Saham sawit seharusnya bisa melejit dengan implementasi B30 dan produksi D100 ala PT Pertamina (Persero). Namun, tampaknya gerak ke atas saham sawit bisa tertahan karena transisi penggunaan B30 terjadi banyak masalah.
Baru akhir 2019, hasil uji coba B30 menunjukkan bahan bakar minyak itu bisa digunakan mesin diesel pada 1 Januari 2020. Katanya sih, ada BBM B30 ini relatif sama dengan B30.
Namun, kendaraan baru atau yang sebelumnya tidak menggunakan biodiesel bakal alami pergantian filter bahan bakar lebih cepat. Soalnya, B30 akan memberikan dampak blocking di filter bahan bakarnya tersebut. Jika sudah diganti, nantinya akan kembali normal lagi.
BACA JUGA: Beli Saham IPO dan Wejangan dari Warren Buffett
Belum ada setahun penggunaan B30, Pertamina mengumumkan produk BBM D100 yang juga menggunakan bahan baku kelapa sawit.
Perbedaan antara B30 dan D100 adalah kadar nabati dan proses pembuatannya.
Dikutip dari keterangan resmi Pertamina, D100 berasal dari 100% bahan nabati, yakni kelapa sawit. Lalu, B30 adalah campuran unsur nabati yang disebut fatty acid methyl ester (FAME) dengan solar.
Lalu, dari segi proses, D100 berasal dari sawit yang sudah dibersihkan dari getah dan baunya. Setelah itu, proses dilanjutkan melalui refined bleached deodorized palm oil (RBDPO) di kilang. Setelah itu lahirlah D100.
Jika B30, prosessnya adalah lewat pencampuran di terminal BBM Pertamina.
Deputy CEO PT Kilang Pertamina Internasional Budi Santoso Syarif mengklaim D100 lebih ramah lingkungan karena gas karbon dioksida yang diepaskan lebih sedikit daripada yang berbahan baku FAME.
“Kami akan produksi D100 di Dumai sebanyak 1.000 barel per hari dan Cilacap 6.000 barel per hari pada 2022. Lalu, produksi 20.000 barel per hari di Kilang Plaju pada 2023,” ujarnya.
Saat ini, produksi D100 baru memasuki tahap uji coba untuk bisa digunakan di mesin mobil.
Saham Sawit Terangkat dengan D100 Enggak?
Pertamina mengumumkan produksi D100 ini pada awal pekan ini 20 Juli 2020. Konon, D100 bisa meningkatkan permintaan sawit sebesar 30 juta ton per tahun.
Angka ini muncul dengan asumsi produksi D100 sebanyak 1.000 barel per hari.Sejauh ini, program B30 disebut sudah meningkatkan permintaan sawit sebesar 9 juta ton.
Adapun produksi sawit diprediksi bakal mencapai 50 juta ton. Dengan serapan dalam negeri yang tinggi itu bisa menurunkan porsi ekspor sehingga pasokan sawit dunia merosot. Kondisi itu pun bisa mengerek harga kelapa sawit ke depannya.
Saat ini, dari total produk 50 juta ton setahun, 70% hasil produksi di ekspor. Jadi, ketika permintaan sawit global turun bisa menekan harga komoditas andalan Indonesia tersebut.
Namun, mimpi besar permintaan dan prospek harga sawit itu tampaknya memengaruhi harga saham sawit.
Sepanjang pekan ini [sampai perdagangan 22 Juli 2020], empat saham sawit yang lumayan likuid memang mencatatkan kenaikan.
Dari segi persentase, PT London Sumatra Indonesia Tbk. alias LSIP naik paling tinggi sebesar 5,82% menjadi Rp1.000 per saham.
Posisi kedua diikuti pemilik LSIP, yakni PT Salim Ivomas Pratama Tbk. yang naik 3,94% menjadi Rp316 per saham.
Ketiga, PT Astra Agro Lestari Tbk. naik 3,26% menjadi Rp9.475 per saham. Keempat, PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk. naik 2,4% menjadi Rp850 per saham.
Di sisi lain, saham sawit rentan terkena sentimen negatif dari kebakaran hutan di tengah musim kemarau saat ini.
Prospek Saham Sawit Secara Fundamental Keuangan
Jika melihat keempat emiten itu, secara prospek saham sawit tidak bisa digeneralisir. Dari keempat emiten itu, kinerja paling oke adalah Astra Agro Lestari. Adapun, dua dari emiten itu justru malah mencatatkan kerugian.
Kinerja emiten sektor komoditas, seperti sawit, memang fluktuatif. Pasalnya, harga komoditas dan volatilitas kurs mata uang menjadi penyebab utamanya.
1. Prospek Astra Argo Lestari
Anak usaha Astra International itu mencatatkan kenaikan pendapatan kuartal I/2020 sebesar 13,3% menjadi Rp4,79 triliun dibandingkan dengan Rp4,23 triliun pada periode sebelumnya.
Dari segi laba bersih mencatatkan lonjakan laba bersih 891,77% menjadi Rp371,06 miliar dibandingkan dengan Rp371,06 miliar.
Lonjakan kinerja laba bersih Astra Agro Lestari itu didukung oleh tiga hal, pertama kenaikan pendapatan, penurunan beban pokok pendapatan, dan keuntungan selisih kurs mata uang.
Penurunan beban pokok pendapatan sebesar 0,77% menjadi Rp3,86 triliun, sedangkan pendapatan dari selisih kurs mata uang naik menjadi Rp104,36 miliar dibandingkan rugi kurs Rp24,09 miliar pada periode sebelumnya.
2. London Sumatra Indonesia
LSIP menjadi salah satu saham sawit yang mencatatkan keuntungan dari 4 saham yang dibahas di sini.
Perseroan mencatatkan kenaikan laba bersih sebesar 109,8% menjadi Rp81,04 miliar dibandingkan dengan Rp38,62 miliar.
Meskipun begitu, anak usaha saham SIMP itu mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 12,7% menjadi Rp810,01 miliar dibandingkan dengan Rp927,93 miliar pada periode sama tahun lalu.
Lonsum, sebutan London Sumatra Indonesia, mampu mencatatkan untung di tengah penurunan penjualan karena didorong oleh dua faktor.
Pertama, penurunan beban pokok penjualan sebesar 16,87% menjadi Rp658,38 miliar dibandingkan dengan Rp792 miliar.
Kedua, kenaikan keuntungan dari kurs mata uang sebesar 1.275% menjadi Rp92,43 miliar dibandingkan dengan Rp6,72 miliar pada periode sebelumnya.
3. Salim Ivomas Pratama
Salim Ivomas Pratama mencatatkan kinerja yang kurang bagus pada kuartal pertama tahun ini. Perusahaan di bawah naungan Salim Grup itu mencatatkan penurunan pendapatan sebesar 1,24% menjadi Rp3,31 triliun dibandingkan dengan Rp3,35 triliun.
Dari segi bottom line, perseroan meraup rugi bersih senilai Rp77,41 miliar dibandingkan dengan Rp74,92 miliar.
Kerugian perseroan itu disebabkan oleh dua faktor. Pertama, kerugian dari penurunan nilai wajar aset biologis dari untung Rp22 miliar menjadi rugi Rp140,61 miliar.
Namun, kerugian nilai wajar aset biologis ini tidak menjadi faktor utama perseroan rugi. Pasalnya, perusahaan grup Salim ini masih mencatatkan laba usaha senilai Rp143,18 miliar, meski turun dibandingkan periode sama pada tahun lalu senilai Rp173,75 miliar.
Kedua, beban bunga, meski mengalami penurunan, tetapi nilainya bisa dibilang cukup tinggi. Emiten berkode SIMP itu mencatatkan beban keuangan yang bersama dari beban bunga pinjaman senilai Rp206,35 miliar. Nilai itu lebih rendah 6,74% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu yang senilai Rp221,28 miliar.
Nah, faktor kedua ini yang memberikan beban cukup besar hingga bottom line SIMP menjadi rugi.
Mayoritas beban bunga berasal dari pinjaman bunga senilai Rp174,62 miliar. Sisanya, pinjaman berasal dari pemegang saham Rp23,02 miliar, pihak berelasi Rp1,96 miliar, kewajiban sewa Rp1,96 miliar, dan biaya bank Rp3,21 miliar.
4. Sawit Sumbermas Sarana
Jika SIMP sudah meraup kerugian sejak kuartal I/2019, Sawit Sumbermas Sarana alias SSMS justru baru mencatatkan kerugian pada kuartal I/2020.
Perseroan mencatatkan kerugian sebesar Rp338,96 miliar dibandingkan laba bersih senilai Rp112,83 miliar pada periode sama tahun lalu. Padahal, dari segi pendapatan, perseroan mencatatkan kenaikan sebesar 8,58% menjadi Rp918,39 miliar dibandingkan dengan Rp845,76 miliar.
Satu-satunya faktor yang membuat SSMS rugi adalah kurs mata uang. Perseroan mencatatkan lonjakan kerugian kurs mata uang senilai Rp564,31 miliar dibandingkan dengan untung Rp17,7 miliar pada periode sebelumnya.
Kalian tertarik memborong salah satu saham sawit di tengah euforia B30 dan calon D100?