Kalau baca forum saham di Telegram sampai Stockbit, banyak banget investor yang berharap harga saham yang dimilikinya mengalami auto rejection atas (ARA). Memang sih, kalau ARA artinya harga saham yang dimiliki lagi melejit banget, tapi kamu tahu enggak sejarah kenapa sih di pasar saham harus ada ARA dan kawannya auto rejection bawah (ARB)?
Kisah munculnya kebijakan saham ARA dan ARB itu adalah sebagai antisipasi setelah kejadian Black Monday pada Senin 19 Oktober 1987. Ketika pasar saham di seluruh dunia anjlok bersamaan. Bisa dibilang Black Monday sebuah bencana terbesar kedua setelah terakhir saat ekonomi Amerika Serikat (AS) mengalami depresi besar mulai 1929-an.
Awal Kisah Black Monday, Asuransi Portofolio Saham
Pasar modal Amerika Serikat (AS) telah mengalami periode bearish (kondisi pasar yang turun) selama dua tahun berturut-turut pada 1973-1974. Lalu, proses pemulihan ekonomi pasca runtuhnya pasar saham pada periode itu butuh waktu lama banget. Butuh hampir sewindu alias 8 tahun hingga pasar saham kembali bergairah.
Artinya, investor saham baru mulai bereuforia lagi pada 1982. Profil para investor saham di AS saat itu antara lain, yang paling senior adalah mereka yang merasakan depresi besar yang menyeramkan pada 1929. Lalu, pecahnya perang dunia kedua. Ditambah, mereka yang merasakan pasar runtuh pada 1973-1974. (Khusus keruntuhan pasar pada 1974 bakal gue bahas nanti).
BACA JUGA: Bukan Rekomendasi Saham, Ini Cerita Koleksi Portofolio Gue
Nah, saat pasar saham mulai pulih lagi pada 1982, ada asuransi portofolio saham yang populer banget. Konon, asuransi itu bisa meredam potensi kerugian dalam investasi saham. Skemanya, investor yang membeli produk itu akan melakukan aksi short selling indeks berjangka S&P 500 saat pasar turun.
Short selling adalah aksi investor menjual saham yang tidak dimiliki lewat pinjaman sekuritas. Keuntungannya, investor bisa menjual saham itu di harga tinggi dan mengembalikan saham lewat aksi beli di harga yang lebih rendah. Jadi, investor bisa mendapatkan keuntungan dari selisih harga jual dengan beli tersebut alias dapat untung dari saham saat harganya jatuh.
Dengan begitu, saat pasar saham runtuh, para investor bisa meredam kerugian dengan otomatis melakukan short selling indeks berjangka S&P 500 tersebut.
Fasilitas asuransi portofolio saham itu pun menarik hati para investor saham. Soalnya, mereka yang pernah mengalami kejadian runtuhnya pasar menganggap asuransi itu sangat berguna.
Spekulasi Akusisi-Merger yang Terlalu Liar
Komponen kedua yang bikin Black Monday terjadi adalah kebiasaan membeli saham dengan rumor pasar. Waktu itu, pasar saham AS banjir berbagai informasi rumor akuisisi dan merger. Hal itu pun dimanfaatkan oleh investor untuk berspekulasi di saham yang mau melakukan akuisisi dan merger.
Hal itu lumrah banget karena memang banyak terjadi aksi merger dan akuisisi perusahaan di AS. Namun, kala itu aksi merger dan akuisisi dilakukan dengan pembiayaan dari pinjaman bank maupun obligasi dengan bunga dan kupon tinggi.
Akhirnya, saat Federal Reserve (The Fed), bank sentral AS menaikkan suku bunga, banyak aksi akuisisi merger yang dibatalkan. Soalnya, kenaikan suku bunga itu bikin beberapa perusahaan berpikir dua kali soal bunga yang tinggi untuk modal akuisisi dan merger.
Petaka tambahan muncul pada 13 Oktober 1987 ketika RUU pajak pengambilalihan yang berisi keringanan pajak untuk aksi akuisisi dan merger dihapuskan bakal disahkan. Rancangan undang-undang itu makin membuat jumlah aksi akuisisi merger yang direncanakan langsung batal seketika.
Keputusan itu membuat banyak investor langsung ambil posisi jual terhadap saham yang awalnya diprediksi bakal melakukan akuisisi merger.
Kombinasi Aksi Jual dan Asuransi Saham sama dengan CRASH
Beberapa investor masih berharap adanya pembatalan rencana pengesahan RUU pajak pengambilalihan itu pada 16 Oktober 1987. Sayangnya, tidak ada sinyal yang diharapkan datang dari Washington. Hasilnya, pasar di AS mulai melakukan aksi jual pada hari itu juga dan membuat pasar saham mulai bergejolak.
Melihat apa yang terjadi pada akhir pekan di AS, 19 Oktober 1987, pelaku pasar di seluruh dunia juga melakukan hal yang sama. Hasilnya, bursa saham dunia bisa dibilang merah merona.
Pencairan beberapa reksa dana saham akibat kepanikan juga memperparah keadaan. Para manajer investasi dibuat terpaksa menjual saham kala itu hingga kondisi pasar makin parah.
Ditambah, para investor yang menggunakan asuransi saham juga secara otomatis melakukan aksi short selling di indeks berjangka S&P 500 secara bersamaan. Hasilnya, aksi jual berjamaah merontokkan pasar saham dan dikenal sebagai black friday.
Alasan Harga Saham ARA, ARB, sampai Ada Trading Halt
Setelah kejadian Black Monday, Presiden Amerika Serikat saat itu Ronald Reagen membentuk The Brady Commission. Tugas komisi itu adalah menyelidiki dan mencari solusi agar kejadi Black Monday tidak terulang lagi.
Hasilnya, The Brady Commission melahirkan formula bernama circuit breaker yang terdiri dari penghentian perdagangan sementara atau trading halt dan auto rejection atau istilah saat itu adalah price limit. Dengan circuit breaker harapannya kejadian seperti Black Monday tidak terulang.
Dari sini, kamu harus menyadari kalau saham ARA itu bukanlah sinyal yang baik. Soalnya, ada kelebihan aksi beli yang tidak wajar hingga melejitkan harga saham hingga jauh di atas nilai wajarnya.
Sebagai gambaran, sebelum kejadian black monday, rata-rata price to earning ratio (PER) saham di AS itu ada di atas 20 kali lho. Buat kamu yang melakukan trading tanpa melihat rasio valuasi, coba cek lagi sudah berapa posisi PER sahammu saat ini. Jangan-jangan bisa tembus 40 kali atau sampai ratusan kali.
Kalau benar, artinya harga saham itu sudah benar-benar di atas harga wajar. Kamu pun harus siap mental dengan potensi risiko saham longsor setiap saat jika tidak ditopang dengan fundamental keuangan yang memadai.
Jadi, masih berburu saham yang mau ARA?