Ekonomi digital menjadi perbincangan seiring kian menggeliatnya semangat menuju industri 4.0. Namun, sejauh apa sih persiapan Indonesia untuk perkembangan ekonomi ke arah digital?
Sejauh ini, perkembangan ekonomi digital yang sangat dibanggakan oleh Indonesia adalah hadirnya empat perusahaan rintisan atau startup yang sudah berstatus unicorn, alias memiliki valuasi lebih US$1 miliar. Bahkan, salah satunya, sudah tembus menjadi decacorn, startup dengan valuasi lebih dari US$10 miliar.
Apakah itu sesuatu yang hebat bagi Indonesia?
Jika melihat secara regional, keberadaan 3 unicorn dan 1 decacorn itu cukup hebat.
Menurut data CB Insight, Indonesia menjadi negara yang memiliki unicorn terbanyak di Asean. Singapura tercatat hanya memiliki 1 unicorn dan 1 decacorn, yakni Grab dan Trax.
Lalu, Filipina memiliki 1 unicorn, yakni Revolution Precrafted yang bergerak di bidang desain.
BACA JUGA: Kemajuan ‘Petite’ Indonesia di Kejuaraan Dunia 2019
Sayangnya, jika melihat sentimen beberapa kata kunci ekonomi digital di Indonesia sepanjang Agustus 2019, hasilnya mayoritas warganet Indonesia memberikan sentimen negatif.
Lewat Drone Emprit Academic, saya menelusuri sentimen warga Indonesia terkait ekonomi digital di Twitter. Ada beberapa kata kunci yang digunakan, yakni Ekonomi digital, Digital Economy, e-Commerce, Digital Finance, dan Financial Technology.
Ekonomi Digital dan Bahasan yang Paling Banyak Diretweet
Sepanjang Agustus 2019, kicauan yang paling banyak diretweet dan like terkait ekonomi digital adalah kicauan dari @TwitterID berikut ini:
Isi kicauan ini bisa dibilang cukup netral karena menjelaskan top brand di Twitter Indonesia sepanjang semester I/2019, meski kicauan ini cenderung netral, kita bisa melihat siapa saja merek produk yang paling banya berinteraksi dengan konsumennya via Twitter.
Hasilnya, 6 dari 10 top brand yang paling banyak berinteraksi dengan konsumennya adalah perusahaan startup digital. Keenam perusahaan itu antara lain, Tokopedia, Grab Indonesia, Shopee Indonesia, Bukalapak, Tiket.com, dan Gojek Indonesia.
PODCAST: Mengulas Kinerja Wakil Indonesia di Kejuaraan Dunia Bulu tangkis 2019
Artinya, geliat minat konsumen untuk ekonomi digital di Indonesia cukup bagus jika melihat hasil dari interaksi dengan akun Twitter perusahaan terkait. Interaksi dengan konsumen via Twitter pun menunjukkan fleksibilitas perusahaan dan kemauan konsumen membahas masalahnya lewat media sosial tersebut.
Tak hanya konsumen yang mendekat ke startup digital via media sosial. Sang perusahaan pun berusaha membranding lewat media sosial demi menarik perhatian konsumennya.
Hal itu tampak dalam salah satu kicauan seorang perempuan yang minta tolong edit foto. Beberapa perusahaan pun membalas kicauan itu untuk menarik perhatian konsumennya, seperti dalam kicauan ini:
Sayangnya, citra ekonomi digital di Indonesia tidak seindah kenyataannya di dunia maya, terutama Twitter. Beberapa kicauan cenderung menggambarkan ekonomi digital membawa dampak buruk terhadap kehidupan.
Salah satunya kicauan dari akun @MichaelAdamAja1 yang mengicaukan isu 93% barang di e-Commerce adalah barang impor. Alhasil, keberadaan startup e-Commerce yang didanai asing itu memperparah defisit transaksi berjalan Indonesia. Kicauan itu pun menjadi yang terbanyak diretweet ketujuh dalam data Drone Emprit.
Namun, akun terkait tengah ditangguhkan oleh Twitter terkait lain hal. Meskipun begitu, suara negatif tidak hanya datang dari sosok anonim seperti MichaelAdamAja1 itu saja.
Media konvensional seperti Republika memancing warganet atau mungkin ‘oposisi’ pemerintah untuk melakukan serangan. Kicauan Republika terkait link berita e-Commerce memperparah defisit transaksi berjalan Indonesia masuk peringkat ke-10 yang paling banyak diretweet sepanjang Agustus 2019.
Fakta Defisit Transaksi Berjalan
Apakah benar defisit transaksi berjalan di Indonesia akibat impor produk e-Commerce?
Jika melihat data Bank Indonesia periode 2012-2019, defisit transaksi berjalan sudah terjadi pada 2012. Bahkan, nilai ekspor dikurang impor per PDB [Produk Domestik Bruto] sudah defisit pada 2012.
Adapun, pada periode itu, aktivitas jualan daring belum menggeliat seperti saat ini. Namun, Indonesia sudah mengalami defisit transaksi berjalan hingga tembus 3,33% pada 2013.
Nilai itu jauh lebih besar dibandingkan dengan kuartal II/2019 yang senilai 3%. Defisit transaksi berjalan itu lebih disebabkan oleh subsidi BBM, yakni Premium, Solar, dan Minyak Tanah.
Defisit transaksi berjalan Indonesia sempat menipis pada 2015-2017 menjadi sekitar -1,6% hingga -2%. Nilai ekspor dikurang impor per PDB pun positif 0,6% sampai 1,1%.
Penyebabnya, pemerintah menghapus subsidi BBM Premium sehingga beban pengeluaran pemerintah berkurang. Di sisi lain, harga minyak dunia sedang tertekan hingga ke kisaran US$30 per barel, beban pengeluaran untuk BBM Solar yang disubsidi pun berkurang.
Namun, defisit transaksi berjalan melebar pada 2018 hingga saat ini. Penyebabnya, harga minyak bangkit hingga sempat tembus US$70 per barel. Pengeluaran pemerintah pun bertambah sehingga defisit melebar.
Artinya, barang impor yang ditransaksikan e-Commerce bukan penyebab utama defisit transaksi berjalan di Indonesia, meskipun impor barang dari e-Commerce bisa jadi salah satu faktonya.
Kicauan Ekonomi Digital yang Paling Banyak Disukai
Selain kicauan Twitter Indonesia, ada satu kicauan asal Indonesia di posisi 5 besar yang paling disukai warganet di Twitter, yakni membahas teknologi finansial (Tekfin).
Kicauan @IrvanKarta yang mulai diposting sejak 26 Juli 2019 berada di posisi ketiga paling disukai.
Akun itu meminta kepada Jurnalis untuk tidak memanggil Tekfin dengan sebutan Fintech. Alasannya, Fintech bukan perusahaan teknologi keuangan, tetapi pinjaman duit ugal-ugalan lewat aplikasi ponsel pintar alias rentenir digital.
Kicauan itu pun didukung oleh tangkapan layar postingan Facebook yang membahas permasalahan database di tekfin.
Akun bernama Niko Tidar Lantang Perkasa mengungkapkan, database pinjaman daring mudah diakses publik tanpa authentication. Niko mengakui bisa mendapatkan ribuan data pengguna dari aplikasi itu dari mulai nomor ponsel, nama lengkap, alamat lengkap, nomor kerabat, nomor kk, hingga nomor KTP dan swafotonya.
Obrolan jagat maya itu pun memicu efek sentimen negatif seperti, keraguan keamanan di era ekonomi digital. Namun, hal itu tidak bisa disalahkan karena itu adalah pengalaman konsumen.
Kicauan yang Paling Banyak di Replies
Jika kicauan terbanyak di retweet dan sukai lebih dikuasai sentimen negatif. Hal berbeda terjadi pada kicauan terbanyak di replies.
Dua dari lima kicauan paling banyak direplies sepanjang Agustus 2019 mendapatkan sentimen positif. Kicauan itu berasal dari akun Gubernur Jawa Barat @ridwankamil dan akun @Kita_1ndonesia.
Kicauan Ridwan Kamil membahas tentang implementasi desa digital terbaru yang diposting pada Juli 2019. Namun, kicauan itu tetap menjadi yang paling banyak kedua di replies sepanjang Agustus 2019.
Untuk implementasi desa digital itu, Ridwan Kamil bekerja sama dengan Blibli.com untuk menyiapkan infrastruktur e-commerce bagi desa atau pesantren di Jawa Barat.
Harapannya, penjualan produk dari desa berupa pertanian bisa dijual secara daring.
Total replies dalam kicauan Ridwan Kamil itu sebanyak 33 tweet. Namun, sentimen repliesnya cenderung beragam ada yang negatif, positif, sampai bersikap politis.
Lalu, @Kita_1ndonesia juga mengicaukan terkait ekonomi digital dengans sentimen positif. Akun itu berharap menjamurnya e-Commerce bisa menjadi peluang untuk meningkatkan ekspor produk UMKM.
Nada positif ini seolah bertolak belakang dengan kicauan yang paling banyak di retweet yang membahas keberadaan e-Commerce membuat defisit transaksi berjalan Indonesia.
Simpulan Nasib Ekonomi Digital Indonesia
Pembahasan ekonomi digital masih dikuasai oleh sentimen negatif. Hal ini bisa jadi membuat perkembangan ekonomi digital akan sedikit menghadapi hambatan.
Alhasil, Indonesia akan lebih sibuk mengurus kenyamanan konsumen untuk ekonomi digital. Hal itu bisa membuat Indonesia hanya menjadi konsumen terbesar di era ekonomi digital, tetapi bukan pemain.
Pasalnya, komentar sentimen negatif warganet di Twitter cenderung tanpa solusi atau sekedar ‘nyinyir.’
Hal berbeda dengan pembahasan ekonomi digital di Nigeria yang menjadi kicauan paling banyak ke-2 diretweet sepanjang bulan ini.
Akun Igwehlfeanyi membahas rencana pemangkasan pajak pertambahan nilai sebesar 5% untuk e-Commerce untuk transaksi daring lewat kartu bank pada 2020. Beberapa e-Commerce Nigeria seperti, Jumia, Konga, Cowrywise, Piggybank, dan lainnya akan termasuk dalam kebijakan itu.
Dia pun memaparkan sedikit analisis dan kritik yang diharapkan bisa membangun. Kicauan itu cukup menarik perhatian setelah mendapatkan 97 replies, 703 retweet, dan 515 suka.
Tak hanya itu, akun @BJP_Live mencuitkan terkait program Perdana Menteri India Narendra Modi terkait ekonomi digital. Akun itu mengutip berita FinancialExpress yang menceritakan semangat India menuju ekonomi digital hingga membuat kerangka regulasi penanaman modal asing langsung di e-Commerce.
Pembahasan itu lebih cenderung menganalisis nasib para pelaku ekonomi digital untuk ke depannya. Artinya, mereka ingin para pelaku ekonomi digital bisa berkembang.
Namun, perilaku warganet Indonesia yang cenderung negatif kepada ekonomi digital bisa jadi disebabkan pangsa pasar yang besar dan beragam. Selain itu, kemerataan pembangunan dan pendidikan membuat perkembangan ekonomi digital pasti dibumbui sentimen negatif.
Setidaknya, perkembangan ekonomi digital dari sistem pembayaran sampai sektor lainnya secara riil terus berjalan secara perlahan. Semoga saja, ekonomi digital Indonesia bisa bersaing dengan ketat di dunia.