Viktor Axelsen menambah deretan panjang pelaku bulu tangkis yang mengkritik kebijakan BWF terkait minimal 12 pertandingan dalam setahun. Selain itu, Axelsen juga mengkritik masalah jadwal pertandingan sampai distribusi hadiah.
BWF memang menetapkan 15 pemain dengan peringkat tertinggi di sektor tunggal dan 10 pemain peringkat tertinggi di sektor ganda untuk bermain minimal 12 turnamen. Ke-12 turnamen itu antara lain, 3 level 1000, 5 level 750, dan 4 dari 7 level 500.
BACA JUGA: Wonderkid Indonesia, Menanti Aksi Leo/Daniel dan Putri di Level Senior
Jika pemain yang berada di peringkat tertinggi bermain kurang dari 12 turnamen, maka bisa dikenakan sanksi oleh BWF.
Di sisi lain, kewajiban minimal 12 turnamen itu belum termasuk turnamen regional seperti, Asian Games, Sea Games, Piala Sudirman, Thomas-Uber Cup, Kejuaraan Dunia, Olimpiade dan BWF Tour Final.
PODCAST: Kim Ji Hyun Curhat, Benarkah Pemain India Tak Punya Hati?
Sebenarnya, Lee Chong Wei menjadi salah satu yang protes atas kebijakan BWF itu pada awal 2018.
Kala itu, Lee mencatat dirinya harus bermain pada 19 turnamen di tahun itu gara-gara aturan BWF tersebut.
Lee pun sudah mendatangi Presiden BWF Poul-Erik Hoyer agar meminta aturan itu dicabut.
PBSI Pun Turut Mengkritik
Setelah Lee, PBSI juga mengkritik kebijakan BWF itu jelang akhir 2018. Kala itu, ada dua hal yang dikritik PBSI, yakni masalah perubahan service dan minimal turnamen yang diikuti atlet.
Kewajiban minimal pemain level tertinggi ikut di 12 turnamen dianggap eksploitasi atlet demi bisa meraup pundi-pundi uang.
Dengan minimal 12 turnamen setahun, di luar turnamen non BWF Tour, pemain sangat rentan kelelahan dan cedera.
Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI Susy Susanti mengatakan aturan BWF ini mau diperketat, tapi arahnya mau ke mana.
“Istilahnya harus tampil dan tampil, tapi kasian juga atletnya. Enggak bisalah di forsir seperti itu,” ujarnya kala itu.
Tak hanya Lee dan PBSI, legenda China Lin Dan pun mengakui jika harus mengikuti minimal 12 pertandingan dalam setahun itu sangat berat.
“Jika BWF mewajibkan atlet main di lebih banyak turnamen, tapi karena itu juga kami tidak bisa bermain dengan kualitas terbaik,” ujarnya.
Dari sisi PBSI pun akan melakukan rapat besar sebelum protes kepada BWF. Namun, hasilnya belum menunjukkan perubahan pada kebijakan BWF.
Viktor Axelsen Pun Angkat Bicara
Setelah berbagai protes masih belum menggoyahkan legenda bulu tangkis Denmark [Poul-Erik Hoyer], kini juniornya Viktor Axelsen yang angkat suara.
Axelsen mengunggah lima daftar saran dan usulan yang ingin diterapkan andai dia adalah pejabat BWF.
Pertama adalah terkait kuota minimal turnamen yang harus dijalani pemain selama setahun. Menurutnya, jangan terlalu memaksa pemain turun pada lebih banyak turnamen.
“Jumlah turnamen yang ada sekarang sudah cukup banyak,” ujarnya.
Dirinya yakin para pemain pasti akan turun pada setiap turnamen tanpa harus didenda. Namun, mereka juga akan melewatkan beberapa turnamen lain untuk menjaga dirinya tetap bugar.
Di luar itu, Axelsen memberikan saran kepada BWF terkait jadwal pertemuan atlet bersama media yang tidak mendadak, wasit yang lebih profesional pada turnamen level 500 ke atas, distribusi hadiah yang tak perlu lewat federasi, jadwal turnamen lebih diatur agar tidak sampai tengah malam, dan penggunaan teknologi mata elang di seluruh lapangan.
Lalu apakah Poul Erik akan luluh? tampaknya presiden BWF yang kontroversial ini akan berkukuh minimal 12 turnamen deh. Padahal, ujung-ujungnya sudah banyak pemain yang mengalami cedera parah seperti, Shi Yuqi, Son Wan Ho, Carolina Marin, Viktor Axelsen, dan lainnya.
Kontroversi Poul Erik
Kontroversi yang diciptakan Presiden BWF yang menjabat sejak 2013 itu tak hanya masalah kuota minimal 12 turnamen saja. Sebelumnya, ada beberapa kebijakan aneh dari legenda bulu tangkis Denmark ini.
Pertama, mengubah skor dari 21×3 set menjadi 11×5 set. Kebijakan ini sangat diprotes karena membuat atlet tidak bisa mengeluarkan kemampuan sesungguhnya.
Soalnya, atlet biasanya baru menunjukkan permainannya setelah interval 11. Biasanya, dari poin 1-11 masih menerka-nerka gaya main dan strategi lawan.
Beberapa kali sistem skor 11×5 set sempat dicoba, tetapi akhinya urung dilakukan. Permainan bulu tangkis terasa lebih cepat dan cenderung jadi membosankan.
Kedua, posisi service maksimal 1,15 meter dari tanah menuai kritik. Salah satunya, ganda putra veteran Denmark Mathias Boe.
Boe menilai service maksimal 1,15 meter itu cukup menyulitkan, terutama bagi atlet dengan postur tubuh yang tinggi. Dia juga menilai aturan service itu tidak manusiawi bagi wasit yang harus duduk berjam-jam di depan pengukur ketinggian.
Aturan itu dinilai bisa mengurangi kualitas pertandingan bulu tangkis.
Aturan service itu pun tak hanya menyusahkan pemain berpostur tinggi, tetapi juga menengah rendah. Alhasil, PBSI juga sempat memprotes kebijakan itu.
Namun, apa daya, Poul Erik tampaknya masih terlalu memiliki digdaya yang amat besar di BWF. Aturan itu terus berjalan hingga saat ini.
Lalu, apakah Poul Erik akan menyerah pada aturan minimal 12 turnamen demi pundi-pundi uang?