SMCB alias PT Solusi Bangun Indonesia Tbk. masih menjadi perbincangan hangat pada perdagangan hari ini. Harga saham SMCB lagi-lagi kena auto rejection atas alias ARA saat pasar baru dibuka 5 menit.
Dikutip dari Bisnis.com, harga saham SMCB menguat 25% menjadi Rp1.300 per saham. Nilai transaksi saham SMCB sepanjang kamis 23 April 2020 senilai Rp300,67 miliar dengan jumlah lembar saham 232.100.
BACA JUGA: Harapan Baru Newcastle United yang Penuh Kecaman
Lonjakan harga saham SMCB berhubungan erat dengan divestasi Semen Indonesia atau SMGR atas emiten tersebut.
Semen Indonesia melepas 15% saham SMCB kepada Taiheiyo Cement Co. Ltd senilai US$220 juta. Jika asumsi kurs Rp15.500 per dolar AS, total transaksi itu senilai Rp3,41 triliun.
Divestasi itu dilakukan untuk memenuhi jumlah saham free float minimal 7,5%. Sejauh ini saham publik SMCB cuma 1,69%.
Selain SMCB, Garuda Indonesia Mulai Bernegosiasi dengan BBRI
Garuda Indonesia alias GIAA yang menjadi BUMN dengan Debt to Equity Ratio (DER) terbesar tengah bernegosiasi dengan BBRI terkait proses restrukturisasi utangnya.
Namun, pihak Garuda Indonesia masih enggan membeberkan skema restrukturisasi kredit lewat perpanjangan tenor atau keringanan bunga dan pokok.
BBRI adalah kreditur bank terbesar GIAA senilai US$218,7 juta.
Selain BBRI, Garuda Indonesia juga punya utang ke BMRI dengan nilai US$180,49 juta.
Garuda Indonesia mencatatkan utang jangka pendek senilai US$3,25 miliar pada akhir 2019. Dari total itu, US$984,85 juta utang bank di mana US$540,09 juta dari bank terafiliasi alias sesama BUMN, sedangkan sisanya bank pihak ketiga.
Sampai penutupan perdagangan Kamis, harga saham GIAA turun 1,65% menjadi Rp179 per saham.
PPRO, Primadona yang Kian Nyaman di Geng Gocap
PPRO, anak usaha PT PP (Persero) Tbk. sudah berada di level gocap sejak 9 Maret 2020. Saham PPRO sempat naik ke Rp58 per saham pada 7 April 2020, tetapi kini kian nyaman di level Rp50 per saham.
Mengutip dari Bisnis.com, lembaga Fitch Ratings Indonesia menurunkan peringkat PPRO menjadi BBB- dari sebelumnya BBB+.
Alasannya, arus kas PPRO dari operasi, termasuk akuisisi lahan, diprediksi tetap negatif untuk jangka menengah. Hal ini membuat perseroan bakal bergantung pada utang untuk operasionalnya.
Simbol positif yang berubah menjadi negatif juga mencerminkan risiko PPRO akan sulit meningkatkan arus kasnya atau meluncurkan proyek baru. Pandemi Covid-19 menjadi tantangan besar untuk PPRO.
Rekomendasi Saham: Pesona SIDO di Tengah Pandemi
Sido Muncul alias SIDO, emiten produsen jamu seperti, Tolak Angin, direkomendasikan untuk koleksi saat ini.
Mengutip dari Bisnis.com, Analis Kresna Sekuritas Robertus Hardy dan Isabella menuliskan dalam risetnya merevisi target saham SIDO dari Rp1.460 per saham menjadi Rp1.420 per saham
Sampai penutupan perdagangan Kamis 23 April 2020, harga saham SIDO menguat 0,85% menjadi Rp1.190 per saham dengan PER sebesar 19,35 kali.
Adapun, target harga dari Kresna itu dengan melihat potensi kenaikan kapitalisasi pasar sebesar 17,4%. Dengan target harga baru itu, Kresna Sekuritas memperkirakan pendapatan SIDO lebih rendah dari sebelumnya menjadi Rp2,89 triliun.
Sebelumnya, Kresna menargetkan pendapatan SIDO bisa Rp3,4 triliun.
Perkiraan laba bersih SIDO 2020 juga direvisi menjadi Rp878 miliar dibandingkan proyeksi sebelumnya senilai Rp902,3 miliar.
Meskipun begitu, saham SIDO tetap menarik karena perusahaan memiliki rasio pembayaran dividen rata-rata 95,1% dalam 6 tahun fiskal terakhir.
Selama tahap awal pandemi Covid-19, pendapatan SIDO disebut tumbuh 10,85% menjadi Rp231,53 miliar dibandingkan dengan Rp208,87 miliar pada periode sebelumnya.
Sebelumnya, banyak yang mengira produk Tolak Angin bisa menopang kinerja perseroan. Namun, pertumbuhan kinerja SIDO jsutru tertekan karena jaringan penjualan ekspor yang turun akibat aksi lockdown di sejumlah negara.
Tertarik buat koleksi saham SIDO?