Pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal makin lesu pada kuartal II/2020. Enggak cuma perusahaan besar, UMKM juga merasakan dampak yang besar dari pandemi Covid-19.
Ketika awal Covid-19 menyerbu Indonesia pada pertengahan Maret 2020, seorang penjual nasi goreng terlaris dekat rumah di daerah Tangerang mengaku omzetnya turun drastis.
“Kemarin saja enggak ada yang beli sama sekali. Ya mau gimana lagi, kondisi lagi begini juga,” ujarnya.
BACA JUGA: Energi untuk Indonesia, Upaya Menerangkan Seluruh Nusantara
Sejak pandemi melanda hingga saat ini, tukang nasi goreng ini tidak menyediakan makan di tempat sesuai dengan protokol kesehatan yang berlaku.
Namun, kondisi itu tidak hanya terjadi pada pebisnis kuliner saja, begitu juga bisnis lainya seperti tekstil.
Sri Mulyani, bukan menteri keuangan Indonesia, tetapi pemilik toko di Pasar Klewer Jawa Tengah merasakan pandemi Covid-19 sudah menghancurkan bisnisnya.
Bu Mul, begitu panggilannya, sudah jualan sejak 15 tahun lalu di Pasar Klewer. Nah, selama itu dia berdagang, periode April dan Agustus adalah periode terlarisnya.
“Bahkan, saya bisa menambah pasokan lurik buatan tangan lebih banyak dari biasanya pada periode itu,” cerita Bu Mul seperti dikutip dari DW.
Akibat pandemi Covid-19, Bu Mul harus menumpuk kain-kain luriknya yang tak laku dijual. Total nilainya ditaksir sekitar Rp50 juta.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Lesu, Pebisnis Sumatra Senasib dengan Jawa
Jika dua contoh awal adalah pebisnis dari Jawa, kali ini kisah berasal dari pengusaha di Sumatra.
Azman Syahri, produsen kain Songket Winda di Pekanbaru mengaku jumlah konsumennya menyusut 80%. Sebelum pandemi Covid-19, Syahri memproduksi 480 kain songket setiap bulannya.
“Saya terus produksi kain songket karena pesanan begitu banyak, tetapi pandemi membuat bisnis kami tertekan. Jika ini berlanjut, bisnis kami bisa hancur,” ujarnya.
Enggak cuman Syahri, Muna Su’ud pemilik Kafe di Palembang juga tengah berjuang mempertahankan bisnisnya.
Su’ud bercerita selama pandemi, dirinya benar-benar tidak mendapatkan pendapatan sama sekali karena harus menutup kafenya.
“Benar-benar masa yang sulit untuk karyawan saya karena mereka juga tidak dapat memperoleh apa-apa,” ujarnya.
Biasanya, Su’ud bisa mendapatkan 100 konsumen per hari saat hari kerja dan 150 konsumen per hari saat akhir pekan.
UMKM disebut menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia karena menyediakan lapangan kerja yang luas. Pada krisis 1997-1998, UMKM menjadi pertahanan terakhir ekonomi Indonesia untuk bisa bertahan.
Sayangnya, UMKM sebagai pertahanan terakhir ekonomi Indonesia juga mampu dijebol oleh pandemi Covid-19.
Pemerintah Turun Tangan Selamatkan UMKM dan Nasib Ekonomi Indonesia
Pemerintah Indonesia pun tidak tinggal diam melihat segmen UMKM babak belur oleh Covid-19. Sebagai salah satu program pemulihan ekonomi, pemerintah memberikan bantuan uang tunai senilai Rp2,4 juta per UMKM.
Nantinya, bantuan langsung itu akan diberikan kepada 12 juta UMKM di Indonesia.
Enggak cuman bantuan langsung, pemerintah juga menjanjikan kredit modal kerja dengan bunga rendah kepada UMKM. Plafon yang diberikan mulai dari Rp2 juta.
Di sisi lain, bantuan langsung senilai Rp2,4 juta per UMKM itu akan memberikan dampak langsung ketimbang kredit bank. Pasalnya, masih banyak UMKM yang sulit mendapatkan akses kredit bank.
Pemerintah Indonesia pun sedang bedebar setelah negara tetangganya, Singapura mengalami resesi ekonomi. Pasalnya, hal itu bisa jadi menular juga ke Indonesia.
INDEF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini berkisar antara -3,26% sampai 3,88%.
Gara-gara Covid-19, Setengah UMKM yang ada di Indonesia Bisa Tamat?
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan survei terkait dampak pandemi terhadap bisnis UMKM. Kepala Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Agus Eko Nugroho mengatakan penawaran dan permintaan UMKM Indonesia sangat terpengaruh oleh pandemi Covid-19.
95% bisnis di Indonesia mengalami penurunan penjualan. Lalu, UMKM disebut kehilangan 75% penjualannya akibat pandemi ini.
Jika pandemi Covid-19 terus menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia, bukan tidak mungkin hanya 50% UMKM yang ada di Indonesia yang mampu bertahan sampai Agustus 2020.
Bahkan, 72% UMKM di Indonesia diprediksi gulung tikar pada November 2020. Dibutuhkan mitigasi jangka pendek dan panjang untuk membuat para UMKM itu bertahan.
Salah satunya dengan meningkatkan daya saing UMKM Indonesia demi membuat kinerja mereka tetap baik di tengah tekanan.
Beberapa UMKM pun memutar otak untuk bisa bertahan. Su’ud yang memiliki kafe di Palembang memilih fokus pada bisnisnya.
“Perlahan kami kembali normal, tetapi tetap tidak mendapatkan konsumen sebanyak sebelumnya. Paling penting adalah kami bisa bertahan hidup untuk saat ini,” ujarnya.
Berbeda, Bu Mul justru berpikir ekspansi ke bisnis lain yang lebih menguntung selama krisis pandemi ini.
Dia telah membuka tokonya lagi, tetapi hanya seminggu sekali karena sepi pelanggan.
“Pendapatan saya setelah buka toko lagi sekitar Rp500.000. Setidaknya, uang itu bisa saya gunakan untuk makan sehari-hari,” ujarnya.
Bagaimana dengan kisah bisnis kalian di tengah pandemi ini?