Dharma Samudera Fishing Industries memiliki kenangan tersendiri. Emiten sektor perikanan itu menjadi perusahaan terbuka pertama yang merespons saya ketika mengawali karir sebagai jurnalis ekonomi.
12 Mei 2014 malam, bos menyarankan saya untuk mengunjungi kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) setelah beberapa hari tidak ada agenda. Harapannya, bisa bertemu dengan salah satu petinggi korporasi yang mondar-mandir di OJK.
BACA JUGA : Berita di Balik Berita, Pelajaran dari Tangisan Edmund Muskie
Masalahnya, saya tidak mengenal wajah-wajah petinggi korporasi tersebut.
Hasilnya, pada 13 Mei 2014 saya datang ke kantor OJK di Jalan lapangan Banteng Timur, Jakarta Pusat, dengan wajah kebingungan. Satpam mengarahkan ke ruang pers yang berada di sudut ruangan.
Ruang pers itu cukup besar dengan kumpulan meja berbentuk U dan dua komputer di pojok ruangan. Kondisi ruangan sepi dan sedikit berdebu, tampak tidak terlalu terurus.
Sambil melihat pegangan liputan, entah kenapa mata saya tertuju kepada emiten sektor perikanan Dharma Samudera Fishing tersebut.
Berjudi, saya menghubungi nomor kantor emiten berkode DSFI dengan tujuan Direktur Utamanya Johanes Sarsito. Ajaibnya, saya bisa langsung bicara dengan sang direktur utama tersebut.
Sarsito pun menceritakan perkembangan perusahaan terutama terkait perlambatan ekonomi Eropa dan China yang mempengaruhi kinerja ekspornya.
Apalagi, porsi penjualan DSFI mayoritas ekspor sehingga perlambatan permintaan dari negara importir bakal berpengaruh besar.
Saat itu, Sarsito menapik kalau perlambatan ekonomi di Eropa dan China mempengaruhi perseroan. pasalnya produk perseroan bersifat primer atau tidak tergantikan.
Dia memaparkan, perseroan ekspor produk laut itu ke beberapa wilayah Eropa dari Italia, Portugal, kawasan Eropa Timur, dan China.
Dharma Samudera Fishing dan Relaksasi Bea Masuk
Perlambatan ekonomi Eropa itu yang disebut tidak mempengaruhi ekspor juga bisa dipengaruhi oleh rencana penurunan bea masuk tuna ke Benua Biru tersebut.
Kala itu, Sarsito enggan berharap lebih terkait proses negosiasi pemerintah dengan Uni Eropa tersebut.
“Walaupun begitu, kalau terealisasi bakal sangat membantu kinerja kami,” ujarnya.
Selain berbicara terkait prospek ekspor, Sarsito juga membahas tantangan perseroan lainnya pada periode tersebut.
Dia menceritakan, bahan baku makin mahal terutama produksi ikan di wilayah Indonesia Timur. Kondisi itu yang membuat laba turun tipis meskipun pendapatan mencatatkan kenaikan.
Di tengah tantangan itu, harga salah satu produk andalannya yakni, Tuna sedang tinggi.
“Nilainya lagi bagus sekitar US$8 sampai US$9 di pasar dunia,” ujarnya.
Dia menceritakan, itu bukan harga jual bersih, tetapi bakal disesuaikan lagi dengan kualitas ikan yang memiliki tingkatan tertentu.
“Kalau tingkatannya tinggi harganya bisa menjadi lebih tinggi lagi,” ujarnya.
Nah, sepanjang tahun itu, Sarsito mengaku perseroan tidak ada rencana ekspansi atau melakukan aksi korporasi lainnya.
“Mungkin, kami baru akan mulai ekspansi pada 2015. Pasalnya, ekspansi membutuhkan modal besar, untuk itu kami akan siapkan rights issue atau aksi korporasi lainnya,” ujarnya.
Rights issue adalah aksi korporasi perusahaan terbuka untuk mendapatkan dana segar dari investor. Caranya dengan menerbitkan saham baru yang akan diserap oleh pemegang saham lama, calon investor baru, atau pembeli siaga.
pengertian rights issue
Jalan Panjang Restrukturisasi Dharma Samudera Fishing
DSFI kesulitan melakukan ekspansi karena terlilit restrukturisasi utang sejak 29 Oktober 2010. Emiten sektor perikanan itu memiliki utang tidak lancar senilai Rp1,95 miliar dan US$34.800 kepada PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Utang yang tidak lancar itu direstrukturisasi dengan cara penjadwalan ulang cicilan selama 60 bulan. Namun, rencana ekspansi pada 2015 juga terhambat karena perseroan belum memenuhi syarat bank.
Restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan kondisi debitur yang kesulitan membayar utangnya. Upaya itu bisa dilakukan dengan pemberian waktu bebas cicilan [grace period] pada beberapa periode dengan syarat dan ketentuan khusus sampai relaksasi pembayarannya hanya bunga kredit atau cicilan pokoknya saja.
pengertian restrukturisasi kredit
Beberapa syarat bank itu antara lain, kemampuan perseroan membayar utang pada 2015 masih sebesar 1,49 : 1,0. Padahal, syarat dari bank sebesar 1,10 : 1,0.
Lalu, perbandingan total utang dengan ekuitas 2015 masih sebesar 1,1 kali, sedangkan bank memberikan syarat 2,1 kali.
Nah, pada 2016, kinerja Dharma Samudera Fishing terus membaik. Dalam laporan tahunan 2016, perseroan menyeutkan program restrukturisasi dari BNI adalah modal penting untuk melanjutkan lini usahanya yang terkait dengan produk hasil laut.
Pada 2016, DSFI pun langsung tancap gas dengan melakukan ekspansi ke lini usaha makanan olahan. Beberapa produk makanan olahan anyarnya antara lain, Bakso Ikan, Kaki Naga, Otak-otak, dan nugget diharapkan menggenjot penjualan di pasar domestik.
Sekretaris Perusahaan DSFI Saut Marbun mengatakan, perseroan mengembangkan lini usaha hilirisasi itu untuk menggenjot pasar lokal yang besar dan efisiensi usaha.
Efisiensi yang dimaksud adalah penggunaan bahan baku makanan olahan yang berasal dari potongan-potongan kecil sisa filet.
Pada awal 2017, perseroan pun berencana melebarkan ekspansi dengan membuat outlet yang menjual produk olahan. DSFI juga berencana membuatkan menu siap saji seperti, nasi goreng bakso ikan, bakso ikan goreng, dan lain-lain.
Perseroan pun memiliki satu restoran di kawasan Puncak Pass, Bogor, Jawa Barat. Produk olahan itu juga dijajakan di sana sebagai menu makanan dan oleh-oleh.
Aksi Korporasi Teranyar
Pada 2015, Dharma Samudra Fishing memiliki komposisi pemegang saham yang terdiri dari K Energy Ltd. sebesar 29,64%, Winapex 26,17%, PT Dharma Mulia Andhika 18,22%, Irwan Sutjiamidjaja sebesar 0,09%, dan publik 25,88%.
Komposisi pemegang saham itu tidak berubah sampai laporan tahunan 2018.
Namun, muncul transaksi pada 15 April 2019 terkait pengalihan saham DSFI milik Winapex dan PT Baruna Inti Lestari kepada PT Marina Berkah Investama sebesar 35% dari total saham perseroan.
Marina Berkah Investama membeli saham DSFI dengan harga di bawah pasar yakni Rp49 per saham. Berarti, Marina Berkah Investama menggelontorkan dana senilai Rp32,63 miliar untuk ambil alih 35% saham DSFI.
Harga pembelian saham itu bisa dibilang di bawah harga pasar. Pasalnya, sampai perdagangan 15 April 2019, harga saham DSFI ditutup pada level Rp123 per saham.
Dengan transaksi itu, Marina Berkah Investama resmi menjadi pemegang saham pengendali DSFI.
Marina Berkah Investama mengklaim akuisisi DSFI dilakukan untuk mengembangkan bisnis perikanan tu lebih kuat di skala regional. Dengan ambil alih itu, peluang mendongkrak investasi sangat besar.
Selain transaksi itu, Marina Berkah Investama juga telah menandatangani perjanjian pengikatan jual beli saham pada 15 April 2019. Tanda tangan itu terkait pengambilalihan 29,64% saham DSFI milik K Energy.
Artnya, Marina Berkah berencana untuk mengambil alih keseluruhan saham nonpublik DSFI.
Sayangnya, saya tidak menemukan profil Marina Berkah Investama di jagat maya sekecil apapun
Pergerakan Harga Saham DSFI
DSFI sempat terjerembab ke dalam kelompok saham Rp50 per saham pada periode 2008 sampai Oktober 2014. Saya tidak mengetahui secara detail apa yang membuat sahamnya merosot hingga ke dasar pada periode tersebut.
Padahal, sepanjang 2007, harga saham SFI bergerak di rentang Rp70 per saham – Rp119 per saham. Bahkan, ketika melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 24 Maret 2000, perseroan menawarkan harga perdana Rp900 per saham.
Perlahan tapi pasti, harga saham DSFI mulai kembali bergerak dari dasar Rp50 per saham. November 2014, harga saham DSFI tembus Rp122 per saham.
Setahun kemudian, DSFI mencatat harga saham tertinggi pada level Rp204 per saham di awal tahun. Pergerakannya cenderung naik turun hingga menembus level tertinggi lagi di level Rp212 per saham pada 5 Agustus 2016.
Namun, setelah menyentuh level tertinggi itu, harga saham DSFI terus menurun hingga Rp96 per saham pada 2 November 2018.
Teranyar, pada perdagangan Selasa (30/04/2019), harga saham DSFI naik 1,65% secara harian ke level Rp123 per saham.
Itulah kisah emiten yang pertama kali saya hubungi ketika menjadi jurnalis ekonomi di Bisnis Indonesia. Dari hubungan dengan DSFI itu, saya menyadari sumber berita tidak hanya berasal dari mereka yang besar, tetapi ada potensi dari mereka yang kecil dan tidak diketahui oleh orang.
Toh, perusahaan DSFI bisa dibilang kecil karena hanya memiliki kapitalisasi pasar Rp223,83 miliar. Namun, DSFI memiliki lini bisnis yang bisa mendongkrak nilai ekspor Indonesia.
Apalagi, kini Indonesia sedang bermasalah dengan neraca perdagangannya.