Calo tiket adalah sosok yang dibenci, tetapi kerap dibutuhkan. Lalu, apakah di tengah tren ekonomi digital saat ini masih adakah calo konvensional?
Berikut ada kisah saya ketika sedang berada di kawasan Istora Glora Bung Karno ketika gelaran turnamen bulu tangkis Indonesia Master 2019.
“Mas, tiket reguler atau VIP ada nih? sama saya saja, harga sama, tapi tambahin sedikit lah Rp20.000 atau Rp25.000,” ujar seorang Calo Indonesia Master 2019 pada Minggu (27/01).
Para calo itu membaur di arena PR Booth dan area makan Indonesia Master 2019 untuk mencari calon pembeli. Skema penjualan tiket lewat daring ternyata tidak langsung membunuh praktik calo tersebut.
BACA JUGA : Bisnis Online dan Seleksi Alam Ekonomi Digital
Namun, para calo tidak memungkiri kalau keberadaan penjualan tiket lewat daring menjadi tantangan besar.
Bahkan, banyak calo yang masih berkeliaran hingga sore hari karena tiket yang dijajakan belum laku terjual.
Semakin sore, para calo bakal memangkas harga tiket agar bisa menarik pembeli yang datang terlambat. Mereka pun tidak kenal lelah untuk berkeliling sekitar Istora berkali-kali demi mendapatkan pembeli.
Senja Kala Bisnis Calo Tiket
Namun, bisnis percaloan tiket saat ini memang tidak selegit satu dekade silam. Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat tidak tertarik membeli tiket lewat calo.
Pertama, masyarakat sudah terbiasa transaksi secara daring karena lebih mudah dan ketika hari H acara tidak perlu khawatir kehabisan tiket.
Kedua, stigma negatif calo yakni, menjual tiket dengan harga tinggi. Hal itu membuat para calo sulit mematok margin keuntungan tinggi demi bisa menggoda para pembeli, tetapi harga murah pun membuat pembeli khawatir tiket yang dijual palsu.
Akhirnya, para calo akan mengincar calon pembeli yang menganggap beli langsung di loket resmi bakal antre, atau yang khawatir bakal kehabisan tiket di loket resmi.
Padahal, loket penjualan langsung cenderung sepi seiring jaringan penjualan juga dilakukan lewat daring. Walaupun begitu, ada beberapa kondisi yang membuat penjualan langsung menjadi padat merayap seperti, bermasalahnya sistem penjualan daring.
Berbeda pada periode 2008-2009, ketika antrean penjualan langsung sangat panjang sehingga jasa calo menarik minat para calon pembeli, meskipun harus membayar dengan harga lebih mahal.
Lalu, dari mana para calo itu mendapatkan tiket untuk dijual kembali?.
Pertama, mereka ikut membeli lewat daring atau loket resmi untuk dijajakan kembali. Skema ini membuat margin keuntungan bakal lebih tipis karena membeli dengan harga reguler.
Memburu Tiket ‘Nganggur’
Kedua, mereka mencari tiket nganggur, salah satu caranya memantau para penonton yang membawa tiket banyak.
Skema ini bisa membuat para calo mendapatkan margin keuntungan lebih besar. Pasalnya, mereka membeli tiket berlebih itu dengan harga yang lebih murah.
Jadi, ketika mereka jual dengan harga reguler pun sudah mendapatkan untung yang lumayan.
Pengunjung yang datang berkelompok jumlah besar menjadi incaran para calo. Soalnya, penonton kelompok sangat berpotensi kelebihan tiket akibat salah satu anggotanya urung hadir.
Nah, skema kedua ini membuat peran calo berdampak positif bagi masyarakat. Status calo bisa berubah menjadi penyedia jasa pengembalian uang ilegal.
Apalagi, penyedia jasa jualan tiket daring belum memiliki fasilitas pengembalian uang jika konsumen batal hadir ke acara.
Hal itu juga memberikan manfaat bagi calon pengunjung lainnya yang belum mendapatkan tiket. Mereka bisa membeli harga tiket lebih murah dari para calo jika loket resmi sudah tutup lapak.
Di sisi lain, percaloan tiket pertandingan atau acara tertentu tidak bisa ditindak pidana jika mereka mendapatkan tiket secara resmi.
Kegiatan percaloan bisa menjadi pidana jika tiket yang dijajakan palsu atau menjual tiket kereta yang bisa dikenakan maksimal 6 bulan penjara lewat Undang-undang Perkeretaapian Nomor 23 Tahun 2007 juncto pasal 184.
Nah, kalau sudah sama-sama menguntungkan seperti ini, apakah bisnis percaloan tiket saat ini bisa dimaklumi?