Cebong dan kampret menjadi momok kenyamanan berselancar di media sosial sepanjang proses pilpres 2019. Fanatisme itu sampai menjalar dengan membuat berbagai hoaks demi membuat nama sosok yang didukungnya positif.
Sampai-sampai, masyarakat nongolongan tim fanatik itu bingung membedakan berita asli dan palsu.
Ketika dipertanyakan keaslian fakta informasi, para cebong dan kampret akan membela diri dan menyerang penanyanya berasal dari kubu pesaing.
Bisa dibilang, kelompok cebong dan kampret itu sudah buta dengan fakta. Ibarat di ‘pelet’, mereka hanya melihat pasangan capres-cawapres yang didukungnya paling terbaik.
Namun, fanatisme tidak hanya terjadi ketika pilpres 2019, tetapi juga sehari-hari. Tren fanatisme yang sedang meningkat saat ini adalah KPop alias Korean Pop.
Bahkan, fanatisme KPop mulai mengalahkan sepak bola. Hal itu tercermin dari para penggemar grup musik Korea Selatan yang mendukung idolanya dengan cara di luar nalar.
Salah satu contohnya adalah cara mereka mendongkrak penonton Music Video (MV) grup musik yang diidolainya.
Dedikasi Demi Panutan
Selama dua pekan terakhir, ada dua grup musik yang meluncurkan MV terbarunya yakni, Blackpink dan BTS. Nah, kedua pendukung ternyata berupaya mati-matian agar penonton MV idolanya bisa melejit.
MV Blackpink yang berjudul Kill This Love dirilis pada pekan lalu di Youtube dan jumlah penontonnya sudah mencapai 192 juta.
Lalu, BTS dengan MV yang berjudul Boy with Love sudah memiliki penonton sebanyak 126 juta dalam 2 hari.
Nah, angka-angka jumlah penonton yang fantastis itu adalah perjuangan para kelompok fanatik grup tersebut.
BACA JUGA : Sekencang Apa Pukulanmu Menggunakan Raket Elang 2 Flypower? Simak Ulasannya Di Sini
Istri saya bercerita, banyak pendukung grup musik itu yang mati-matian menambah penonton di Youtube dengan seharian memutarkan video grup musik idolanya.
Bahkan, ada yang sampai menyewa 10 komputer warnet untuk diputar lagu tersebut.
Awalnya, saya enggak percaya, tetapi fakta itu terungkap ketika pendukung BTS protes karena jumlah penonton grup musik kesayangannya itu hilang 10 juta di Youtube.
“Ini gila sih, enggak menghargai perjuangan para Army yang sudah Streaming seharian dan menghabiskan kuota begitu banyak,” ujar salah satu penggemarnya di Twitter.
Cebong, Kampret, dan Pendukung Kpop dalam Teori
Nah, secara teori, Fanatik menurut Orever adalah antusiasme yang berlebihan dan tidak rasional terhadap sesuatu. Sikap tidak rasional itu melahirkan pengabdian, keyakinan, atau garis tindakan yang menetukan sikap emosional.
JP Chaplin mendefinisikan fanatik adalah sikap yang penuh semangat berlebihan terhadap satu segi pandangan atau sebab.
Wolma pun memaparkan faktor yang mempengaruhi terjadinya fanatisme. Beberapa faktor itu antara lain, kebodohan, cinta golongan tertentu, dan figur.
Secara khusus, Wolma pun membahas aspek fanatisme yakni, rasionalitas, pandangan yang sempit, dan bersemangat mencapai tujuan tertentu.
Lalu, Haryatmoko juga menyebutkan fanatisme disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, memperlakukan kelompok tertentu sebagai ideologi, sikap standar ganda, komunitas dijadikan legitimasi etis hubungan sosial, dan klaim kepemilikan organisasi oleh kelompok tertentu.
Jika melihat landasan teori itu, ada perbedaan signifikan antara pendukung capres dengan KPop.
Perbedaan utamanya adalah tujuan, bisa dibilang capres tertentu disebabkan perlakuan kelompok tertentu sebagai ideologi. Hal itu menyebabkan terjadinya pemahaman eksklusif dalam pemaknaan hubungan sosial.
Adapun, tujuan pendukung Kpop adalah figur dan kepemilikan organisasi oleh kelompok tertentu. Mereka menganggap idolanya adalah milik mereka sehingga harus mendukung sepenuh hati.
Untuk itu, mereka menganggap idolanya adalah terbaik tidak ada yang lain. Ini yang dimaksud oleh Wolma para kelompok fanatik memiliki pandangan yang sempit.
Jadi, saran utama adalah jangan pernah sekali-kali berdebat dengan kelompok fanatik karena itu seperti menggarami air laut alias sia-sia.
Bahaya Fanatisme 4.0
Perkembangan teknologi yang pesat membuat kelompok fanatik ini memiliki sisi positif bagi industri media. Positifnya, mereka bisa menjadi motor padatnya lalu lintas sebuah informasi jika sesuai dengan pemikiran para fanatik.
Jika berlawanan, informasi itu pun tetap padat didatangai para kelompok fanatik dengan tujuan menghujatnya.
Di sini, tren media daring yang berburu klik suka mengadu domba para kelompok fanatik.
Namun, sisi berbahayanya perkembangan teknologi di tengah kelompok fanatik adalah lahirnya hoaks. Alhasil, masyarakat bisa bias antara fakta asli atau palsu.
Para kelompok fanatik ini bakal berusaha mencari informasi yang mendukung sosok panutannya atau menyerang pesaingnya. Bahkan, mereka tidak segan-segan membuat informasi hoaks demi panutannya tersebut.
Ini yang menjadi bahaya dan tercipta ketika jelang pilpres 2019. Informasi fakta dan hoaks bercampur menjadi satu sehingga bias ketika sampai di masyarakat.
Bahayanya, banyak masyarakat yang tidak paham menjadi percaya dengan hoaks, tetapi menilai fakta menjadi berita palsu.
Tak hanya dari sisi pendukung capres, penggemar fanatik Kpop juga menuju fanatisme 4.0 dengan upaya-upaya maksimal agar idolanya menjadi yang paling trending di dunia.
Bahkan, mereka melakukan psywar terhadap kelompok pesaingnya agar memperlihatkan kepada jagat maya kalau panutannya adalah yang terbaik.
Bayangkan, kalau ada banyak kelompok fanatik yang melahirkan berita palsu bak berita asli. Bagaimana dengan nasib dunia?
Foto : desain baju Wakaba.id
Kebanyakan orang terlalu fanatik dengan pilihannya, sampai lupa tujuan sebenarnya dari pesta demokrasi itu untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik.