Rekomendasi saham lagi jadi tren di media sosial nih. Banyak banget yang ngasih rekomendasi di media sosial dengan cuma menyebutkan nama sahamnya, seolah-olah mengajak para investor dan trader pemula untuk ikut beli alias pom-pom.
Nah, di sini gue enggak rekomendasi saham, tetapi menceritakan apa saja sih portofolio saham gue. Terus, apa alasan gue investasi ke saham itu. Gue enggak mengajak lu untuk beli saham ini juga, cuma buat cerita aja ya.
Bank Tabungan Negara (BBTN)
Gue beli saham BBTN waktu harganya sekitar Rp2.000 per saham. Alasannya, waktu itu BBTN lagi punya rencana untuk naik kelas ke bank BUKU IV. Nah, bank BUKU IV ini adalah kasta tertinggi dari sebuah bank. Kini, sudah ada beberapa bank di BUKU IV, yakni BRI, Bank Mandiri, BCA, BNI, CIMB Niaga, Bank Panin, dan Bank Danamon.
Namun, syarat BBTN bisa menjadi bank BUKU IV adalah holding BUMN bank harus rampung terlebih dulu. Dari situ, bakal ada skema penambahan modal yang bikin modal inti bank perumahan itu bisa naik ke atas Rp30 triliun.
BBTN malah batal menggapai mimpi ke bank BUKU IV setelah menteri BUMN kabinet Jokowi Jilid II Erick Thohir membatalkan rencana holding BUMN perbankan.
Harga BBTN juga merosot drastis sepanjang pandemi Covid-19. Bahkan, sempat tembus ke bawah Rp1.000 per saham.
Namun, gue tetap tenang, meski sempat cemas sih haha. Alasannya, ini adalah bank yang fokus ke kredit KPR yang memiliki tenor jangka panjang banget. Seharusnya, bisnisnya cukup prospek secara jangka panjang. Namun, lonjakan kinerja keuangannya bakal tergantung seberapa cepat sektor properti bisa pulih dari pandemi Covid-19.
Astra International (ASII)
ASII adalah saham yang memiliki lini bisnis yang beragam. ASII tidak hanya terkait dengan sektor bisnis otomotif lho, dia memiliki anak usaha di sektor pertambangan batu bara, perkebunan sawit, keuangan, sampai teknologi. Apalagi, Astra juga menjadi salah satu investor Gojek, decacorn di Indonesia.
Hal itulah yang menjadi alasan gue untuk membeli saham Astra. Bisnis ASII yang beragam bikin perusahaan itu bisa meredam risiko bisnis dan fluktuasi pasar.
Gue beli saham Astra memang untuk tujuan jangka panjang banget, meski pertama kali beli waktu harganya sekitar Rp7.000 per saham.
Walaupun, harga sahamnya naik turun hingga sempat tembus Rp3.000 per saham pas awal pandemi Covid-19, gue enggak panik karena tujuan jangka panjang sambil menyicipi dividen yang dibagikan setiap tahunnya.
Nah, tren mobil listrik bisa jadi pemecut saham Astra juga nih. Apalagi, rencana Toyota untuk berinvestasi terkait mobil listrik di Indonesia.
Namun, tantangan terbesar adalah permintaan otomotif lagi lesu banget. Kalau relaksasi pajak mobil baru 0 persen terealisasi mungkin bisa mengerek jangka pendek.
Selamat Sempurna (SMSM)
Saham ini gue temukan saat melakukan rekap data emiten yang paling royal bagikan dividen. Nah, muncul nama Selamat Sempurna yang rajin banget bagi dividen bisa sampai setiap kuartal alias tiga bulan sekali.
Gue pun ngecek apa sih bisnisnya, ternyata dia memiliki lini bisnis komponen otomotif. Lalu, pendapatannya dari ekspor lumayan besar. Di sini, gue melihat secara daya tahan fundamental keuangan cukup kuat dari fluktuasi nilai tukar rupiah.
Lalu, era booming mobil listrik bisa jadi dongkrak kinerjanya juga. SMSM juga mau ambil peluang di mobil listrik dari menjadi pemasok komponennya hingga membuat stasiun pengisian listrik untuk kendaraan nantinya.
AKR Corporindo (AKRA)
AKRA menjadi salah satu saham yang menarik sejak gue belum berinvestasi saham. Waktu itu masih jadi jurnalis di pasar modal dan sempat menulis artikel panjang tentang emiten ini. Salah satu yang menarik, AKRA disebut sebagai Pertamina swasta untuk bisnis bensin.
Namun, setelah didalami lebih jauh, AKRA ini memiliki bisnis yang beragam banget, salah satunya terkait bahan kimia. Bahkan, perusahaan ini juga pernah jajal sektor pertambangan. Detail tulisan AKRA bisa dilihat di sini nih.
Kekuatan AKRA di bisnis bensin jadi salah satu alasan gue beli saham ini. Apalagi, AKRA juga bekerja sama dengan BP membangun bisnis pom bensin bersama. Kini, pom bensin AKRA sudah ada di beberapa wilayah, meski jumlahnya masih kalah jauh dibandingkan dengan Pertamina dan Shell.
Buyung Poetra (HOKI)
Jujur, ini saham yang bikin gue sempat nyesel banget. Gimana enggak nyesel, jadi gue masuk ke saham HOKI ini di harga sekitar Rp600 per saham, eh sekarang harganya sudah tembus Rp1.000-an per saham. Di sini, gue menyesal karena cuma beli 1 lot.
Alasan gue beli 1 lot adalah gue mau menerapkan strategi trading nambah 1 lot setiap harganya turun sehingga saat harganya melejit bisa meraup untung maksimal. Sebelumnya, gue pernah masuk ke HOKI dan sempat nyangkut lumayan lama. Namun, gue yakin model bisnis beras HOKI ini punya prospek jangka panjang.
Namun, berhubung saham HOKI masih masuk skala menengah, tingkat fluktuasinya masih tinggi banget. Waktu pertama kali masuk ke sana, gue sempat kaget karena harganya turun banget, sampai akhirnya kembali naik dan tembus sedikit di atas harga gue beli.
Dari sini gue belajar, kalau sudah yakin saham itu punya prospek jangka panjang dan keuangannya sehat, ketika harga turun langsung serok aja. Cuma ya, namanya juga investor awal-awal kan kaget gitu, jadi pas harga naik dikit langsung jual deh.
Linknet (LINK)
Ini adalah saham penyedia provider internet First Media. Jujur gue masuk sini karena ada berita yang bilang LINK lagi proses penjajakan untuk mencari pemegang saham baru. Namun, proses mencari pemegang saham baru katanya masih dalam proses.
Sebelumnya, LINK dikabarkan bakal diakuisisi oleh PT MNC Vision Network Tbk. (IPTV). Namun, rencana itu batal. Konon, ada beberapa investor asal Malaysia yang bakal akuisisi LINK nih.
Namun, gue enggak asal berjudi dengan berita itu saja. Gue melihat secara fundamental keuangan masih cukup oke dan valuasinya murah. Penurunan kinerja pada tahun ini disebut karena ada beberapa pelanggan institusi yang menunggak sehingga masuk ke piutang.
Dengan berbagai data dan fakta itu, gue mencoba peruntungan di LINK.
Adira Multifinance (ADMF)
ADMF menjadi salah satu saham yang valuasinya masih cukup murah dibandingkan dengan yang lain saat periode kenaikan harga saham sepanjang kuartal IV/2020. Untuk itu, gue menggunakan sedikit uang menganggur untuk masuk ke situ.
Secara model bisnis, secara jangka pendek masih agak berisiko oleh kredit bermasalah dan permintaan kredit baru sih. Pandemi Covid-19 bikin permintaan pembiayaan juga lebih lesu dibandingkan dengan biasanya.
Namun, fondasi keuangan ADMF tampaknya masih kokoh untuk menghadapi kondisi tersebut. Salah satu alasannya, ADMF juga rajin bagi dividen sehingga gue menilai layak dicoba untuk koleksi jangka panjang.
Bukan Rekomendasi Saham
Sekali lagi, gue menjelaskan ini bukan rekomendasi saham. Ini cuma cerita gue tentang saham-saham yang masih dimiliki sampai saat ini serta alasan mengoleksinya. Di sini, gue bukan orang yang melakukan trading, tetapi cenderung investasi jangka panjang dengan fokus fundamental keuangan sampai seberapa royal saham itu bagikan dividen.
Nanti, gue juga akan cerita tentang beberapa saham, yang bukan rekomendasi saham, yang akhirnya gue putuskan lepas. Gue melepas saham-saham itu bukan karena rugi atau apa, tapi ya ingin mendulang cuan aja sih, serta gue masih enggak terlalu sreg sama kinerja bisnisnya sih.