Saham ADRO menjadi yang paling menarik di sektor batu bara, apalagi perseroan juga salah satu pemain komoditas emas hitam yang cukup besar di Indonesia. Klaim diversifikasi bisnis yang sudah berjalan pun diolah agar daya tarik perseroan tetap tinggi. Bagaimana prospek saham yang digawangi oleh Garibaldi Thohir alias Boy Thohir ini ya?
Kini, harga batu bara kembali ke level terendah pada 2016, setelah sempat kembali ke level US$100-an per ton pada 2018. Banyak yang mengatakan, ini hanya bagian dari siklus industri batu bara.
BACA JUGA: Saham BRIS Melejit, layak Beli?
Sepanjang tahun ini sampai 9 Juli 2020, harga batu bara sudah anjlok 22% menjadi US$52,4 per ton. Anjloknya harga batu bara juga dipicu oleh perang minyak yang terjadi pada awal tahun ini.
Perang minyak membuat harga komoditas energi fosil itu anjlok parah, sampai harga berjangka yang kontraknya akan habis sempat minus. Lantas, hal itu juga menarik turun harga batu bara sebagai komoditas pesaing minyak.
Namun, secara global, ada upaya pengurangan emisi karbon dari bahan bakar fosil seperti, batu bara maupun minyak mentah. Teranyar, pemerintah Jepang akan membuat regulasi ketat untuk pembiayaan dari lembaga keuangan Jepang ke sektor batu bara, termasuk di Indonesia dan Vietnam.
Ini menjadi tantangan tersendiri, mengingat ada dua bank Jepang besar yang berada di Indonesia, yakni PT Bank Danamon Tbk. yang dimiliki oleh MUFG. Lalu, ada PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. yang dimiliki Sumitomo Mitsui Corporation Banking (SMCB).
Untungnya, pangsa pasar bank di Indonesia masih dikuasai tiga perusahaan pelat merah seperti, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Ditambah, satu bank swasta terbesar di Indonesia, PT Bank Central Asia Tbk.
Dengan begitu, sumber pendanaan bank dari perusahaan pelat merah maupun swasta dalam negeri bisa dibilang masih aman.
Adapun, perusahaan batu bara di Indonesia masih bisa bernapas lega karena kebutuhan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) masih tinggi. Alasannya, PLTU adalah pembangkit listrik yang murah ketimbang jenis lainnya.
Saham ADRO dan Sentimen Positif di Kuartal II/2020
Saham ADRO dan batu bara lainnya mendapatkan angin segar dari rilisnya revisi undang-undang minerba. Dalam revisi UU MInerba itu, para pemegang kontrak karya maupun perjanjian karya pertambangan batu bara yang belum memperoleh perpanjangan operasi diberikan jaminan perpanjangan. Masa perpanjangan maksimal dua kali dengan masing-masing 10 tahun.
Nah, perjanjian karya pertambangan batu bara ADRO akan habis pada 2022. Perseroan pun berencana mengajukan perpanjangan hingga 20 tahun ke depan pada 2021. Sesuai aturan, pemilik perjanjian karya pertambangan batu bara bisa mengajukan perpanjangan 2 tahun sebelum jatuh tempo.
Dengan begini, ada kepastian bagi Adaro untuk melanjutkan operasinya hingga 20 tahun ke depan. Artinya, potensi pendapatan batu bara perseroan setidaknya terus berlanjut hingga 2042.
Sampai 2019, Adaro mencatatkan pertumbuhan produksi batu bara sebesar 7% menjadi 58,03 juta ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Lalu, volume penjualan batu bara perseroan sebesar 59.18 juta ton.
Secara total, perseroan memiliki sumber daya batu bara sebesar 8,1 miliar ton dengan total cadangan batu bara 1,4 miliar ton. Artinya, perseroan masih bisa terus mendorong pertumbuhan produksi batu bara hingga di atas 50 juta ton per tahun hingga 20 tahun ke depan.
Kinerja Keuangan ADRO
Kinerja kuartal I/2020 bisa dibilang kurang apik setelah pendapatan amblas 11,34% menjadi US$750 juta dibandingkan dengan US$846 juta pada kuartal I/2019.
Begitu juga dari segi laba bersih yang susut 16,94% menjadi US$98 juta dibandingkan dengan US$118 juta.
Penurunan kinerja itu disebabkan oleh penurunan rata-rata harga jual sepanjang tiga bulan pertama tahun ini sebesar 17%. Meskipun begitu, ADRO klaim masih mencatatkan kenaikan produksi sebesar 5% menjadi 14,41 juta ton pada kuartal I/2020.
Volume penjualan pun digenjot perusahaan hingga tumbuh 8% menjadi 14,39 juta ton di tengah penurunan harga.
Dalam beberapa pemberitaan di media massa, Boy Thohir mengagung-agungkan lini bisnis di luar batu bara yang membantu jaga kinerja perseroan.
Memang seberapa besar kontribusi lini bisnis di luar batu bara perseroan terhadap kinerja keseluruhan? faktanya, kontribusinya masih rendah, tapi cukup bagus untuk mulai membangun diversifikasi bisnis di luar batu bara.
Sampai kuartal I/2020, Adaro mencatatkan pendapatan lain-lain di luar pertambangan dan batu bara senilai US$16,13 juta. Nilai itu baru setara 2,15% dari total pendapatan perseroan pada tiga bulan pertama tahun ini.
Adaro memang memiliki beberapa lini usaha di luar batu bara, yang paling besar mungkin adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Keberadaan PLTU bisa membuat perseroan mengolah bisnis batu baranya menjadi lebih bernilai dengan memasoknya ke pembangkit listrik.
Selain itu, ADRO juga memiliki bisnis di bidang logistik dan air. Khusus lini bisnis air, perseroan menjalankan melalui PT Adaro Tirta Mandiri.
Saat ini, kapasitas infrastruktur air perseroan mencapai 1.220 liter per detik. Infrastruktur air itu tersebar di Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah.
Berkah Relokasi Pabrik Asing ke Batang, Jawa Tengah
Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang, Jawa Tengah, dikabarkan tengah disiapkan untuk bisa menjadi wilayah dari relokasi pabrik Amerika Serikat (AS) atau Jepang dari China. Nah, keputusan ini menjadi angin segar bagi saham ADRO yang tengah mengembangkan PLTU di Batang.
ADRO pun berupaya merampungkan pembangunan PLTU Batang pada akhir tahun ini. Proyek itu dikerjakan oleh Bhimasena Power Indonesia dengan kapasitas 2 x 1.000 megawatt.
Bhimasena Power Indonesia adalah perusahaan hasil konsorsium antara Electric Power Development Co. Ltd, PT Adaro Power, dan Itochu Corporation.
Di sana, Adaro Power memegang 34% saham Bhimasena, sedangkan Electric Power dan Itochu masing-masing memegang 34% dan 32% saham perusahaan hasil konsorsium tersebut.
Nantinya, PLTU itu akan membutuhkan 7 juta hingga 8 juta ton batu bara per tahun. Nantinya 65% kebutuhan batu bara itu akan dipasok oleh Adaro Indonesia, anak usaha ADRO.
Jika sudah rampung, Bhimasena Power Indonesia akan menjual listrik ke PT PLN (Persero) dalam jangka 25 tahun setelah pembangunan rampung.
Artinya, akan ada tambahan potensi pendapatan bagi ADRO pada tahun depan jika proyek ini berjalan sesuai rencana.
Pesona Saham ADRO
Bagi para pecinta saham batu bara, ADRO bisa dibilang sangat memesona karena salah satu perusahaan tambang emas hitam terbesar di Indonesia. Apalagi, perseroan juga rajin bagikan dividen.
Perseroan biasanya membagikan dividen sebanyak 2 kali dalam setahun, yakni di bulan Desember untuk dividen interim dan kisaran April atau Mei untuk dividen tahunan.
Aksi pembagian dividen perseroan bisa dibilang rutin dilakukan sejak melantai di Bursa Efek Indonesia pada Juli 2008. Kala itu, ADRO melantai di bursa dengan harga penawaran perdana senilai Rp1.100 per saham.
ADRO membagikan dividen pertama kali sebagai perusahaan terbuka pada Agustus 2009. Kala itu, perseroan membagikan senilai Rp11,8 per saham.
Setelah itu, perseroan membagikan dividen interim perdana pada November 2009 senilai Rp12 per saham.
Di sini, ADRO menjadi rutin bagikan dividen dua kali dalam setahun. Nilai dividen per saham terbesar ADRO senilai Rp109,61 per saham. Dividen itu dibagikan dalam dua kloter, yakni Januari 2020 senilai Rp65,48 per saham dan Juni 2020 senilai Rp44,13 per saham.
Jika harga batu bara kembali menanjak dan diversifikasi bisnis Adaro berjalan lancar, bukan tidak mungkin nilai dividen yang dibagikan makin besar.
Arah Harga Saham ADRO
Saat ini, harga saham ADRO sudah berada di level yang cukup tinggi. Sampai penutupan perdagangan Jumat 10 Juli 2020, harga saham perseroan turun 0,95% menjadi Rp1.085 per saham.
Kenapa harga saham ADRO saat ini justru bisa dibilang cukup tinggi. Salah satu alasannya adalah posisi harga saham saat ini sudah mendekati level tertinggi dalam sebulan dan sepekan terakhir di level Rp1.125 per saham.
Secara psikologis, ruang kenaikan lebih jauh sangat kecil kemungkinannya. Apalagi, secara sentimen yang memengaruhi fundamental cenderung membawa harga saham ADRO turun.
Beberapa sentimen itu antara lain, posisi harga batu bara yang masih berada di level rendah sampai prospek permintaan akibat pandemi Covid-19 yang masih berlanjut. Nantinya, semua itu bisa tercermin kepada kinerja perseroan pada kuartal II/2020.
Kalau pun tembus level tertinggi sebulan terakhir, paling banter level tertingginya di angka Rp1.150 sampai Rp1.200.
Di sisi lain, saya prediksi harga saham ADRO justru bisa balik ke bawah Rp1.000. Nah, jika yang belum koleksi, ketika harga saham perseroan turun ke bawah Rp1.000 bisa dijadikan momen paling tepat untuk membelinya.
Setidaknya, secara jangka panjang, saham ADRO bisa naik ke level di atas Rp1.500 sampai Rp2.000-an.
Untuk itu, bagi yang sudah mengoleksi saham ADRO, kalian bisa melakukan averaging down alias menurunkan harga rata-rata agar bisa mendapatkan keuntungan besar ke depannya. Apalagi, ADRO saham yang royal bagi dividen. Artinya, jadi bisa menambah pendapatan jika dikumpulkan dalam jangka panjang.
Khawatir prospek bisnis batu bara akan meredup? Tenang saja, bisnis batu bara di Indonesia sulit meredup dalam jangka pendek. Alasannya, PLTU menjadi skema pembangkit yang paling murah dan bisa berdaya besar.
Jadi, permintaan batu bara di dalam negeri, maupun negara dengan jumlah penduduk besar seperti, China dan India, pasti akan tetap tinggi.