Beli rumah disebut bisa menjadi strategi untuk memulihkan ekonomi di tengah pandemi. Namun, bagaimana caranya meningkatkan permintaan beli rumah kalau kondisi ekonomi sedang seperti ini?
Di Amerika Serikat (AS),tingkat bunga hipotek rumah tetap tenor 30 tahun menjadi di bawah 3% untuk pertama kalinya sepanjang sejarah. Penurunan bunga hipotek itu diharapkan bisa meningkatkan permintaan pembelian rumah, meski di tengah pandemi Covid-19.
Hipotek tetap tenor 15 tahun di AS juga turun menjadi 2,48% per tahun.
BACA JUGA: Sampah Plastik Bisa Sirna oleh Inovasi Startup Ini
Penurunan hipotek di As itu selaras dengan keputusan Federal Reserve (the Fed) yang memangkas suku bunga hingga mendekati 0%. Keputusan pemangkasan suku bunga itu diharapkan membantu perekonomian Paman Sam bisa bangkit dari dampak pandemi Covid-19.
Sektor perumahan dinilai penting dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.
Hal ini mengingatkan saya kepada omongan Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Jahja Setiaatmadja kalau sektor perumahan itu punya efek domino yang besar ke perekonomian. Kala itu, dia membahas sektor perumahan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kredit.
“Kalau permintaan rumah naik, artinya permintaan semen, bahan bangunan, furnitur, dan barang-barang rumahan lainnya juga bisa naik,” ujarnya via pesan instan pada medio 2016-an kepada saya.
Namun, penurunan bunga hipotek perumahan itu belum tentu bisa bantu bangkitkan perekonomian AS. Pasalnya, jumlah kasus positif Covid-19 terus bertambah.
Kondisi itu bisa membuat pemulihan ekonomi di AS bisa menjadi terhambat. Roda ekonomi yang bergerak lebih lambat berpotensi membuat banyak orang di PHK.
Jika tingkat pengangguran bertambah, penurunan hipotek perumahan itu tak mungkin bisa mendorngkrak permintaan orang beli rumah.
Itu di AS, Bagaimana Strategi Indonesia Dongkrak Permintaan Beli Rumah?
Bank Indonesia juga baru saja memangkas suku bunga acuannya BI 7-days Reverse Repo Rate 25 bps menjadi 4%. Itu adalah tingkat suku bunga terendah Bank Indonesia sepanjang masa. Apakah langsung berdampak kepada suku bunga kredit, termasuk KPR [kredit pemilikan rumah]?
Biasanya, ketika suku bunga acuan BI turun tidak langsung membuat suku bunga kredit turun. Ada lag sekitar 1-3 bulan untuk penurunan suku bunga kredit. Pasalnya, bank akan menjaga margin dengan memulainya pada penurunan bunga deposito terlebih dulu.
Nah, mayoritas suku bunga deposito yang mengendap pada bank di Indonesia berada pada tenor 1-6 bulan. Artinya, hitung-hitungan penurunan suku bunga kredit akan menunggu suku bunga deposito itu turun terlebih dulu.
Dari data Bank Indonesia per kuartal I/2020, suku bunga KPR sudah turun sebesar 61 bps menjadi 8,92% dibandingkan dengan 9,53% pada kuartal I/2019. Padahal, suku bunga acuan BI sudah turun 150 bps menjadi 4,5% dibandingkan 6% pada periode yang sama.
Belum lagi, suku bunga floating KPR di beberapa bank masih ada yang di atas 10% per tahun.
Suku Bunga masih Tinggi, Kalian Tertarik Beli Rumah?
Selain masalah suku bunga, ada beberapa upaya yang dilakukan Bank Indonesia untuk mendongkrak permintaan beli rumah. Salah satunya adalah melonggarkan kewajiban uang muka pembelian rumah.
Teranyar, per Desember 2019, Bank Indonesia melonggarkan uang muka beli rumah menjadi 5% dengan syarat dan ketentuan tertentu, seperti rumah pertama. Namun, dari beberapa kali melonggarkan kewajiban uang muka beli rumah, permintaan properti di Indonesia belum juga menggeliat.
Artinya, masalah masyarakat menengah ke bawah [mayoritas penduduk Indonesia] bukan pada down payment atau DP rumah.
Sampai Mei 2020, kredit pemilikan rumah tapak mencatatkan pertumbuhan 0,39% menjadi Rp481,79 triliun dibandingkan dengan akhir 2019. Pertumbuhan KPR rumah tapak secara year on year (yoy) tumbuh 3,61%.
Di sisi lain, pertumbuhan kredit pemilikan rumah susun naik 0,51% menjadi Rp22,42 triliun dibandingkan dengan akhir 2019. Secara yoy, pertumbuhan kredit rumah susun naik 5,88%.
Nah, dari segi segmennya, rumah ukuran menengah, yakni tipe 22-70 yang mendorong pertumbuhan kredit pemilikan rumah baik tapak maupun susun.
Adapun, rumah tipe kecil seperti 21 maupun besar di atas 70 kompak mencatatkan penurunan.
Sayangnya, pertumbuhan KPR tapak maupun susun itu masih rendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Secara yoy, rata-rata pertumbuhan KPR bisa tembus di atas 10%.
Terakhir, pada 2019 memang mulai mencatatkan perlambatan pertumbuhan. KPR rumah tapak hanya tumbuh 7,8% dibandingkan dengan periode 2018 yang tumbuh 13,31%.
Lalu, KPR rumah susun juga cuma tumbuh 12,03% dibandingkan dengan 2018 sebesar 28,98%.
Apakah Indonesia juga akan berupaya melonggarkan sektor properti lagi untuk memulihkan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19?