Taufik Hidayat kembali membuat kehebohan jagat maya lewat kritik tajamnya ke tunggal putra Indonesia. Beberapa kelompok warganet pun membalas kritik tajam dengan perntanyaan, apakah sang legenda juga bermain konsisten ketika masih aktif bermain? Berikut rekam jejak dan analisis pasang surut karir sang Raja Backhand.

Kritik Taufik berawal dari komentar pelatih tunggal putra PBSI Hendri Saputra pasca kegagalan Indonesia di Piala Sudirman 2019.

Seperti dikutip dari Tempo.co, Hendri mengatakan, anak asuhnya, Anthony Sinisuka Ginting sudah menunjukkan perkembangan. Ginting dinilai telah mengurangi kesalahan saat berada di lapangan.

Permasalahan muncul setelahnya, Hendri menyebutkan, tunggal putra nomor 1 dunia asal Jepang Kento Momota adalah bukan pemain yang spesial. Momota dinilai hanya mengandalkan keuletan dan permainan aman.

BACA JUGA : Kisah Investasi Forex, dari Prospek Cuan Besar Hingga Risiko Penipuan

Taufik pun langsung merespons pernyataan pelatih tunggal putra tersebut.

“Masa Momota dibilang tidak spesial dan hanya bermainan aman? Buktinya dia bisa juara terus. Bagi saya, lebih baik main aman tapi sering juara daripada bermain bagus dan punya mental bagus cuma cepat kalah,” ujarnya.

Pemilik smash Backhand yang keras itu pun memberikan klarifikasi terkait kritiknya itu di akun Instagramnya. Taufik menuturkan, kritik itu adalah hal yang biasa dan bertujuan untuk memotivasi para pemain tunggal putra tersebut.

Di sisi lain, pasca kritik pedas itu, dua anak asuh Hendri Saputra, Ginting dan Jonatan Christie, menciptakan all Indonesian final di Australia Open 2019.

Meskipun begitu, beberapa warganet menilai aksi kritik Taufik ke sektor tunggal putra saat ini tidak pantas. Apalagi, dia mengkritik Hendri yang lebih tua darinya.

Bahkan, ada yang menyebut kalau peforma Taufik juga tidak terlalu konsisten ketika masih bermain.

Nah, bagaimana ya prestasi Taufik Hidayat secara keseluruhan [selain emas Olimpiade 2004 dan Asian Games 2006] dan persaingan dengan kompetitornya ketika masih aktif bermain?

Awal Karir Taufik Hidayat

Seperti dikutip dari situs resmi BWF, Taufik Hidayat mulai aktif bermain pada 1996. Kala itu, dia mengikuti kualifikasi Indonesia Open.

Dia pun berhasil memenangkan pertandingan kualifikasi melawan Hengky Irawan 15-12, 15-3. Namun, dari data BWF tidak ada pertandingan lanjutan yang dilakoni oleh pemuda berumur 15 tahun masa itu.

Pada 1997, Taufik mengikuti turnamen Malaysia Open. Sayangnya, langkah sang legenda harus kandas di babak pertama.

Dia dikalahkan oleh tunggal Denmark Jeroen Van Dijk lewat rubber set 15-7, 8-15, 13-18.

Kandas di Malaysia, Taufik mencoba berkembang lebih jauh di Indonesia Open 1997. Dia berhasil lolos hingga ke babak ketiga.

Sayangnya, di babak ketiga, dia dikandaskan rekan senegaranya Budi Santoso lewat rubber 15-7, 9-15, 5-15.

Karirnya mulai memberikan sinyal ketika umurnya memasuki 16 tahun. Dia berhasil lolos ke semi final Asia Championship.

Di semifinal, Taufik dikalahkan Hermawan Susanto dua set langsung 9-15, 7-15.

Gelar Pertama Taufik Hidayat di Negeri Jiran

Taufik muda mengikuti turnamen tahunan Malaysia Open 1998. Namun, dia belum mampu melangkah lebih jauh di turnamen internasional series [dulu belum ada tingkatan turnamen seperti super series dan sebagainya].

Dia harus mengakui keunggulan tunggal tuan rumah Rashid Sidek lewat rubber set 15-11, 5-15, 8-15.

Kegagalan di Malaysia menjadi tonggak awal karir cemerlang sang legenda, Taufik berangkat ke Brunei. Di Negeri Jiran [tetangga] itu, Taufik berhasil meraih gelar pertamanya.

taufik hidayat

Di Brunei Open, Taufik muda berhasil menjadi kampiun setelah mengalahkan tunggal asal China Dong Jiong lewat rubber set 12-15, 15-3, 15-9.

Selepas juara di Brunei Open 1998, Taufik tidak menjuarai turnamen apapun lagi pada tahun tersebut. Prestasi tertingginya meraih perunggu di Asian Championship 1998 dan semifinal Indonesia Open.

Di kandang sendiri, Taufik hanya mampu sampai semifinal setelah dikalahkan tunggal Malaysia Yong Hock Kin dua set langsung 10-18, 4-15.

Sang Raja Indonesia Open

Tunggal putra Indonesia sudah puasa gelar di turnamen Indonesia Open selama 6 tahun terakhir. Terakhir, Simon Santoso menjadi pemain tunggal putra Indonesia yang menjuarai turnamen yang digelar di Istora Senayan tersebut.

Lalu, siapakah raja Indonesia Open, turnamen yang memiliki kelas setara dengan All England?

Jawabannya adalah Taufik Hidayat. Sang legenda menjadi juara di Senayan ketika masih berumur belia yakni, 17 tahun.

Dia menjuarai Indonesia Open setelah mengandaskan sesama pemain Indonesia Budi Santoso di final dalam dua set langsung 17-14, 15-12.

Setelah itu, si Anak Ajaib, julukan Taufik, mampu mempertahankan gelar Indonesia Open pada 2000. Pada periode itu, Taufik mengandaskan perjuangan tunggal Malaysia Ong Ewe Hock 15-5, 15-13.

Sempat puasa gelar Indonesia Open pada 2001, Raja Backhand itu kembali membuat pendukungnya berteriak suka cita di Senayan setelah kembali juara pada 2002.

Saat itu, Taufik mengalahkan pemain China Chen Hong dua set langsung 15-12, 15-12.

Taufik terus menggila di Indonesia Open 2003 dan 2004 setelah membuat penonton bersorak suka cita di Istora Senayan. Dia mempertahankan juara tiga tahun berturut-turut pada periode tersebut.

Menariknya, Taufik mengalahkan lawan yang sama di babak final selama tiga tahun berturut-turut yakni, Chen Hong.

Pada 2003, Taufik mengalahkan Chen Hong dua set langsung 15-9, 15-9. Lalu, pada 2004, Chen Hong belum mampu mematahkan dominasi Taufik setelah lagi-lagi kalah 10-15, 11-15.

Puasa gelar Indonesia Open pada 2005, Taufik kembalil meraih gelar turnamen itu pada 2006. Prestasi itu menjadi gelar Indonesia Open terakhir Taufik Hidayat.

Di Final, sang legenda mengalahkan tunggal China Bao Chunlai 21-18, 21-19. [Skema skor sudah berubah dari 15 x 3 menjadi 21 x 3].

Peran Perdana Taufik Hidayat di Kejuaraan Beregu

Menurut catatan berbagai sumber, pertama kali Taufik Hidayat ikut turnamen beregu adalah pada Piala Sudirman 1999.

Saat itu, Indonesia berhasil lolos ke semifnial. Pada babak itu, Indonesia berhadapan dengan Denmark.

Line-up Indonesia di babak semifinal menempatkan Taufik muda sebagai tunggal putra di pertandingan pertama. Cindana Hartono sebagai tunggal putri.

Candra Wijaya/Tony Gunawan di ganda putra, Deyana Lomban/Indarti Issolina di ganda putri, dan Tri Kusharyanto/Minarti Timur di ganda campuran.

Sayangnya, Taufik gagal memberikan poin kepada Indonesia setelah gagal menang dari Peter Gade 4-15, 1-15.

Tertinggal 0-1, Indonesia makin tertekan setelah Cindana Hartono juga kalah dari Camilla Martin 4-11, 6-11. Indonesia pun makin tertinggal 0-2 dari Denmark.

Angin segar datang dari ganda putra setelah Candra/Tony mampu kandaskan Jens Eriksen/Jesper Larsen 15-12, 15-7. Indonesia pun menambah nafasnya di semifinal setelah skor menjadi 1-2.

Indonesia sempat menyamakan kedudukan lewat ganda campuran Tri/Minarti. Pasangan itu mengalahkan Michael Sogaard/Rikke Olsen 12-15, 15-11, 15-9.

Sayang seribu sayang, Indonesia gagal ke final setelah ganda putri Deyana/Indarti gagal kalahkan Helene Kirkegaard/Rikke Olsen 15-17, 7-15.

Merasakan Momen Emas di Piala Thomas

Taufik Hidayat sempat merasakan momen emas Indonesia di Piala Thomas pada 2000 dan 2002. Setelah itu, Indonesia belum mampu membawa pulang kembali Piala Thomas tersebut.

Saat itu, skuad putra Indonesia memang ganas. Dari sektor tunggal, Indonesia membawa Hendrawan, Taufik, dan Marleve Mainaky.

Lalu, dari sektor ganda ada Tony Gunawan, Rexy Mainaky, Candra Wijaya, dan Sigit Budiarto.

Pada babak final, Indoonesia pun membantai China 0-3.

Poin pertama Indonesia dibuka oleh Hendrawan yang mampu menang lawan Xia Xuanze lewat rubber set 11-15, 15-7, 15-9.

Lalu, poin kedua disumbangkan oleh Tony/Rexy setelah mengalahkan Yu Jinhao/Chen Qiqiu 15-9, 15-2. Taufik menutup kemenangan Indonesia menjadi 3-0 setelah mengalahkan Ji Xinpeng 15-9, 15-7.

Jika di Piala Thomas 2000 Malaysia, Indonesia mengalahkan China. Nah, di Piala Thomas 2002 China, Indonesia mengandaskan Malaysia di final.

Perbedaan skuad Indonesia di Piala Thomas 2002 hanya memiliki sedikit perbedaan dengan 2000. Perbedaannya ada pada sektor ganda Rexy dan Tony digantikan oleh Halim Haryanto dan Tri Kusharyanto.

Pada final Piala Thomas 2002, Indonesia bermain ketat dengan Malaysia. Apalagi, Marleve Mainaky selaku tunggal pertama kalah dari Wong Choong Hann 5-7, 5-7, 1-7. [Uji coba skor baru yang batal dilanjutkan]

Indonesia berhasil menyamakan kedudukan lewat Candra/Sigit yang mengalahkan Chan Chong ming/Chew Choon Eng 7-3,7-4,7-2.

Sayangnya, Indonesia kembali tertinggal setelah Taufik Hidayat gagal menang dari Lee Tsuen Seng lewat pertandingan lima set 7-1, 5-7, 2-7, 7-2, 3-7.

Untungnya, Halim/Tri mampu menyamakan kedudukan setelah mengandaskan Choong Tan Fook/ Lee Wan Wah 8-7, 7-8, 7-1, 7-3.

Hendrawan berhasil mengunci gelar Thomas untuk Indonesia. Pemain veteran Indonesia saat itu mengalahkan Roslin Hashim 8-7, 7-2, 7-1.

Drama Olimpiade 2004 dan Asian Games 2006

Gelar Taufik Hidayat yang paling sering disebut adalah emas Olimpiade 2004 dan Asian Games 2006. Namun, ada beberapa cibiran dari prestasi sang raja Backhand di sana.

Ketika berhasil mengalahkan tunggal Korea Selatan Shon Seung Mo di final lewat dua set langsung 15-8, 15-7. Taufik dianggap beruntung karena tidak bertemu Lin Dan di babak final.

Pemain China yang saat itu menjadi unggulan pertama di Olimpiade 2004 tumbang oleh tunggal Singapura asal Indonesia Ronald Susilo. Lin Dan kalah dua set langsung 12-15, 10-15.

Namun, perjalanan Taufik hingga ke final pun tidak mudah. Dia harus menghadapi rival abadinya Peter Gade. Sang Raja Backhand pun menang dua set langsung 15-12, 15-12.

Setelah itu, dia harus berhadapan dengan wonderkid asal Thailand Boonsak Ponsana. Melawan tunggal Gajah Putih itu, Taufik menang dua set langsung 15-9, 15-2.

Gagal bertemu di final Olimpiade 2004, Taufik pun bertemu Lin Dan di final Asian Games 2006.

Menariknya, sempat ada cibiran kalau karir Taufik sudah habis sehingga bakal sulit menang di pertandingan beregu Asian Games.

Cibiran itu muncul setelah Taufik dikalahkan Lin Dan sebanyak dua kali dalam pertandingan beregu Asian Games 2006.

Kekalahan pertama Taufik dari Lin Dan di Asian Games 2006 terjadi ketika babak grup. Saat itu, Taufik kalah lewat rubber set 17-21, 21-17, 16-21.

Lalu, kekalahan kedua Taufik terjadi pada semifinal. Lagi-lagi, sang legenda kalah lewat rubber set 22-20, 13-21, 21-12.

Nah, Taufik kembali bertemu Lin Dan di final pertandingan individu.Li Yongbo, pelatih China, merasa anak asuhnya Lin Dan punya pelang besar meraih emas di sana.

Namun, fakta berkata lain. Kekalahan dua kali beruntun dari Lin Dan di Asian Games 2006 tidak berulang di babak final pertandingan individual.

Taufik selaku juara bertahan di turnamen individu pun menang dua set langsung atas Lin Dan di babak final 21-15, 22-20.

Sebelumnya, Taufik menghadapi berbagai lawan berat lainnya sejak di babak perempat final dari Bao Cunlai sampai Lee Chong Wei. Ternyata, anak ajaib dari Indonesia itu belum habis pada Asian Games 2006.

Namun, Taufik sudah menegaskan, kalau Asian Games 2006 adalah Asian Games terakhir untuknya. Padahal, saat itu dia baru berumur 25 tahun.

Penurunan Peforma Taufik Hidayat

Pasca Asian Games 2006, peforma Taufik menunjukkan penurunan. Pada 2007, menjadi kali pertama dalam lima tahun terakhir Taufik tidak meraih gelar apapun.

Sang legenda pun lebih sering gagal di babak 32 besar dan 16 besar.

Sempat beberapa kali melaju ke final seperti di Japan Open dan Macau Open. Sayangnya, langkah untuk menjadi juara dikandaskan oleh Lee Chong Wei maupun Chen Jin.

Memasuki 2008, Taufik seolah memberikan sinyal bangkit setelah menjadi juara di Macau Open. Di sana, dia mengalahkan Lee Chong Wei 21-19, 21-15.

Namun, kelas Macau Open memang masih berada di bawah Superseries. [level turnamen yang mulai diterapkan BWF pada 2007].

Taufik tercatat belum mampu meraih gelar di turnamen superseries pada 2008 sampai 2009.

Gelar superseries Raja Backhand itu terjadi pada Prancis Super Series 2010. Saat itu, Taufik menjadi juara setelah mengalahkan Tunggal Denmark Joachim Persson 21-16, 21-11.

Pada 2011 sampai akhir karirnya pada 2013, Taufik hanya mampu meraih juara di India Open Grand Prix Gold 2011. Dia menjadi juara setelah mengalahkan Sourabh Verma 21-15, 21-18.

Pada turnamen terakhirnya, Taufik gagal mempersembahkan gelar di Indonesia Open. Sang legenda gagal di babak 32 besar setelah kalah dari tunggal India Sai Praneeth 21-15, 12-21, 17-21.

Peforma Taufik memang menunjukkan penurunan sejak 2007. Namun, dari segi peringkat Taufik masih bertahan di 5 besar dunia hingga Oktober 2011.

Setelah itu, dia terlempar dari 5 besar dunia dan peringkatnya terus menurun seiring dengan peforma yang menurun juga.
Nah, itulah kisah si bocah ajaib yang menjadi peringkat satu dunia saat umur 17 tahun dan kerap memberikan kritik pedas ke tunggal putra Indonesia.

0Shares

6 thoughts on “Taufik Hidayat, Kisah Sang Raja Backhand dari Indonesia

  1. kritikan taufik hidayat menurutku gak salah kok. setiap orang berhak memberikan kritikan kepada siapa pun. tergantung orang yang dikritik apakah bisa menerima kritikan pedas atau tidak.
    seperti kritikan dari netizen. wkwkwk

  2. saya ga ngikuti perkembangan badminton sebelum 2013, soalnya saya baru badminton di 2014, barulah update informasi tentang para pemain dan turnamen,

    sekarang harapan tunggal putra jojo dan ginting, semoga mereka bisa merebut gelar2 besar di turnament mendatang

    1. Hehe iya, dulu saya dicekokin nonton bulu tangkis. Jadi inget, abis nonton piala thomas 2000, saya main bulu tangkis sama temen, saya jd hendrawan, sedangkan teman saya jd taufik hidayat.

      Kalau Jojo sama Ginting bisa konsisten mereka bisa… Dr segi teknik dan stamina sudah mumpuni sih. Semoga aja mereka bisa berkembang lebih jauh lagi. Bisa dibilang saat ini mereka dah masuk umur matangnya. Firman Abdul Kholik juga kudu dikembangin juga, dia punya potensi hehe…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Social profiles