukai rokok yang bisa digunakan untuk menambal defisit BPJS Kesehatan?

Dana yang bisa digunakan untuk kesehatan adalah pajak dari cukai rokok. Nilai pajak cukai rokok sebesar 10% dari total cukai tersebut.

Jika, realisasi pendapatan cukai rokok 2018 senilai Rp153 triliun, berarti pajak cukai rokok senilai Rp15,3 triliun.

Jumlah itu tidak bisa digunakan seluruhnya untuk BPJS Kesehatan. Pasalnya, hanya 50% dari pajak cukai rokok yang bisa digunakan untuk kesehatan yang artinya sekitar Rp7,5 triliun.

Lalu, nilai Rp7,5 triliun itu pun tidak bisa digunakan sepenuhnya oleh BPJS kesehatan. Pasalnya, pajak cukai rokok itu juga diserap oleh program kesehatan pemerintah daerah.

Jika digunakan separuh dana itu alias sekitar Rp3,75 triliun tidak akan mampu menambal defisit BPJS kesehatan. Sepanjang 2018, defisit BPJS kesehatan senilai Rp10,25 triliun.

Alhasil, defisit BPJS Kesehatan sepanjang 2018 diselamatkan dengan dana cadangan Anggara Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Perokok Aktif yang Harus Sadar Diri Bukan Perokok Pasif yang Mengalah

Salah satu postingan media sosial Kumparan menceritakan di Jepang ada perguruan tinggi yang tidak bakal merekrut dosen yang merokok. Tujuannya sebagai upaya mendidik sumber daya manusia agar tidak merokok dan sterilisasi kampus dari asap rokok.

Salah satu warganet mencoba berkomentar netral mengatakan, perokok aktif wajib memperhatikan hak dari perokok pasif, begitu juga sebaliknya. Sayangnya, pemerintah cenderung menganaktirikan perokok aktif.

Pasalnya, kawasan tanpa rokok (KTR) dibuat, tetapi tidak diiringi dengan pembangunan fasilitas untuk perokok.

Dia merasa karena pemerintah belum menyediakan pembagunan fasilitas untuk perokok sehingga perokok aktif bisa bebas menghirup dan menghembuskan asap dimanapun.

Ini ibarat pengguna kendaraan pribadi yang enggan naik transportasi umum karena dinilai belum memadai.

Alhasil para perokok aktif dengan cuek mengeluarkan asap rokoknya dimana pun itu. Ketika mulutnya asam, di ruang terbuka ramai pun dengan percaya diri menghirup tembakau yang dibakar tersebut.

Para perokok aktif tidak peduli dengan nasib orang sekitar dari ibu hamil, anak-anak, atau orang yang memiliki sakit pernapasan.

Seperti di Stasiun Karet, Jakarta Pusat, sampai di Braga, Bandung, sambil berjalan, para perokok aktif dengan enaknya menghembuskan asap rokoknya tersebut.

Seolah tidak punya etika dan empati dengan orang sekitarnya.

Padahal, sifat nikotin dalam rokok ini bisa menempel di pakaian atau benda-benda lainnya. Hal itu bisa melahirkan korban pecandu rokok pihak ketiga.

Berhasil di Dunia Olah raga, tetapi Gagal di Dunia Pendidikan

Apakah kalian tahu alasan pergantian sponsor Indonesia Open Super Series Premier 2014 dari Djarum menjadi BCA?

Salah satunya terkait implementasi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109/2012 terkait larangan industri rokok menjadi sponsor acara yang dipublikasikan di media massa.

Alhasil, perusahaan yang masih terafiliasi oleh Djarum yakni PT Bank Central Asia Tbk. menjadi sponsor turnamen bulu tangkis cukup bergengsi tersebut.

Hal itu juga berlaku di sepak bola yang memiliki sponsor liga dari Torabika sampai Go-jek dan Traveloka.

Sayangnya, genosida publikasi rokok itu tidak berlaku di dunia pendidikan, terutama perguruan tinggi. Sampai beberapa tahun lalu, saya masih kerap melihat acara kampus disokong dananya oleh perusahaan rokok.

Alhasil, ketika acara digelar, bakal banyak perempuan penjual rokok yang disebar perusahaan tersebut. Hal itu mungkin menjadi salah satu kontrak perjanjian sponsor dengan penyelenggara acara di kampus agar diberikan sokongan dana.

Negara yang memiliki rasio perokok tertinggi (Data WHO)

NegaraRasio Perokok
Indonesia76,2%
Jordania70,2%
Kiribati63,9%
Sierra Leone60%
Rusia59%
Georgia57,7%
Laos56,6%
Lesotho55,1%
Kuba52,7%
Yunani52,6%

Tak hanya itu, pemerintah sendiri tidak tegas menekankan kawasan kampus dan sekolah adalah kawasan tanpa rokok. Mahasiswa masih dengan nikmatnya duduk merokok.

Begitu juga dengan dosen yang masih menikmati rokok di kampus. Belum lagi, tidak ada aturan ketat penjualan rokok di sekitar sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas.

Seharusnya, ada radius beberapa kilometer untuk penjualan rokok tersebut.

Namun, rasanya agak sulit pula memperketat aturan penjualan rokok.

Saya ingat ketika penerapan gambar ‘seram’ bahaya rokok pun langsung heboh dibahas. Para perokok sampai ada yang menantang siapa yang bakal duluan mati, yang merokok atau tidak.

Dalam hati kecil, yang tidak merokok bisa jadi mati duluan gara-gara perokok aktif merokok sembarang. hehe..

sumber gambar : foto gratis dari Canva

0Shares

3 thoughts on “Perokok Aktif dan Keangkuhan Si Penebar Racun

  1. banyak banget sumber datanya, aku jadi betah bacanya.
    Indonesia makin sakit tidak hanya karena perokok tapi ulah perusahaan rokok yang menyebarkan sponsornya bahkan logo perusahaan rokok tertempel di baju anak-anak yang mendapatkan beasiswa, taulah sendiri.
    miris banget secara tidak langsung anak-anak dijadikan media untuk kampanye rokok. omigot

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Social profiles