Membangun startup berbeda dengan bisnis biasa. Tujuan menjadi salah satu yang membuat keduanya berbeda. Jika bicara bangun bisnis, tujuan utamanya adalah bottom line alias laba bersih, lalu bagaimana dengan startup?
Hasil dari mengikuti tiga sesi webinar tentang membangun startup di sebuah media, saya mendapatkan pemahaman tertaik target dalam membangun startup bukanlah keuntungan, melainkan solusi untuk konsumen.
BACA JUGA: Airbnb Siap Bangkit Setelah Tekanan Pandemi Covid-19, Rencana Masuk Bursa Dilanjutkan
Startup yang menarik hati investor adalah perusahaan rintisan yang mampu memberikan solusi mempermudah atau mempercepat proses memenuhi kebutuhan konsumen. Dengan begitu, konsumen bisa ketagihan menggunakan layanan startup tersebut.
Nantinya, semua itu akan tercermin dalam beberapa indikator sesuai jenis startupnya seperti, startup e-Commerce memiliki indikator Gross Merchandise Value (GMV) alias seluruh nilai seluruh transaksi. Jadi, transaksi konsumen dengan merchant di sebuah e-Commerce menjadi GMV. Kalau e-Commerce dengan jumlah pengguna aktif dan merchantnya banyak, GMVnya pasti besar.
Namun, GMV bukanlah pendapatan dari startup e-Commerce. Indikator itu hanya acuan seberapa besar pengguna dan aktivitas startup e-Commerce tersebut.
Secara keseluruhan, startup ingin menjadikan dirinya sebagai top of mind solusi bagi masyarakat dengan pasar yang sudah ditargetkan.
Terlebih, startup yang mengklaim diri sebagai super app seperti Gojek dan Grab akan memburu jumlah konsumen yang melihat logonya di layar ponsel pintarnya. Soalnya, karakter super app mengarah kepada semua solusi ada dalam aplikasi tersebut.
Hasilnya, sebuah startup besar pasti akan mencatatkan pendapatan atau omzet yang luar biasa selaras dengan jumlah penggunanya. Sayangnya, omzet yang luar biasa itu belum tentu berakhir dengan keuntungan. Soalnya, operasional teknologi dan SDM startup tidak murah sehingga biaya operasional bisa melebihi omzet. Artinya, startup itu merugi.
Membangun Startup yang Merugi, tapi Tetap Menarik Minat Investor
Bottom line startup yang masih merah bukan sesuatu yang buruk. Investor pun tetap bakal tertarik meski bottom line masih merah.
Alasannya, investor akan melihat dari segi valuasi. Lalu, dari mana valuasi ini muncul?
Valuasi ini muncul dari indikator seberapa besar sebuah startup bisa menangkap pasarnya. Indikator itu seperti GMV dan lainnya yang merepresentasikan jumlah pengguna.
Enggak cuman itu, para investor juga melihat seberapa besar pendapatan sebuah startup. Acuan pendapatan diambil sebagai gambaran kalau model bisnis startup itu bisa menghasilkan uang.
Terus dari mana para investor yang baik hati ini bisa untung dengan investasi di startup?
Investor enggak cuma asal pilih startup, mereka akan memilih startup yang memiliki potensi besar ke depannya. Harapannya, dengan memiliki saham startup itu saat ini, para investor bisa mendulang cuan setelah menjual sahamnya suatu saat nanti.
Lonjakan keuntungan investor startup bisa berkali-kali lipat dibandingkan dengan jumlah pendanaannya kepada perusahaan rintisan tersebut. Namun, risikonya juga besar, seperti startup itu gagal berkembang atau ada masalah model bisnis seperti kasus WeWork.
Ada beberapa startegi exit investor dari sebuah startup. Misalnya, menggunakan strategi mendorong startup melantai di bursa atau mencarikan investor strategis lainnya untuk akuisisi startup tersebut.
Alasan Kenapa Startup Enggak Minjem Uang ke Bank
Nah, setelah mengetahui model bisnis startup yang tidak mengejar keuntungan itu membuat perusahaan rintisan tidak mencari pendanaan dari bank untuk tahap awal. Biasanya, startup yang mulai mencari pendanaan lewat bank adalah yang sudah mulai menemukan model bisnis untuk mendapatkan keuntungan, serta mau menuju lantai bursa.
Jika baru membangun startup dan mencari pendanaan lewat bank, perusahaan rintisan itu bisa terjerat utang dan tidak fokus ke pengembangan solusi untuk konsumen.
Hal ini yang membuat startup cenderung mencari pendanaan dari angel investor maupun perusahaan modal ventura. Namun, mendapatkan pendanaan dari situ justru lebih selektif ketimbang bank.
Namun, pendanaan dari modal ventura membuat startup bisa fokus dalam pengembangan solusi ke konsumen. Soalnya, konsep pendanaannya tidak dikejar-kejar agar untung dalam jangka dekat, meski ada beberapa modal ventura yang baru 6 bulan kasih pendanaan sudah nagih untung.
Selain itu, startup yang mendapatkan pendanaan dari modal ventura juga mendapatkan fasilitas untuk mengembangkan bisnis. Bahkan, salah satu modal ventura memberikan bantuan divisi HRD sampai keuangan bagi startup yang dinaunginya.
Enggak cuma itu, modal ventura juga memberikan akses untuk bisa mendapatkan pendanaan tambahan demi bisa mengembangkan bisnisnya.
Nah, dengan begini, kalian yang ingin bikin startup, tetapi tujuannya mencari untung, artinya bukanlah membangun sebuah perusahaan rintisan. Itu hanya membuat bisnis biasa.
Lalu, perusahaan konvensional pun sulit untuk bersaing atau berkiblat ke startup besar. Penyebabnya, perusahaan konvensional sudah terjebak dalam sistem harus untung karena memiliki tanggung jawab ke pemegang saham dan karyawan yang pola pikirnya konvensional.
Jadi, bagi perusahaan konvensional jalankanlah bisnis sesuai dengan jalurnya. Jangan mencoba berkiblat ke startup jika masih berharap untung besar.