Kasus Jouska membuat nama besar sebagai perencana keuangan kekinian itu hancur lebur tak bersisa. Setelah mencuat bersama media sosial pada medio Juli 2017, kini Jouska harus tenggelam di akhir Juli 2020 akibat media sosial.
18 Juli 2017, Jouska posting tiga publikasi perkenalan berwarna biru gradasi ungu dengan memperkenalkan nama perusahaannya. Setelah itu, sepekan kemudian, Jouska menampilkan konten yang membahas kalau beli barang branded itu termasuk investasi atau bukan?
Pertanyaan yang menggelitik memang dan komentar warganet bisa dibilang setuju dengan syarat dan ketentuan berlaku.
BACA JUGA: Indosat Merger dengan XL Axiata dkk Demi Saingi Telkomsel?
“Kalau pendapatan bisa naik dengan menggunakan barang branded ya enggak apa-apa?” ujar salah satu pengikutnya.
“Ya, kalau barang branded bisa lebih awet artinya bisa hemat pengeluaran juga kan?” ujar pendapat lainnya dari pengikut akun perencana keuangan tersebut.
Jelas itu adalah postingan yang tidak membenarkan atau menyalahkan sebuah tindakan. Entah itu membeli barang branded atau tidak, tetapi simpulannya Jouska mulai mendapatkan atensi dari pengikutnya sejak postingan pertama.
Lalu, postingan kedua Jouska menampilkan foto buku The Intelligence Investor karya Benjamin Graham. Di sini, Jouska menekankan kalau investasi saham itu bukan berjudi. Hasilnya, banyak pengikutnya yang penasaran dengan buku karya Benjamin tersebut.
Itu dari sisi feed Instagram, lebih heboh lagi postingan akun itu di Instastory. Postingan 108 minggu lalu alias highlight pertama Instastory Jouska menceritakan tentang properti. Pembahasan yang menarik ketika menyebut bisnis properti itu jahat.
Soalnya, semakin sempit lahan, artinya semakin mahal harga properti. Dengan begitu, generasi milienial dan Z bakal butuh upaya yang lebih besar jika ingin membeli rumah karena lahan yang kian terbatas.
Postingan awal itu telah membuat citra Jouska dikenal sebagai edukator keuangan kekinian di media sosial. Dalam waktu singkat, akun medsos Jouska ibarat sudah menjadi starterpack milenial melek keuangan. Kalau enggak follow, artinya kalian bukan milenial yang kekinian.
Terlalu berlebihan mungkin, tapi itulah realita yang ada di kalangan milenial yang sudah bekerja. Enggak tahu kalau di generasi Z bagaimana.
Kasus Jouska Ketika Sang Edukator Jadi Penebar Ketakutan
Saya lupa sejak kapan, tetapi beberapa rekan tiba-tiba cerita takut enggak bisa memenuhi kebutuhan hidup ke depannya. Apalagi, kalau sudah berkeluarga. Alasannya, mereka melihat postingan Jouska dkk [kawan-kawannya adalah perencana keuangan kekinian sejenisnya] yang menggambarkan kalau hidup ini butuh banyak banget uang.
Selain itu, beberapa konten viral lainnya adalah terkait gaji puluhan juta rupiah, tetapi tetap saja tidak bisa menabung untuk kebutuhan di masa depan. Di sini, mulai muncul kalimat ketakutan seperti, “Dia yang gajinya puluhan juta aja masih kekurangan, apalagi gue yang masih jutaan beti beti [beda tipis] sama UMR?”
Puncaknya adalah ketika Jouska posting tentang lahiran dan pengeluaran anak sampai setahun bisa memakan biaya hingga ratusan juta. Ini membuat banyak yang takut untuk punya anak, tapi juga banyak yang membantah. Soalnya, ada yang sudah mengalami lahiran dan memiliki anak dengan biaya yang jauh di bawah itu.
Banyak yang beranggapan strategi menebar ketakutan itu sebagai cara agar Jouska bisa mendapatkan klien. Di sisi lain, hal itu selaras dengan konsumen penasihat keuangan yang mayoritas berasal dari segmen A alias menengah ke atas.
Cerita dari konsumennya itu kemudian dijadikan konten media sosial yang tidak relevan sehingga membuat terjadinya komunikasi yang tidak efektif. Sebuah komunikasi yang efektif adalah ketika frame of reference atau kerangka referensi dan frame of experience atau kerangka pengalaman antara komunikator dengan komunikan sama.
Jika kerangka referensi dan pengalaman berbeda, alhasil terjadi disfungsi komunikasi di mana komunikan akan merespons dengan cara yang tidak sesuai ekspektasi komunikator. Itulah yang terjadi dalam postingan Jouska sang edukator finansial yang berubah menjadi penebar ketakutan soal uang.
Cerita Awal Jouska Berdiri
Mengutip dari Bisnis.com, Founder dan CEO Jouska Aakar Abyasa Fidzuno bercerita kalau dirinya membangun Jouska karena terdorong oleh salah satu kisah kliennya.
Jadi, ada kliennya yang diceraikan suaminya gara-gara terjebak investasi bodong. Kliennya berinvestasi di sana sesuai dengan saran perencana keuangan. Di sini, kliennya memang kurang memiliki pemahaman soal produk investasi.
“Terus perencana keuangan bukannya mengarahkan ke arah yang benar, malah diarahkan ke produk yang menyesatkan dan merugikan kliennya. Di sini saya sadar ada gap yang lebar soal literasi keuangan,” ujarnya pada awal 2019.
Di sisi lain, Jouska lahir sebagai perusahaan perencana keuangan digital yang akuntable dan auditable. Kedua hal itu dibutuhkan di sektor perencana keuangan karena bisnis ini sangat menggoda iman dan easy money.
Aakar pun memamerkan kalau Jouska memiliki server khusus sebagai tempat setiap komputer terkoneksi. Alhasil, tidak akan ada penasihat keuangan Jouska yang bisa berhubungan dengan klien di luar sistem.
“Kalau itu terjadi, itu adalah sebuah pelanggaran,” ujarnya kala itu.
Lalu, dia menceritakan perencana keuangan saat itu banyak yang tidak mengerti hal teknis. Soalnya, banyak perencana keuangan yang belum memiliki lisensi WMI dan WPPE.
“Kedua lisensi itu bisa dibilang hal yang mendasar dari seorang perencana keuangan,” ujarnya.
Lisensi WMI adalah wakil manajer investasi yang dimiliki perseroangan untuk mewakili perusahaan efek yang punya kegiatan manajer investasi.
Manajer investasi adalah pihak yang mengelola portofolio efek nasabah atau investasi kolektif sekelompok nasabah.
Lalu, lisensi WPPE adalah wakil perantara pedagang efek untuk perseorangan yang mewakili kepentingan perusahaan efek yang melakuan kegiatan usaha sebagai perantara pedagang efek.
Jadi, kedua lisensi itu dibutuhkan bagi seseorang yang ingin bekerja sebagai wakil manajer investasi atau wakil perantara pedagang efek.
Tangisan Aakar dan Akhir Nasib Jouska
Aakar menampakkan mimik sedih sambil sesengukkan, dia menyesali perbuatannya di IG TV akun pribadinya. Namun, dia mengaku tidak akan defensif dan membuat klarifikasi. Apakah ini sebuah pengakuan?
Sampai video berdurasi 3 menit itu berakhir, tidak jelas apa simpulannya. Aakar hanya mengatakan kalau dirinya akan menyelesaikan permasalahan Jouska secara bisnis. Jika ada masalah hukum pun akan diselesaikan secara hukum.
“Saya percaya dengan hukum di Indonesia,” ujarnya singkat, tapi terbata-bata.
Kasus Jouska yang mencuat pada pekan lalu adalah perencana keuangan itu melakukan andil terhadap portofolio aset kliennya. Aktivitas yang biasanya dikerjakan oleh manajer investasi, bukan seorang penasihat keuangan.
Lalu, sorotan lainnya dari kasus Jouska ini adalah dalam mengelola investasinya, sang perencana keuangan menempatkan salah satu portofolionya di saham LUCK alias PT Sentral Mitra Informatika Tbk.
Saham LUCK memang sempat menjadi obrolan hangat selepas mereka melantai di bursa sejak akhir 2018. Dengan harga penawaran perdana Rp286 per saham, harga saham LUCK melejit hingga Rp2.000 per saham pada Juli 2019.
Di beberapa grup saham, LUCK menjadi obrolan hangat. Namun, lonjakan itu jelas tidak sesuai dengan fundamental. Pasalnya, lonjakan berkali-kali lipat dalam jangka pendek, artinya ada sesuatu non fundamental yang menggerakkan saham tersebut.
Ada yang bermimpi LUCK menjadi calon BBCA atau ICBP baru. Namun, dari segi bisnisnya yang menjadi penjual perangkat keras percetakan mustahil menyamai kisah bank swasta terbesar maupun penjaja mie instan ternama di Indonesia tersebut.
Muncul asumsi di media sosial yang mengatakan kalau Jouska yang menempatkan dana kliennya di LUCK ini berhubungan dengan proyek yang diurus Aakar sejak akhir November 2018.
Selanjutnya, masalah utama Jouska hingga skandalnya mencuat ke publik adalah ketika portofolio kliennya mengalami kerugian.
Dari sini, bermunculan sosok-sosok yang mengaku klien dari Jouska yang mengaku portofolio investasinya dikendalikan oleh pasukan Jouska. Bahkan, banyak beredar surat penawaran dari Jouska terkait pengelolaan investasi.
Untuk itu, Satgas Waspada Investasi pun memutuskan untuk hentikan operasional Jouska dan dua mitra manajemen investasi dan perusahaan efek yang terafiliasi oleh Aakar serta tak berizin OJK pada Jumat 24 Juli 2020.
Dari kasus Jouska ini, ada satu pertanyaan dari salah satu warganet kepada Jouska, yakni perusahaan perencana keuangan itu sudah menyiapkan uang berapa banyak ya untuk menghadapi situasi seperti saat ini?