Setahun kereta bandara Soekarno-Hatta melaju, tetapi belum mampu juga menarik hati masyarakat Jabodetabek. Apa yang salah dengan kereta bandara?
Mimpi keberadaan kereta bandara sudah disuarakan sejak zaman kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Kala itu, SBY, panggilan Yudhoyono, merencanakan pembangunan jalur kereta commuterline.
Targetnya, jalur commuterline menuju bandara Soekarno-Hatta itu bisa rampung pada 2014. Namun, nasib berkata lain, persoalan lahan dan pendanaan menjadi penghambat pembangunan jalur commuterline ke salah satu bandara tersibuk di dunia tersebut.
Nah, pergantian kepemimpinan dari SBY ke Joko Widodo tidak menyurutkan rencana pembangunan kereta bandara tersebut. Pada era Jokowi, sapaan Joko Widodo, kereta bandara bisa direalisasikan.
Pembangunan kereta bandara Soekarno Hatta itu memakan biaya Rp5 triliun. Pembiayaannya berasal dari perbankan lewat PT Kereta Api (Persero) dan PT Angkasa Pura II (Persero).
Kereta bandara yang direncanakan sejak zaman SBY ini pun mulai jalan pada April 2018. Namun, kehadiran kereta bandara itu ternyata bukan memberikan solusi, tetapi melahirkan masalah baru.
Jelang uji coba kereta bandara, pengguna commuterline jurusan Duri-Tangerang dan sebaliknya ‘ngamuk.’ Emosi pengguna commuterline meluap-luap karena headway atau interval antar kereta menjadi 30 menit sekali dari awalnya 15 menit – 20 menit sekali.
Alhasil, jumlah penumpang satu rangkaian kereta dipenuhi untuk dua jadwal. Penumpang harus menjadi pepes sampai ada yang pingsan karena kehabisan oksigen.
BACA JUGA : Cebong & Kampret sampai Penggemar Kpop Menuju Fanatisme 4.0
Protes ke Kementerian Perhubungan dan Joko Widodo selaku presiden mencuat.
Alhasil, jadwal Commuterline jurusan Tangerang-Duri dipercepat menjadi 20 menit sekali ketika jam padat. Namun, ketika jam lenggang, jadwal kereta tetap 30 menit sekali.
Perubahan kebijakan itu mampu meredam keluh kesah para pengguna Commuterline.
Setahun Kereta Bandara, Ini Puncak Polemiknya
Namun, itu hanya sementara saja, keluh kesah para pengguna commuterline Tangerang-Duri mencuat seiring rampungnya stasiun Duri yang baru.
Emosi penumpang Commuterline itu masih terkait juga dengan kereta bandara. Pasalnya, keberadaan stasiun Duri yang baru memprioritaskan posisi kereta bandara.
Hal itu membuat perubahan peron untuk penumpang Commuterline. Sayangnya, perubahan peron itu tidak diimbangi dengan jumlah penumpang.
Lalu, fasilitas Stasiun Duri yang baru juga hanya memiliki tiga akses perpindahan peron yakni, di depan dan belakang kereta, serta satu eskalator.
Hasilnya, perpindahan peron yang membahayakan pengguna commuterline itu pun menjadi viral di media sosial. Bahkan, komunitas Commuterline sampai bertemu dengan Budi Karya Sumadi.
Keputusannya, Stasiun Duri akan membangun tangga manual sebagai tambahan fasilitas perpindahan peron. Selain itu, Stasiun Duri juga menyewa tenda untuk fasilitas tambahan peron setenngah jadi yang menyambut penumpang dari Tangerang.
Selain itu, kereta bandara juga menerima penumpang Commuterline dengan harga yang sama dengan kereta rakyat tersebut. Tujuannya, untuk mengurangi kepadatan ketika jam padat.
Para pengguna Commuterline jalur Tangerang-Duri sangat tersulut emosinya dengan kereta bandara karena moda transportasi itu sepi penumpang, tetapi mendapatkan skala prioritas lebih.
Padahal, penumpang Commuterline lebih banyak, tetapi keberadaan kereta eksekutif Bandara itu tetap prioritas.
Kereta Bandara Beralih Fungsi
Kebijakan kereta bandara bisa digunakan oleh pengguna Commuterline dengan harga yang sama membuat masyarakat berinovasi. Kalangan menengah yang naik Commuterline setiap hari bisa menggunakan kereta bandara yang sepi penumpang.
Bahkan, mereka masih menggunakan kereta bandara untuk ke kantor ketika harga kembali normal. Harga normal kereta bandara dari Batuceper – Sudirman senilai Rp35.000 sekali jalan.
Hal ini sempat membuat pihak Commuterline terinspirasi membuat Commuterline Premium. Namun, masyarakat pengguna Commuterline dengan tegas menolak rencana tersebut.
Pasalnya, keberadaan Commuterline Premium hanya menambah padat jalur rel kereta dan mengurangi headway kereta Commuterline reguler.
Fakta ini membuat kereta bandara tidak menarik minat masyarakat yang ingin ke bandara, tetapi justru menarik minat kalangan menengah yang tidak ingin desak-desakan di Commuterline.
Lanjutan Polemik Kereta Bandara yang Diperpanjang Hingga Bekasi
Permasalahan kereta bandara kembali muncul setelah jalur kereta eksklusif itu diperpanjang hingga bekasi. Dampaknya, kereta commuterline Bekasi bakal lebih banyak mengalah.
Soalnya, jalur kereta Bekasi sudah dilewati oleh kereta jarak jauh. Jika ditambah dengan kereta bandara, kepadatan jalur di sana makin meningkat.
Namun, kereta bandara tetap percaya diri memperpanjang jalurnya hingga Bekasi. Harapannya, mereka bisa menangkap segmen penumpang dari kota satelit tersebut.
Meskipun begitu, jumlah penumpang kereta bandara tidak kunjung naik hingga saat ini.
Solusi Kereta Bandara Soekarno Hatta
Kesalahan utama kereta bandara Soekarno-Hatta ini adalah dalam melihat segmen pasar yang diincar. Mereka menargetkan bisa menangkap 30% masyarakat yang berlalu lalang ke bandara.
Total masyarakat Jabodetabek yang berlalu lalang ke bandara ditaksir sekitar 63 juta orang per tahun. Berarti, 30% yang diincar kereta bandara itu setara dengan 18,6 juta orang per tahun atau sekitar 1,15 juta orang per bulan.
Faktanya, setahun kereta Bandara Soekarno-Hatta beroperasi masih sangat sulit mengejar target tersebut. Bahkan, sampai Januari 2019, rata-rata okupansi kereta Bandara hanya 25% dari total kapasitas kursi.
Penyebabnya, mereka membuat kereta bandara eksekutif dengan membayangkan masyarakat kalangan menengah ke atas akan memilih naik kereta ketimbang lewat jalan tol.
Faktanya, hanya minoritas segmen itu yang tertarik naik kereta bandara. Pasalnya, harga tiket masih terlalu mahal jika pergi bersama keluarga atau kerabat.
Tarif naik taksi atau taksi online masih lebih murah jika bersama keluarga dan kerabat.
Seharusnya, kereta bandara mengejar segmen backpacker dan pelancong yang berpergian sendirian. Bentuknya tidak perlu kereta eksekutif seperti, kereta bandara saat ini.
Bentuknya bisa seperti Commuterline sehingga harga bisa lebih terjangkau. Dengan bentuk seperti Commuterline, headway kereta rakyat itu pun tidak perlu terpangkas karena kereta bandara.
Malah, headway bisa makin pendek sehingga pelayanan makin baik. Lalu, dengan harga yang lebih terjangkau, bisa saja menarik minat segmen menengah atas yang ingin berhemat.
Setahun Kereta Bandara, Ini Kinerja PT KAI 2018
Secara keseluruhan, kinerja PT Kereta Api (Persero) mencatatkan penurunan laba bersih 2018 sebesar 10,73% menjadi Rp1,53 triliun dibandingkan dengan 2017 senilai Rp1,72 triliun.
Meskipun begitu, pendapatan perusahaan pelat merah itu tetap tumbuh 40,37% menjadi Rp26,86 triliun dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Namun, perseroan mencatatkan kenaikan beban pokok pendapatan sebesar 45,36% menjadi Rp21,1 triliun dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Secara rinci, pendapatan angkutan penumpang kereta jarak jauh dan angkutan barang PT KAI mencatatkan kenaikan. Angkutan penumpang mencatatkan kenaikan sebesar 18,08% menjadi Rp8,32 triliun, sedangkan pendapatan angkutan barang tumbuh 12,44% menjadi Rp6,31 triliun.
Namun, pendapatan angkutan kereta api lainnya justru turun sebesar 15,17% menjadi Rp115,1 juta. Tidak ada penjelasan detail komponen pendapatan angkutan kereta api lainnya, mungkin saja termasuk dengan kereta bandara.
Sayangnya, KAI belum mengumumkan kinerja anak usahanya seperti, Railink yang mengelola kereta bandara tersebut.
Adapun, kinerja Railink pada 2017 mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 10,9% menjadi Rp84,9 miliar dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun, pada 2017, kontribusi pendapatan Railink berasal dari kereta bandara Kualanamu, Sumatra Utara.
Saat itu, jumlah penumpang kereta bandara kualanammu mencapao 861.560 orang per tahun. Rata-rata hariannya sebanyak 2.640 orang.
Nah, kalau Railink berkukuh kereta bandara Soekarno Hatta dengan skema eksklusif itu, apakah bisa meningkatkan okupansinya?