Jojo, sapaan Jonathan Christie, gagal melaju ke final Malaysia Open 2019 setelah dikandaskan wakil China Chen Long. Melihat ini, bagaimana sih prospek tunggal putra Indonesia?
Pada 2016, Indonesia memiliki asa baru di sektor tunggal putra dari tiga bocah yakni, Jonathan Christie, Anthony Ginting, dan Ihsan Maulana. Mereka bertiga kerap diberi julukan F3.
Mereka dianggap bisa menggantikan generasi Tommy Sughiarto dan Dionysius Hayomrumbaka, serta Simon Santoso yang kerap dirudung cedera.
Penampilan mereka mencolok ketika membela tim Thomas Indonesia pada 2016. Kala itu, Indonesia hampir saja bisa membawa pulang kembali piala Thomas, tetapi sayang Garuda harus mengakui ketangguhan Denmark di final.
Meskipun begitu, Indonesia menatap masa depan dengan indah lewat tiga tunggal putra mudanya. Dengan kekuatan sektor ganda yang sudah merata, harapannya kekuatan tunggal putra yang mumpuni mampu bawa Piala Thomas kembali ke Jakarta.
BACA JUGA : Captain Tsubasa 2018 Tamat, Ini Perkiraan Cerita Season 2
Sayang seribu sayang, tiga pemain tunggal putra ini belum menunjukkan taji yang luar biasa. Malah, prestasi Ihsan Maulana tercecer di peringkat ke-41 dunia.
Jojo, sapaan Jonathan, dan Ginting lebih baik dengan menempati 10 besar dunia bersama seniornya Tommy Sughiarto.
Namun, permainan Jojo dan Ginting bisa dibilang jauh dari konsisten. Kadang bisa memukau, tetapi tiba-tiba bisa kayak orang baru bisa main bulu tangkis.
Jojo dan Kejutannya di Malaysia
Jojo sempat memberikan kejutan pada Malaysia Open 2019 setelah mengalahkan Kento Momota dua set langsung 22-20, 21-15. Sebuah kejutan mengalahkan Momota yang nyaris sempurna selalu bisa ke final.
Keesokan harinya, Jojo melanjutkan keajaibannya dengan mengandaskan Viktor Axelsen pemain peringkat keempat dunia asal Denmark. Jojo kandaskan Axelsen lewat dua set langsung 21-18,21-19.
Sayangnya, hoki Jojo enggak berlanjut ke semifinal. Dia harus mengakui kekuatan Chen Long, tunggal China, lewat rubber set 21-12, 10-21, 15-21.
Sebenarnya, paling anti klimaks adalah ketika Jojo kalah dari Anders Antonsen di Indonesia Master 2019. Pada perempat final, Jojo mampu mengalahkan Srinkath Kidambi unggulan kedelapan 21-18, 21-19.
Namun, Jojo seperti kehilangan sentuhannya di semi final. Jojo kalah dua set langsung dari pemain peringkat ke-15 dunia itu 18-21,16-21.
Memang, akhirnya Antonsen menjadi juara setelah kesurupan mengalahkan Momota. Namun, permainan Jojo ketika melawan Antonsen benar-benar memalukan.
Mayoritas poin yang didapatkan oleh Antonsen adalah berkah dari kesalahan Jojo. Pukulan-pukulan Jojo yang mudah dikembalikan oleh Antonsen seolah membuat pemain Indonesia itu prustasi.
Teriakkan “Jojo bisa Jojo pasti bisa” di Istora pun tidak mampu mengangkat kinerja permainannya.
Ginting Bangkitlah
Hal serupa juga terjadi dengan Ginting, pemain ini terkadang bisa memiliki permainan ajaib bak kembali melahirkan sosok Taufik Hidayat untuk Indonesia.
Namun, beberapa kali permainannya seperti pemain yang tak layak memegang peringkat 10 besar dunia. Bahkan, Ginting kerap sulit menembus babak perempat final maupun semifinal turnamen level 500 sampai 1.000.
Pada All England 2019, Ginting langsung kalah di babak awal oleh tunggal Hong kong lewat Rubber set 18-21, 21-13, 11-21.
Lalu, di gelaran Malaysia Open 2019, Ginting juga langsung kalah di babak awal oleh Kenta Nishimoto lewat rubber set 21-18, 13-21, 21-23.
Jika melihat alur pertandingan, Ginting tidak mampu lepas dari tekanan ketika masuk periode deuce. Dia malah terus tertinggal hingga Nishimoto meraih kemenangan.
Belajar dari Pengalaman Ihsan
Nah, Jojo dan Ginting harus belajar dari Ihsan. Bukan belajar karena kesuksesannya, tetapi berhati-hati agar peforma tidak merosot tajam seperti rekannya tersebut.
Prestasi Ihsan merosot tajam pada 2017 sampai saat ini. Bahkan, dia berada diperingkat 41 dunia saat ini.
Bayangkan, Ihsan sempat menjadi harapan satu-satunya Indonesia ketika bertanding di semi final Indonesia Open 2016. Ketika itu, hanya Ihsan wakil Indonesia pada turnamen di Jakarta tersebut.
Ihsan memang kalah dari Lee Chong Wei, tetapi para penonton mengapresiasi permainan Ihsan. Lee Chong Wei sempat memuji permainan Ihsan mirip dengan sahabatnya, Taufik Hidayat.
Sayangnya, Ihsan tidak mampu mendongkrak kinerja, penampilannya malah menurun drastis.
Permasalahan utama pada pemain tunggal Indonesia itu adalah pada mental dan ketenangan. Mereka bertiga seolah masih belum memiliki mental juara hingga sulit menembus ke final.
Kritik sudah berhembus dari para legenda, mulai pelatih sampai nutrisi yang mempengaruhi kinerja para tunggal putra. Terakhir, Rudy Hartono menyoroti para pemain tunggal putra yang kerajingan main iklan.
Ibaratnya, prestasi belum seberapa, tetapi sudah sibuk main iklan sana-sini, mending waktunya dipakai untuk latihan.
Saya sih memperkirakan generasi F3 ini belum mampu membangkitkan tunggal putra Indonesia. Bukan pesimis, tetapi umur mereka sudah mulai sangat matang. Bersaing dengan pemain papan atas saja masih kesulitan, kalau pun menang dianggap sebuah keajaiban.
Disebut keajaiban wajar karena jarang-jarang mereka bisa menang dan konsisten. Maju terus kalian para tunggal putra ya, tulisan ini sekedar kritik bukan menghina, semoga bisa jadi masukan biar fokus mengembangkan peforma lewat latihan maupun strategi yang mumpuni.