Pendidikan online berkembang dengan cepat di tengah pandemi Covid-19. Ketika semua sekolah dan perguruan tinggi menerapkan proses belajar mengajar jarak jauh.
Namun, guru maupun orang tua murid pun tergagap-gagap dengan perubahan drastis ini. Apalagi, kebanyakan guru dan dosen saat ini berada di generasi Boomers yang masih adaptasi dengan perkembangan digital.
Dikutip dari KRAsia, ada cerita seorang guru geografi bernama Arini Rasyid yang sudah mengajar selama 26 tahun di sebuah sekolah. Dia mengaku tidak pernah menyangka harus mengajar dari rumahnya dengan laptop setelah pemerintah melakukan tindakan pembatasan sosial berskala besar pada April 2020.
BACA JUGA: Seberapa Besar Berkah Martabe untuk Saham UNTR?
“Saya tidak terlalu paham teknologi. Saya menggunakna ponsel pintar hanya untuk mengirim pesan instan dan memantau media sosial, sedangkan laptop hanya untuk menulis materi pembelajaran,” ujarnya.
Untungnya, anak Arini juga ikut bekerja di rumah sehingga dirinya dibantu dalam penggunaan aplikasi belajar online.
Di sisi lain, metode belajar online kemungkinan besar akan terus dilanjutkan pascapandemi. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim sudah memberikan sinyal skema pembelajaran jarak jauh model hybrid.
Metode pembelajaran itu menggabungkan pembelajaran online dengan sesi tatap muka. Dengan begini, sinyal indah bagi Startup Edutech yang sudah ada di Indonesia?
Bisa jadi dan bisa tidak, tetapi setidaknya saat ini tiga startup edutech buatan anak bangsa menguasai pasar, meski ada satu pemain Jepang yang mencolok, yakni Quipper.
Bahkan, salah satu dari tiga startup itu sudah berdiri sejak 2007 atau ketika startup belum booming seperti saat ini. Berikut kisah ketiga startup tersebut.
1. Zenius Education
Zenius Education mungkin tidak sebooming Ruangguru jika melihat dari strategi pemasarannya, tetapi startup EduTech tertua di Indonesia justru lebih dikenal oleh segmennya. Beberapa pelajar SMA dan SMP mengabu lebih mengenal dan suka menggunakan Zenius ketimbang Ruangguru.
Zenius didirikan pada 7 Juli 2007 oleh Sabda P.S dan Medy Suharta. Tanpa mendapatkan pendanaan dari pihak ketiga, kedua founder Zenius ini mencari modal bisnisnya sendiri.
Mereka membangun bimbel offline untuk menjaring anggota dan dana.
Zenius pun memperoleh pendapatan sekitar Rp100 juta untuk angkatan pertama bimbel fisiknya. Nilai pendapatan itu bertambah menjadi Rp900 juta pada angkatan kedua dan tembus Rp1 miliar pada angkatan ketiga dan seterusnya.
Setelah modal terkumpul, Zenius mulai mengembangkan pendidikan jarak jauh menggunakan CD tutorial. Nah, CD Tutorial ini dijajakan oleh beberapa reseller dan di toko buku besar, seperti Gramedia.
Sampai 2017, Zenius mengklaim sudah mencatatkan pendapatan sekitar US$1 juta. Pendapatan itu berasal dari layanan pendidikan online dan penjualan CD.
Bahkan, total pendapatan yang dicatatkan Zenius terakhir sekitar US$4,7 juta. Nilai itu lebih besar dibandingkan dengan dua kompetitornya.
Memasuki akhir 2019, Zenius mendapatkan angin segar setelah mendapatkan pendanaan seri A senilai US$20 juta dari Northstar Group, Kinesys Group, dan BeeNext. Menariknya di sini, Northstar adalah perusahaan yang terafiliasi dengan taipan T.P Rachmat.
Selaras dengan pendanaan itu, eks Chief Operation Officer (COO) Gojek Rohan Monga diangkat menjadi CEO anyar Zenius. Gojek dengan Northstar memang punya hubungan yang cukup kuat karena perusahaan terafiliasi T.P Rachmat itu adalah salah satu investor awal perusahaan yang didirikan Nadiem tersebut.
Hubungan Zenius dan Gojek tidak hanya selesai sampai di Rohan Monga. Kini Zenius juga bekerja sama dengan Gojek untuk membagikan materi pelajaran online secara gratis.
Lewat Gojek, layanan Zenius bisa diakses. Fitur yang diakses pun mencakup hingga live teaching dan perencanaa studi.
Mungkin status Zenius saat ini seperti Halodoc di mana terintegrasi dengan aplikasi Gojek. Dengan begini, akankah Zenius bisa memenangkan persaingan startup Edutech?
2. HarukaEdu
Sebelum kemunculan Ruangguru, HarukaEdu lebih dulu lahir pada 2013. Namun, segmen yang diincar HarukaEdu adalah mahasiswa. Segmen yang berbeda dari pendahulunya, yakni Zenius yang mengejar sekolah dasar 12 tahun dan yang ingin masuk kuliah.
Saat itu, HarukaEdu didirikan oleh 3 orang dosen, yakni Novistiar Rustandi, Tovan Krisdianto, dan Gerald Ariff. Mereka bertiga mendirikan HarukaEdu dengan modal seperangkat komputer dan sokongan dana untuk 6-12 bulan ke depan dari salah satu investor lokal.
Tidak lama setelah berdiri, HarukaEdu mendapatkan sokongan pendanaan dari CyberAgent Capital, perusahaan modal ventura asal Jepang yang juga berinvestasi di Ralali sampai Seekmi, pada 2014. Sayangnya, nilai pendanaan perdana HarukaEdu dirahasiakan.
Setelah mendapatkan pendanaan itu, HarukaEdu membangun platform Pintaria yang menyediakan pelatihan softskill.
Setahun kemudian, HarukaEdu kembali mendapatkan pendanaan kedua dengan nilai US$2,2 juta. Beberapa investornya antara lain, CyberAgent Ventures, Samator Education, dan Pearson Affordable Learning Fund (PALF).
Lalu, tahun lalu, HarukaEDU kembali mendapatkan pendanaan seri C dari beberapa investor, yakni SIG, Appworks, GDP Venture, dan Gunung Sewu Kencana. Menariknya, di sini ada dua pemain lokal, yakni GDP Venture, dari Grup Djarum, dan Gunung Sewu Kencana, perusahaan pemilik produk Sunpride dan Rejuve.
Sejauh ini, HarukaEdu diprediksi sudah mampu menciptakan pendapatan sekitar US$1,2 juta. Angka yang masih lebih kecil ketimbang Zenius.
Di sisi lain, HarukaEdu tidak hanya mendapatkan berkah dari pandemi Covid-19, tetapi juga kartu prakerja. Pasalnya, HarukaEdu adalah salah satu platform yang ditunjuk menyediakan pelatihan untuk para anggota kartu prakerja.
3. Ruangguru
Ruangguru menjadi startup EduTech paling fenomenal di tengah tren pendidikan online saat ini. Apalagi, setelah rajin muncul di beberapa televisi nasional Indonesia.
Secara historis, Ruangguru yang didirikan Adamas Belva dan Iman Usman pada 2014 ini memulai bisnisnya dengan cara Bootstrap, yakni pendanaan pribadi. Modal yang dikeluarkannya sekitar ratusan juta rupiah.
Untungnya, enggak butuh waktu lama, Ruangguru mendapatkan pendanaan tahap awal dari East Venture pada 2014. Dengan nilai yang dirahasiakan.
Setahun kemudian, Ruangguru mendapatkan pendanaan seri A senilai Rp13 miliar dari Venturra Capital, perusahaan modal ventura milik Lippo Group.
Lalu, Ruangguru mendapatkan pendanaan seri B senilai Rp93 miliar UOB Venture Management pada 2017. Selain pendanaan, Ruangguru juga mendapatkan dana hibah dari Groupe Speciali Mobile Association (GSMA) melalui program Ecosystem Accelerator Innovation fund dengan nilai yang dirahasiakan.
Selain itu, Ruangguru juga melakukan ekspansi ke Vietnam pada tahun lalu. Di sana, Ruangguru mengganti nama menjadi Kienguru dengan alasan untuk menyesuaikan bahasa lokal.
Bisa dibilang, Ruangguru menjadi startup Edutech dengan valuasi terbesar saat ini. Namun, dari segi pendapatan diprediksi masih kalah ketimbang Zenius dan HarukaEdu. Pendapatan Ruangguru hanya disebut sudah tembus di atas US$1 juta.
Kira-kira, siapa yang akan menguasai pasar startup edutech di tengah transformasi ke pendidikan online?