Mohammad Ahsan dan Hiroyuki Endo tampaknya memiliki misi khusus pada Olimpiade 2020. Setelah gagal total pada Olimpiade 2016, keduanya kembali membuka peluang meraih emas pertamanya di Olimpiade Tokyo 2020.
Kini, Ahsan bersama Hendra Setiawan bisa menjadi wakil kedua Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020, sedangkan Endo bersama Yuta Watanabe mungkin bakal jadi wakil kedua Jepang sebagai tuan rumah.
BACA JUGA: Ini Pemain Bulu Tangkis Terbaik Sepanjang 2019 Versi Suryarianto.id
Kedua pemain itu memiliki kisah yang mungkin bisa dibilang sedikit menyakitkan pada Olimpiade 2016 di Brasil. Bukan apa-apa, mereka berdua memiliki pasangan mumpuni dan berstatus pasangan ganda putra papan atas dunia.
Namun, apa daya, emas olimpiade tidak dikalungkan kepada mereka berdua. Padahal, khusus Hendra/Ahsan bak sedang dipuncak karirnya pada 2015. [ketika perhitungan poin Olimpiade]
Bayangkan, sepanjang 2015 dan awal 2016, pasangan andalan Indonesia kala itu meraih empat gelar. Dua dari empat gelar itu bisa dibilang cukup prestisius karena mampu meraih juara di kejuaraan dunia 2015 dan Super Series Final 2015.
PODCAST: Alasan Minions Selalu Kalah dari Hiroyuki Endo/Yuta Watanabe Sepanjang 2019
Paling membanggakan ketika kejuaraan dunia 2015, kala itu Liliyana Natsir/Tontowi Ahmad yang diharapkan meraih gelar tumbang di Istora Senayan. Lindaweni Fanetri yang menjadi kejutan juga tak berdaya menghadapi Saina Nehwal.
Otomatis harapan hanya tinggal di pundak Hendra/Ahsan. Namun, lawan yang dihadapi bukan sembarang lawan, Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong sudah menanti di semifinal.
Untungnya, Hendra/Ahsan mampu membungkam pasangan Korea Selatan itu di Istora. Publik tuan rumah pun bersorak.
Keesokan harinya, Istora pesta pora setelah Hendra/Ahsan mampu dengan mudah kalahkan pasangan China Liu Xiaolong/Qiu Zihan 21-17, 21-14. Hendra/Ahsan menjadi pelipur lara gelar di kejuaraan dunia yang dilaksanakan di Jakarta.
Sinyal Buruk Nasib Hendra/Ahsan
Sayangnya, di Olimpiade 2016, Hendra/Ahsan bak sudah kehabisan bensin.
Satu grup dengan Chai Biao/Hong Wei, Hiroyuki Endo/Kenichi Hayakawa, dan Attri Manu/Reddy B. Sumeeth, Hendra/Ahsan hanya mampu mengalahkan pasangan yang terakhir.
Melawan Chai Biao/Hong Wei yang sempat mereka kalahkan di Super Series Final 2015, The Daddies, julukan Hendra Ahsan, tak berdaya di babak awal Olimpiade.
Mereka kandas dari pasangan China itu dua set langsung 15-21, 17-21.
Jantung pecinta bulu tangkis di Indonesia bisa jadi bedebar kencang. Bayangkan, salah satu andalan untuk meraih emas selain Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir gagal meraih poin pertamanya.
Petaka terjadi pada pertandingan kedua, menghadapip Endo/Hayakawa, The Daddies kembali tidak berdaya dan kalah lewat rubber set 17-21, 21-16, 14-21.
Kekalahan itu bisa dibilang telah menutup peluang The Daddies untuk bisa melaju ke fase gugur, meskipun pada pertandingan melawan ganda India menang dua set 21-18, 21-13.
Setelah kekalahan di Olimpiade 2016, Hendra/Ahsan dinilai sudah mentok dan mulai muncul rumor bakal diceraikan.
Pertandingan terakhir The Daddies terjadi pada Korea Open 2016, kala itu mereka menghadapi duo menara yang masih muda Li Jun Hui/Liu Yu Chen. Sayangnya, mereka kalah dua set langsung dari Duo Menara 11-21,16-21.
Setelah itu, Hendra sempat dipasangkan dengan Rian Agung Saputro dan Berry Angriawan. Namun, akhirnya dia sempat memutuskan berkolaborasi dengan pemain Malaysia Tan Boo Heong.
Semangat yang Membara Kenichi Hayakawa
Pasangan Jepang Kenichi Hayakawa/Hiroyuki Endo sempat bertengger di peringkat ke-2 dunia. Namun, prestasi pasangan Jepang ini memang tidak terlalu mentereng.
Jelang Olimpiade, Hayakawa/Endo tidak pernah meraih gelar sama sekali. Mereka hanya mencatatkan pernah 6 kali melaju ke semifinal turnamen BWF Tour pada 2015.
Namun, satu yang paling diingat dari pasangan ini adalah semangat Hayakawa yang tak pernah padam.
Ketika di semifinal kejuaraan dunia, Hayakawa/Endo harus berhadapan dengan pasangan China Liu Xiolong/Qiu Zihan. Namun, mereka harus kalah lewat rubber set 16-21, 23-21, 20-22.
Menariknya, setiap kehilangan poin, Hayakawa selalu berteriak “Woy…” seperti upaya menyemangati dirinya sendiri. Alhasil, setiap dia berteriak, poin pun datang ke pasangan Jepang itu, meskipun harus berujung kalah.
Namun, aksi Hayakawa yang terlalu sering meneriakkan “Woy…” itu direspons oleh penonton di Istora dengan kalimat “Woy juga…”
Di situ saya enggak tahu apakah Hayakawa sadar teriakkan penonton di Istora itu untuk merespons teriakannya.
Mimpi Buruk Hayakawa
Memasuki 2016, Hayakawa/Endo hampir saja menjadi kampiun di All England. Sayangnya, mereka dikalahkan oleh pasangan Rusia Vladimir Ivanov dan Ivan Sozonov.
Memasuki Olimpiade Rio 2016, Hayakawa/Endo makin menggeliat setelah mengalahkan Hendra/Ahsan lewat tiga set 21-17, 16-21, 21-14.
Geliat pasangan Jepang ini makin terlihat ketika berhadapan dengan Chai Biao/Hong Wei. Mereka menang lewat tiga set 21-18, 14-21, 23-21.
Pasangan Jepang ini tampaknya melepas pertandingan ketiga dan kalah dari pasangan India Attri Manu/Reddy B. Sumeeth 21-23, 11-21.
Sayangnya, semangat dan agresivitas Hayakawa/Endo di babak grup tidak tertular ke babak gugur.
Pasangan Jepang itu langsung dikandaskan pasangan Inggris Marcus Ellis/Chris Langridge 19-21, 17-21.
Setelah kekalahan di Olimpiade itu, peforma pasangan ini juga menurun. Apalagi, secara mengejutkan Hayakawa memutuskan untuk pensiun dengan alasan cedera pada akhir 2016.
Pertandingan terakhir Hayakawa/Endo terjadi pada Japan Open. Pasangan itu harus kalah dari rekan senegaranya Hiroyuki Saeki/Ryota Taohata 13-21. 23-25.
Kesempatan Kedua Ahsan dan Endo
Di tengah ketidakberuntungan pada Olimpiade 2016, Ahsan dan Endo memiliki peluang meraih emas pada Olimpiade tahun depan. Namun, dengan catatan permainan mereka konsisten.
Jika Endo berganti pasangan dengan pemain muda nan sensasional Yuta Watanabe, Ahsan justru kembali rujuk dengan peraih emas Olimpiade 2008 Hendra Setiawan.
Peluang kedua pemain ini untuk meraih emas terbuka lebar setelah prestasinya yang mumpuni sepanjang tahun ini.
Jika Hendra/Ahsan mampu menggondol beberapa gelar prestisius, Endo/Watanabe malah membantai tanpa balas peringkat satu dunia Kevin Sanjaya/Marcus Gideon sepanjang tahun ini.
Tua-tua Keladi ala The Daddies
The Daddies yang baru berpasangan lagi pada 2018 malah menggila pada 2019 atau jelang Olimpiade Tokyo 2020. Dari All England, Kejuaraan Dunia, sampai BWF Tour Finals pun digondol pasangan veteran ini.
Membuka 2019, Hendra/Ahsan membuat haru para pecinta bulu tangkis dunia. Dengan balutan perban di betisnya, Hendra bersama Ahsan mampu meraih gelar di turnamen bulu tangkis tertua di dunia tersebut.
Menghadapi pasangan muda Malaysia Aaron Chia/Soh Wooi Yik, Hendra/Ahsan hampir tiada harapan setelah kalah di set pertama 11-21.
Namun, pasangan veteran ini malah menggila di set kedua dan ketiga dengan membantai pasangan muda itu 21-14, 21-12.
Aryono Miranat, pelatih ganda putra PBSI, mengakui Hendra/Ahsan adalah pemain yang komplit.
“Mereka bisa main keras, pelan, defensif, dan menyerang,” ujarnya dalam video Youtube PB Djarum.
Aryono menuturkan kelemahan utama pasangan ini adalah usia, tetapi masih tetap oke.
“Untuk itu saya tidak melatihnya secara full, tetapi sebatas kemampuan mereka,” tuturnya.
Dengan pengalamannya, Aryono menilai kelebihan The Daddies adalah bisa bermain tenang, percaya diri, dan memiliki pengalaman yang bagus.
Ada Asa Emas di Olimpiade Tokyo 2020
Pelatih ganda putra PBSI lainnya, Herry IP, memiliki keyakinan pasangan ini bisa berbicara lebih di Olimpiade 2020.
“Cara main mereka [The Daddies] sedikit berbeda dengan pemain muda yang suka bermain tempo cepat. Mereka memiliki irama main yang bagus,” ujarnya.
Namun, Coach Naga Api, julukan Herry IP, pun tidak bisa memungkiri The Daddies memiliki kelemahan dari segi kondisi fisik, kecepatan, dan kekuatan yang menurun.
“Kelemahan itu bisa ditutupi dengan ketenangan, antisipasi bola yang tepat, dan penempatan bola yang matang. Itu sih emang ciri-ciri pemain senior,” ujarnya.
Sedikit bernostalgia, setelah Hendra keluar dari pelatnas PBSI bersama Markis Kido [pasangannya yang meraih emas di Olimpiade 2008 Beijing], dia sempat ngobrol dengan Aryono terkait rencana balik ke PBSI.
Herry menceritakan Hendra menghampiri Aryono yang saat itu melatih ganda putri di Swiss Open sekitar 2010 atau 2011. Hendra bilang mau balik ke pelatnas di lapangan pemanasan turnamen Swiss Open.
“Cuma, dia enggak bilang ke saya langsung sih,” Herry mencoba bernostalgia.
Namun, Herry satu kamar dengan Aryono sehingga pelatih ganda putri saat itu menceritakannya kepada sang pelatih ganda putra.
“Hendra mau balik lagi ke pelatnas, lu mau terima enggak?” ujar Herry mencontohkan cerita Aryono tersebut.
Herry pun minta Hendra ngomong langsung kepadanya keesokan harinya di lapangan. Saat itu, Hendra bertanya apakah dirinya masih berprestasi atau tidak.
“Pasti,” jawab saya.
“Lu urus surat-suratnya, nanti biar gue yang ngomong sama PBSI,” ujar Herry.
Alhasil, Hendra yang balik ke Pelatnas dipasangkan dengan Ahsan yang tengah bujang ditinggal pasangan mainnya di ganda putra Bona Septano, adik Kido.
“Ahsan ini pemain belakang, Hendra depan, feeling saya sih ke depannya bisa lebih baik lah,” ujarnya.
Hasilnya, prestasi Hendra/Ahsan terus muncul hingga saat ini, meskipun sempat bercerai pada akhir 2016.
Peluang Endo Bersama Wonderkid Watanabe
Jika Ahsan masih ada asa meraih emas di Olimpiade, begitu juga dengan Endo. Dipasangkan dengan Watanabe yang saat itu masih berumur 19 tahun, pasangan ini berkembang dengan pesat.
Bayangkan, Minions, julukan Kevin/Marcus, dibuat bertekuk lutut 0-5 tanpa balas sepanjang tahun ini. Terakhir, di BWF Tour Final, Minions dikalahkan pasangan Jepang ini dua kali berturut-turut.
Sejak dipasangkan pada akhir 2016, Endo/Watanabe memulai debutnya di China Open Super Series Premier [sekarang level 1000] pada 2016. Namun, pasangan ini belum mampu bicara banyak setelah kalah rubber set dengan Chai Biao/Hong Wei 22-24, 21-19, 13-21.
Sempat mencicipi peringkat ke-4 dunia, Endo/Yuta sudah meraih tiga gelar sejak dipasangkan pada 2016. Ketiga gelar itu antara lain, Korea Open 2018, Badminton Asia Championship 2019, dan Jerman Open 2019.
Melihat grafik perkembangannya, pasangan ini memang ada peningkatan yang cukup tajam. Apalagi, di BWF Tour Final 2019, pasangan ini mampu ke babak final, meskipun dikalahkan oleh The Daddies di partai puncak.
Skill Watanabe yang terasah dan ditambah pengalaman Endo bisa membuat pasangan ini patut diperhitungkan dalam persaingan emas ganda putra Olimpiade 2020. Apalagi, pasangan ganda putra utama Jepang Takeshi Kamura/Keigo Sonoda tengah turun peformanya.
Gaya bertahan dan menyerang Watanabe yang memiliki tangan kidal bisa menjadi senjata mematikan pasangan ini. Ditambah, ketenangan dan daya juang Endo yang tinggi membuat pasangan ini salah satu paket lengkap setelah Hendra/Ahsan.
Tinggal kita tunggu saja pada Juli-Agustus 2020 nanti, apakah Ahsan atau Endo mampu mengigit emas Olimpiade Tokyo 2020?