Darurat sipil menjadi topik hangat pada Selasa (31/03/2020). Istilah itu mencuat setelah Presiden Joko Widodo memilih kebijakan pembatasan sosial berskala besar yang diiringi dengan kebijakan itu untuk meredam penyebaran pandemi Covid-19.

Terakhir kali istilah darurat sipil mencuat pada 14 Mei 2004 ketika Indonesia masih dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Kala itu, Megawati menurunkan status di Aceh dari darurat militer menjadi darurat sipil.

Perbedaan antara darurat militer dan darurat sipil berada pada pemberi komando tertinggi. Jika darurat militer, komando tertinggi ada ada pada pihak militer yang ditunjuk oleh presiden, sedangkan darurat sipil dikomandoi oleh kepala daerah setempat.

BACA JUGA: IHSG Melemah dan Keputusan Jokowi Atasi Pandemi Covid-19

Istilah darurat sipil yang muncul dalam strategi penanganan Covid-19 ini menimbulkan polemik. Pasalnya, status itu biasanya ditetapkan untuk kondisi negara yang terancam pemberontakan, kerusuhan, dan hal-hal lain yang tidak bisa diatasi oleh perlengkapan biasa.

Apalagi, jika menengok pasal 13 Perpu Nomor 23 Tahun 1959 terkait Penetapan Keadaan Bahaya.

Isinya adalah penguasa darurat sipil berhak mengadakan peraturan untuk membatasi pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan, dan penempelan tulisan berupa apapun juga, termasuk lukisan, klise, dan gambar.

Lalu, Pasal 17 tertulis kalau penguasa berhak mengetahui semua berita serta percakapan kantor telepon, radio.

Penguasa juga bisa melarang atau memutuskan pengiriman berita atau percakapan dengan perantara telepon atau radio. Selain itu, banyak ketentuan ‘berhak’ yang bisa dilakukan oleh penguasa pada mode tersebut.

Darurat Sipil dan Pembatasan Sosial Skala Besar

Di sisi lain, kebijakan pembatasan sosial berskala besar yang beriringan dengan darurat sipil masih penuh tanda tanya karena menunggu Peraturan Pemerintah rampung untuk detail pelaksanaannya. [Update PP dan Keppres sudah keluar]

Pembatasan sosial berskala besar adalah salah satu bagian dalam UU Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pembatasan sosial berskala besar adalah respons kedaruratan kesehatan masyarakat.

Kebijakan pembatasan sosial berskala besar meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Perbedaan mendasar antara pembatasan sosial berskala besar dan karantina wilayah adalah tanggung jawab pemerintah terhadap masyarakat dan hewan ternak yang ada di wilayah karantina tersebut.

Berbicara karantina, banyak pihak khawatir bisa menimbulkan kerusuhan, terutama yang trauma dengan kejadian krisis 1998, meski kondisinya jauh berbeda.

Di sisi lain, masyarakat di zona merah pun sudah pasrah soal ekonomi yang memang sudah terkena dampaknya dan berharap pemerintah bisa mengambil kebijakan cepat serta tepat dalam penanganan pandemi Covid-19.

“Ya mau bagaimana lagi, memang lagi begini juga kondisinya,” ujar tukang nasi goreng di daerah Tangerang yang sempat tidak mendapatkan pelanggan seharian penuh sejak pandemi Covid-19 merebak di Indonesia.

Semoga saja keputusan pembatasan sosial berskala besar mampu mengendalikan penyebaran Covid-19.

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Social profiles