Transaksi kartu debit menjadi salah satu andalan masyarakat Indonesia di tengah serbuan transaksi nontunai seperti, Gopay, OVO, Dana, dan sebagainya. Namun, isu pengenaan surcharge transaksi kartu debit ternyata masih menghantui konsumen hingga saat ini.
Sekitar dua pekan lalu, saya membahas potensi lahirnya surcharge baru di dunia transaksi nontunai, setelah Bank Indonesia berencana menerapkan merchant discount rate (MDR) ke transaksi dengan kode respons cepat atau QR.
Di sana saya membahas, pedagang atau merchant bisa saja mengenakan biaya transaksi MDR itu kepada konsumen, meskipun cuma dikenakan sebesar 0,7% per transaksi. Soalnya, biaya itu bisa memangkas margin keuntungan atau membatasi ruang promo yang bisa diberikan pedagang kepada konsumen.
BACA JUGA: Sistem Pembayaran Kode QR Kena MDR, Bagaimana Nasib Merchant?
Lalu, apa hubungannya dengan tulisan kali ini?
Nah, Sabtu, 31 Agustus 2019, saya mengunjungi sebuah tempat makan di kawasan Tangerang. Terbiasa dengan transaksi nontunai, saya hanya memegang tunai yang tidak cukup untuk membayar total biaya makan saat itu.
PODCAST TERBARU: Perjalanan Naga Api dan Lahirnya The Daddies yang Tanpa Batas
Alhasil, saya menggunakan kartu debit Mandiri. Namun, hanya mesin EDC BCA yang tersedia di tempat makan tersebut.
Ketika melakukan transaksi dengan kartu debit Mandiri, sang kasir meminta persetujuan untuk dikenakan biaya tambahan atau surcharge sebesar 1% dari total transaksi.
Terlanjur lapar, saya pun terpaksa dan memang ikhlas menyetujui biaya tambahan tersebut.
Biaya 1% yang dikenakan kepada saya itu adalah MDR yang harusnya dibayarkan oleh pedagang, bukan oleh konsumen.
Transaksi Kartu Debit masih Kena Surcharge, Penurunan Tarif MDR Tidak Efektif?
Kejadian itu membuat saya menyimpulkan, keputusan Bank Indonesia pada 2017 memangkas biaya MDR ke pedagang ternyata belum efektif memberantas praktik tersebut.
Pasalnya, pedagang tetap merasa margin keuntungannya terpangkas dengan adanya biaya MDR tersebut.
Sebenarnya, [sudah tertulis di tulisan sebelumnya], MDR adalah biaya jasa yang dikenakan kepada pedagang oleh bank karena memudahkan transaksi dan pengiriman uang penjualan.
Jadi, kalau bayar tunai, si pedagang harus membawa uang dengan nilai besar dan mengeluarkan biaya transportasi, sedangkan dengan transaksi nontunai, mereka tinggal ‘ongkang-ongkang’ kaki saja, uang sudah sampai di bank.
Namun, biaya MDR yang dulu konon bisa tembus hingga 2% sampai 3% membuat pedagang mengenakan biaya tambahan kepada konsumen. Alasannya, biaya MDR itu memangkas margin keuntungan penjualannya.
Lalu, Bank Indonesia pun membuat aturan kalau biaya MDR antar bank akan ditetapkan sebesar 1% per transaksi. Lalu, biaya MDR intra bank menjadi 0,15% per transaksi.
Harapannya, penurunan itu bisa membuat kebiasaan pedagang mengenakan biaya tambahan ke konsumen untuk MDR bisa diberantas. Apa daya, sampai saat ini, praktik itu masih terjadi.
Transaksi Kartu Debit dan MDR, Dua Sudut Pandang Bisnis yang Berbeda
Saya tidak menyalahkan ke pedagang keseluruhan atas biaya tambahan yang dikenakan. Hal itu terjadi karena dua sudut pandang yang berbeda dari sisi bank dan bank sentral [selaku regulator sistem pembayaran], dengan pedagang.
Penetapan biaya MDR sejatinya demi menjaga keberlangsungan bisnis proses sistem pembayaran nontunai. Soalnya, kemudahan transaksi nontunai yang diberikan bank lewat EDC kepada pedagang adalah jasa yang bukan tanpa biaya.
Di sisi lain, pedagang belum merasa transaksi nontunai itu penting dan sekedar fasilitas tambahan kepada konsumennya. Lalu, biaya MDR pun dianggap menjadi beban tambahan, bukan pengganti biaya ongkos setor uang ke bank secara manual.
Pasalnya, jika omzet pedagang dengan transaksi nontunai antar bank sepanjang hari itu senilai Rp10 juta. Artinya, para pedagang bakal mendapatkan beban tambahan 1% senilai Rp100.000 per hari.
Jika dikalikan 30 hari [dengan asumsi omzet harian stabil], pedagang bakal mencatatkan beban dari MDR senilai Rp3 juta per bulan. Padahal, biaya setor uang ke bank mungkin tidak sebesar itu.
Namun, jika biaya MDR diberikan secara cuma-cuma, hal itu akan menambah beban dari bank yang melakukan proses transaksi nontunai tersebut.
Artinya, membutuhkan skema pengenaan biaya MDR yang bisa menjadi solusi terbaik untuk bank maupun pedagang.
Jika solusinya sekedar sanksi kepada pedagang yang dianggap bandel karena mengenakan biaya ke konsumen tampaknya malah membuat transaksi nontunai debit turun.
Sejauh ini dari data Bank Indonesia, rasio volume transaksi belanja dengan kartu debit memang cenderung rendah yakni, 9% dari total transaksi kartu debit. Lalu, transaksi tarik tunai dengan kartu debit masih tinggi sebesar 61%.
Dari data itu, mungkin bisa disimpulkan, geliat volume transaksi belanja dengan kartu debit yang rendah membuat pedagang berani memberikan biaya tambahan kepada konsumen.
Jika, rasio belanja dengan kartu debit sudah tinggi, tidak mungkin pedagang berani mengenakan biaya tambahan yang harusnya dibayar oleh mereka sendiri. Soalnya, kalau masih nekat mengenakan biaya tambahan, bisa saja dia ditinggalkan oleh konsumennya.
Sunyi Senyap Gerbang Pembayaran Nasional
Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) sempat menjadi pembahasan hampir setahun terakhir sejak pertengahan 2017 sampai akhirnya diluncurkan pada pertengahan 2018.
Namun, GPN kini suaranya tidak terdengar lagi [atau memang saya saja yang tidak mendengar].
Nah, kehadiran GPN itu menjadi salah satu yang menurunkan biaya transaksi MDR. Bahkan, Deputi Gubernur BI pada 2017 menyebutkan, penurunan biaya MDR itu bisa membuat pedagang lebih efisien sekitar Rp230 miliar per tahun.
Sayangnya, selama ini biaya MDR yang harusnya dikenakan ke pedagang, dibayarnya oleh konsumen. Terutama, untuk toko-toko kecil yang menyediakan fasilitas nontunai.
Artinya, para pedagang belum tentu merasakan efisiensi karena penurunan biaya MDR tersebut. Toh, selama ini mereka juga tidak keluar biaya.
Malah, jika dituntut membayar MDR, berarti ada tambahan beban bagi pengusaha UMKM tersebut.
Apalagi, dari sebuah situs bank, menjelaskan, biaya untuk EDC bukan sekedar MDR, tetapi juga ada biaya sewa mesin. Dari situs itu, biaya sewa EDC sekitar Rp100.000 – Rp125.000 per bulan per EDC.
Perbedaan harga itu sesuai dengan jenis EDC yang dipilih, ada yang dengan kabel, GPRS dekstop, atau GPRS mobile. Berarti, para pedagang harus menyisihkan Rp1,2 juta sampai Rp1,5 juta per EDC untuk biaya nontunai.
GPN Membuat Semua Bisa Dilakukan dengan 1 EDC
Mimpi besar bank sentral dengan adanya GPN adalah tidak perlu ada banyak EDC lagi dalam satu merchant. Namun, cukup 1 EDC yang bisa dipakai oleh bank manapun.
Hal itu disebut bakal menguntungkan bank karena tidak perlu investasi EDC lebih banyak lagi. Soalnya, bank bisa saling berbagi infrastruktur satu sama lain.
Masalahnya, mimpi itu semua bisa terjadi jika kartu debit GPN sudah digunakan di seluruh Indonesia. Nah, sampai saat ini apakah sudah banyak yang menggunakan kartu GPN?
Saya sendiri masih menggunakan kartu debit dari Visa dan Mastercard. Alasannya, malas ke bank untuk menukar kartu.
Walaupun begitu, biaya administrasi kartu GPN konon lebih murah ketimbang kartu berlogo prinsipal asing. Selain itu, transaksi transfer antar bank disebut lebih murah ketimbang kartu prinsipal asing.
Sayangnya, satu-satu kelemahan kartu debit GPN adalah tidak bisa digunakan di luar negeri. Makna di luar negeri ini bukan sekedar transaksi di negara lain, tetapi juga membayar sesuatu yang dibeli dari negara lain.
Nah, harus ada strategi khusus sih untuk menggencarkan penyebaran kartu GPN di Indonesia. Lalu, selain sosialisasi, skema baru penetapan tarif MDR ke merchant mungkin bisa dilakukan.
Apa artinya Sosialisasi terus menerus kalau dari sisi merchantnya tidak pernah setuju dengan skema tersebut?
Yups begitulah kira kira seperti yang dijabarkan panjang lebar di atas
Rada ilfil sih pas mau bayar di kenakan tambahan 1%, terutama betul di pedagang kecil
Yaah tapi mau gimana lagi
Mungkin sudah jadi kebiasaan mereka ga keluar uang selain buat modal, dan akhirnya beban di limpahkan ke konsumen