Waktu Baca6 Menit, 23 Detik

Nonton film menjadi aktivitas yang seru di tengah anjuran di rumah aja dan kerja dari rumah. Namun, kalian nonton filmnya dari platform legal berbayar atau ilegal yang gratisan nih?

Beberapa bulan terakhir ramai sekali bahas situs-situs film ilegal gratisan yang diblokir pemerintah. Ini memicu pro dan kontra karena memang tindakan streaming gratisan itu adalah ilegal.

BACA JUGA: Tontowi Ahmad Pensiun, Ada Masalah dengan PBSI?

Namun, ada pronya juga, ada beberapa film atau serial tv yang tidak tersedia di Indonesia maupun platform over the top media service seperti, Netflix, Iflix, atau Viu. Streaming ilegal menjadi jalan satu-satunya untuk tetap menikmati film atau serial tv kesayangan tersebut.

Nah, di tengah tingkat permintaan yang tinggi, salah satu sineas Indonesia, Joko Anwar pun menceritakan tentang industri film di Indonesia dan alasan kenapa nonton film ilegal bisa bikin dunia perfilman bisa nyungsep dan sebagainya.

Joko Anwar mengatakan 70% film Indonesia merugi setiap tahunnya. Artinya, jika dalam setahun ada 140 judul film yang dirilis, maka 94 film enggak balik modal.

Nah, di sini, Joko memaparkan proses pendanaan film hingga bisa dinikmati oleh masyarakat. Di Indonesia, pendanaan film didapat dari private investor.

“Private investor adalah orang yang punya uang, terus mau investasi di film,” tulisnya dalam kicauan di Twitter.

Sisanya, mendapatkan pendanaan dari modal ventura, yakni beberapa orang mengumpulkan uang untuk dikelola menjadi investasi dalam bentuk film. Nantinya para investor di film itu baik yang private maupun modal ventura bisa disebut Executive Producers.

Dalam prosesnya, film bisa tercipta dalam dua cara, Pertama sineas yang biasanya seorang sutradara, produsen, atau penulis) punya proyek lalu cari dana ke private investor, modal ventura, atau perusahaan film. Kedua, perusahaan film memanggil sineas untuk ngerjain proyek filmnya.

Nonton Film Ilegal, Ada Ribuan Orang yang Hidupnya Bergantung dari Industri Itu Loh

Membuat film tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dalam proses pembuatan film akan melibatkan banyak orang dari kru hingga pemian film.

Joko memaparkan ada kru dan pemain film yang baru dapat pendapatan karena ada proyek film yang jalan. Di Indonesia, rata-rata produksi film bisa mempekerjakan 120 orang kru lapangan. Jumlah itu bisa bertambah menjadi 300-500 orang jika menghitung kru setelah film selesai disyut.

“Jika ditambah dengan para pemainnya, jumlah orang yang bergantung pada 1 film bisa berjumlah ribuan orang,” ujarnya.

Menariknya, bisnis film ini bukan sekadar mencari untung, tetapi juga hasrat untuk berkarya. Sosok yang berkarya dalam film bukan sekadar sutradara, produser, penulis skrip, atau yang memiliki ide film tersebut.

Namun, seluruh kru hingga pemain film ikut berkarya.

Joko mengatakan kru yang bertugas mengotori dinding rumah yang sudah lama di huni pun termasuk berkarya.

“Itu kan bermain dengan estetika,” ujarnya.

Lalu, Bagaimana Cara Film Agar Bisa Balik Modal dan Mendapatkan Investor?

Jika merujuk kicauan Joko pada awal threadnya yang menyebutkan 70% film di Indonesia rugi, lalu bagaimana perusahaan film bisa balik modal?

Joko mengibaratkan ada orang bikin kue, setelah jadi kuenya dijual secara langsung, titip ke warung, tetangga, dan sebagainya. Untuk film, ini disebut pendistribusian film.

“Tempat distribusi film bisa ke bioskop, homes video [DVD, Blu-ray], platform over the top media atau video on demand seperti Netflix, Iflix, Goplay, dan sebagainya,” kicaunya.

Nah, khusus di Indonesia, distribusi ke homes videos seperti DVD sudah mati. Namun, matinya industri DVD bukan karena keberadaan platform over the top media service, melainkan karena pembajakan.

Joko menekankan di Amerika dan Eropa, bisnis DVD dan Blu-ray masih tetap jalan. Namun, di Indonesia sudah mati karena perusahaan DVD rugi terus gara-gara masyarakat lebih suka beli bajakan.

Hal itu cukup masuk akal jika kita iseng melihat deretan produk blu-Ray di Google Play yang masih dijajakan hingga kini. Bahkan, via Google Play, film Blu-ray bisa disewakan dengan harga yang lebih murah.

“Dengan begitu, industri film di Indonesia cuma bisa mengandalkan distribusi dari bioskop dan layanan video on demand,” ujarnya.

Jika mendistribusikan film ke bioskop, keuntungan dari tiket akan dibagi dua dengan pemilik bioskop. Itu pun setelah dipotong dengan biaya promosi dan pajak.

Lalu, bagaimana prospek penjualan film ke platform over the top media service yang menawarkan video on demand?

Setiap platform yang menawarkan video on demand itu memiliki penawaran dan harga yang berbeda-beda untuk membeli film. Belum lagi, belum tentu satu film diminati oleh semua platform.

Hal inilah yang membuat film-film itu tersebar ke berbagai platform yang berbeda.

Joko menceritakan jika judul film A ingin dibeli platform X dengan harga murah, tetapi ada platform Y yang mau bayar lebih tinggi. Perusahaan film pasti lebih pilih platform Y demi bisa balik modal.

“Nah, keberadaan Netflix dkk inilah yang membantu perusahaan film untuk bisa balik modal setelah kematian industri DVD,” ujarnya.

Multiplier Effect Pembajakan Film

Dari segi konsumen, keberadaan film bajakan pastinya berdampak positif karena biaya yang dikeluarkan lebih rendah. Namun, hal itu bisa berdampak kepada kualitas film yang akan dirilis ke depannya.

Pasalnya, pihak yang mendapatkan keuntungan dari pembajakan film adalah para pembajak dalam bentuk uang langsung dari DVD maupun trafik pengunjung situs.

Joko Anwar mengatakan kalau kalian suka nonton film dan cinta film, maka bantu perusahaan film untuk bisa membuatnya terus dan mempekerjakan kru dan pemain film.

“Jadilah konsumen yang membayar demi keberlanjutan industri film ke depannya,” ujarnya.

Joko mengungkapkan dirinya bersama sineas lainnya selalu melaporkan setiap ada video ilegal yang diupload di Youtube dan Facebook.

“Namun, setelah hilang, biasanya muncul lagi. Begitu juga dengan situs ilegal yang diblokir 1 tumbuh beberapa lagi. Ini adalah kutukan dari anugerah internet,” ungkapnya.

Untuk itu, industri film butuh sekali dukungan para pecinta film untuk menonton secara legal. Apalagi, pasar film Indonesia hanya di Indonesia saja, berbeda dengan Amerika yang memiliki pasar global.

“Sudahlah layarnya terbatas, mau tayang di streaming malah di bajak,” ujar Joko.

Dia memastikan para sineas, termasuk dirinya terus berupaya menghasilkan karya terbaik. Bahkan, untuk beberapa film membutuhkan adegan berbahaya seperti aksi dan sebagainya membutuhkan medan yang berat demi bisa memberikan kenikmatan bagi para penonton.

“Walaupun bujet terbatas, tetap kami mau lakuakn dengan ikhlas. Kenapa bujet terbatas? karena kalau mahal enggak bisa balik modal,” ujarnya.

Lagi-lagi Joko mengingatkan bagi penonton film bajakan, itu mungkin soal kesenangan. Namun, bagi para kru dan pekerja film Indonesia, hidupnya tergantung dari ada tidaknya film yang diproduksi.

“Ini juga bicara soal hidup mati. Bukankah agama mengajarkan supaya berlaku adil? jangan ambil sesuatu yang jadi hak orang lain?” tutup threadnya tersebut.

Kinerja Emiten Film, Pendapatan Digital Belum Setinggi Konvensional

Sebagai gambaran, ada satu emiten [perusahaan yang sudah melantai di bursa saham] di BEI yang berada di sektor perfilman, yakni PT MD Pictures Tbk. alias FILM. Bagaimana kinerja emiten itu pada tahun lalu?

Secara umum, dari segi penjualan turun 14,86% menjadi Rp250,24 miliar dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Lalu, laba bersih perseroan susut 44,1% menjadi Rp60,95 miliar.

Wah berarti masih untung ya? Kalau begitu, kita coba tengok rincian pendapatannya. Secara keseluruhan, FILM mencatatkan penurunan pendapatan dari segi penjualan film ke distribusi konvensional seperti bioskop dan DVD serta VCD.

Penjualan ke bioskop turun sebesar 30,88% menjadi Rp138,5 miliar dibandingkan dengan Rp200,4 miliar pada tahun sebelumnya. Penjualan via DVD dan VCD lebih miris setelah tidak ada lagi pendapatan dari sana. Padahal, pada 2018, perseroan masih mencatatkan pendapatan Rp180 juta dari sana.

Adapun, pendapatan dari layanan digital belum sebesar pendapatan dari layanan konvensional. Perseroan mencatatkan pertumbuhan penjualan via digital sebesar 12,57% menjadi RP69,88 miliar.

Kinerja perseroan pada tahun ini bisa saja tergerus. Pasalnya, 16,44% penjualan film via digital berasal dari Hooq Digital Mauritius Private Ltd. Nilai penjualan dari platform Hooq itu setara Rp11,48 miliar.

Di sisi lain, Hooq resmi tutup permanen pada tahun ini sehingga penjualan dari pos digital FILM pun berpotensi tergerus.

Itu sedikit gambaran nyata perputaran uang di industri film yang dihantui dengan pembajakan. Kalian masih tega nonton film bajakan?

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleppy
Sleppy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

3 thoughts on “Nonton Film Ilegal Bisa Bikin Ribuan Orang Tak Bekerja Loh

  1. kasian lo liat sineas film tanah air terutama saat ini
    udah bioskop ditutup, eh filmnya banyak yang dibajak
    padahal langganan kayak netflix lo masih bisa dijangkau
    wong enggak ke mana mana
    tar nyesel kalau perfilman Indonesia kayak tahun 90an mati suri
    atau ada tinggak film esek esek yang jauh di bawah kualitas
    twitnya joko anwar yang kesel sama pembajakan emang bener si dan harus didukung

  2. Saya nggak suka nonton di bioskop tapi juga nggak mau nonton film Indonesia bajakan. Terakhir saya nonton di bioskop itu Laskar Pelangi karena diajak keluarga nonton rame-rame.

    Film, termasuk stand up comedy, saya lebih suka beli DVD atau digital download dan menontonnya di rumah. Kalau bagus bisa saya tonton lebih dari sekali. Tapi kan DVD sekarang udah nggak ada ya. Dulu pas marak DVD bajakan saya lebih suka yang ori, karena kalau kualitas suara dan gambar nggak mumpuni kan kenikmatan nontonnya berkurang. Film luar negeri pun saya lebih suka DVD ori.

    Sekarang sih saya suka pakai Netflix. Sebenarnya lebih enak layanan streaming legal lho. Kualitas ok, gak ada iklan yang mengganggu, pilihan film banyak.

    Kalau bajakan saya pikir nggak bakal bisa ilang. Yang perlu digencarin mungkin kampanye nonton film legal ke masyarakat, harus kontinyu tanpa putus. Dan kreativitas bagaimana menjual film legal agar laris. Kalau konsumennya sepi otomatis situs-situs film bajakan juga bakal mati.

  3. dengan ga bajak, secara ga langsung kita turut mendukung tumbuhnya industri perfilman tanah air.

    memang agak sulit sih membatasi situs2 ilegal ini karena memang terus muncul. iya bisa dimulai dari diri sendiri, kesadaran kalo dibalik industri ini ada banyak org yg cari makan disini.

    baru tau kalo hooq tutup tahun ini

  4. dengan ga bajak, secara ga langsung kita turut mendukung tumbuhnya industri perfilman tanah air.

    memang agak sulit sih membatasi situs2 ilegal ini karena memang terus muncul. iya bisa dimulai dari diri sendiri, kesadaran kalo dibalik industri ini ada banyak org yg cari makan disini.

    baru tau kalo hooq tutup tahun ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Social profiles
Close