DP 0 persen untuk kendaraan ramah lingkungan direspons berbeda oleh dua saham otomotif di BEI, yakni PT Astra International Tbk. dan PT Indomobil Sukses International Tbk. Harga saham IMAS melejit, tetapi harga ASII justru menyusut setelah pengumuman kebijakan oleh Bank Indonesia tersebut.
Bank Indonesia memutuskan untuk melonggarkan uang muka kendaraan bermotor berwawasan lingkungan dari 5%-10% menjadi 0% per 1 Oktober 2020. Pelonggaran uang muka otomotif ini diharapkan makin meringankan pembelian otomotif setelah Bank Indonesia mematok suku bunga acuan terendah sepanjang sejarah, yakni 4 persen.
BACA JUGA: ARMY Harus Hati-hati Karena BigHit Mau IPO?
Definisi kendaraan berwawasan lingkungan dari Bank Indonesia ini adalah kendaraan yang menggunakan baterai.
Dengan begitu, kendaraan hibrida seharusnya termasuk yang menerima pelonggaran tersebut. Sayangnya, banyak analis dan ekonom memprediksi kebijakan itu tidak memberikan dampak signifikan terhadap permintaan otomotif ramah lingkungan.
Alasannya, saat ini masyarakat juga tengah mengetatkan ikat pinggang karena pandemi Covid-19 memengaruhi pendapatan para pekerja maupun pengusaha.
Ada DP 0 persen, bagaimana nasib saham sektor otomotif seperti IMAS dan ASII?
IMAS adalah salah satu saham otomotif besar di Indonesia. Perseroan meiliki beberapa merek mobil, bis, dan truk seperti, Suzuki, Nissan, Datsun, Volvo, Volkswagen, SsangYong, Audi, KIA, HINO, Renault, Foton, dan lainnya.
Setelah pengumuman kebijakan BI terkait DP 0 persen untuk kendaraan berwawasan ramah lingkungan, saham IMAS terus melejit. Sejak 18 Agustus 2020, harga saham IMAS sudah melejit 33% menjadi Rp865 per saham.
Sayangnya, kinerja IMAS lagi kurang baik. Sampai paruh pertama tahun ini, perseroan mencatatkan rugi Rp347,4 miliar. Ini menjadi rugi semester I untuk pertama kalinya sejak 2016.
Sebelumnya, perseroan masih mencatatkan keunutngan senilai Rp462,6 miliar pada 2019. Sampai akhir 2020, perseroan diprediksi rugi Rp694,8 miliar.
Secara historis, pendapatan IMAS dari penjualan otomotif sudah melambat sejak 2013. Kala itu, perseroan mencatatkan penurunan pendapatan produk otomotif 2,2% menjadi Rp15,6 triliun dibandingkan dengan Rp15,95 triliun.
Sebelumnya, IMAS mencatatkan pertumbuhan pendapatan dari penjualan produk otomotif sebesar 23,3% menjadi Rp15,95 triliun.
Setelah periode 2013, penjualan produk otomotif perseroan menyusut drastis hingga terakhir pada 2019 berada di level Rp9,27 triliun.
Selama pandemi Covid-19, perseroan malah mencatatkan penurunan pendapatan dari penjualan produk otomotif sebesar -42,37% menjadi Rp2,86 triliun dibandingkan dengan Rp4,96 triliun pada periode sebelumnya.
Melihat tren kinerja pendapatan perseroan dari penjualan produk, selaku kontributor terbesar, tampaknya secara fundamental saham IMAS kurang bagus.
Adapun, prospek fundamental IMAS bisa selaras dengan lonjakan harga sahamnya jika perjanjian antara Indomobil Grup dengan Nissan menghasilkan keuntungan yang maksimal.
Jadi, pada 5 Agustus 2020, IMAS akan mengambil alih saham mayoritas PT Nissan Motor Distributor Indonesia. Dengan begitu, ada prospek penambahan pendapatan pada kinerja perseroan ke depannya.
Lalu, Bagaimana dengan ASII?
Berbeda dengan IMAS, saham ASII justru biasa-biasa saja merespons kebijakan DP 0 persen tersebut.
Harga saham ASII justru turun 1,39% menjadi Rp5.300 per saham sejak pengumuman kebijakan BI tersebut.
Di sisi lain, kinerja bisnis otomotif ASII juga lagi menantang. Perseroan memiliki 11 anak usaha di sektor otomotif, salah satunya sudah melantai di BEI, yakni PT Astra Otoparts Tbk.
Sayangnya, kinerja bisnis otomotif perseroan lagi lesu. Pendapatan bisnis otomotifnya saja merosot 33,66% menjadi Rp33,42 triliun dibandingkan dengan Rp50,38 triliun pada periode sama tahun lalu.
Laba bersih lini otomotif perseroan susut 79,29% menjadi Rp716 miliar dibandingkan dengan Rp3,45 triliun pada periode sama tahun lalu.
Kinerja ASII sepanjang paruh pertama ini ditopang oleh penjualan PT Bank Permata Tbk. ke Bangkok Bank sehingga masih mencatatkan pertumbuhan pendapatan.
Meskipun begitu, harga saham ASII sudah mulai bangkit sejak jatuh ke level terendah pada 23 Maret 2020. Saat itu, harga saham ASII jatuh ke level Rp3.520 per saham. Artinya, saham ASII sudah melejit 61,58% dalam 5 bulan terakhir.
Valuasi saham ASII harusnya sudah murah. Saat ini, saham emiten yang memiliki bisnis beragam itu berada di level 9,21 kali alias di bawah 10 kali.
Data IPOT menunjukkan PER ASII menggunakan laporan keuangan semester I/2020 berada di level 18,87 kali. Level PER itu menjadi yang terendah dalam periode semester I/2014 sampai saat ini.
Sepanjang Agustus 2020, ada 9 dari 10 lembaga yang merekomendasi beli untuk saham ASII. Rentang target harga untuk ASII senilai Rp6.000-Rp6.700 per saham.
Satu-satunya yang tidak merekomendasikan beli adalah J.P Morgan. Lembaga asal AS itu merekomendasikan Neutral untuk ASII dengan target harga Rp4.700 per saham.
Kalian lebih milih beli IMAS atau ASII?