Teori konspirasi yang dibahas Aiman di Kompas TV menuai kecaman. Bagaimana tidak, media massa yang dianggap kredibel itu tiba-tiba membahas teori konspirasi dari Jerinx, drummer Superman is Dad.
Sorotan itu mencuat di sosial media, terutama Twitter. Akun @yanuarnugroho mempertanyakan kenapa KompasTV malah kasih panggung buat teori konspirasi? akun yang verified itu pun mengingatkan kalau media punya tugas mendidik dan membangun keadaban publik, bukan memberikan panggung pada siapa saja.
Kicauan yang diterbitkan pada 6 Mei 2020 itu pun viral dengan meraih 911 reply, 2.700 retweet, dan 4.700 suka. Dari kicauan itu, muncul berbagai perdebatan seperti, KompasTV yang mengundang narasumber anti-ilmiah dengan ilmiah.
BACA JUGA: Promo Nabung Saham REAL yang Kini Menuju Geng Gocap
“Terus keduanya diajak diskusi. Kira-kira bakal ketemu enggak ujung talinya?” tulis @afrkml membalas kicauan Yanuar.
Namun, kicauan @afrkml itu ada yang menentang, yakni @salmankudo. Dia mengatakan kalau fungsi debat publik bukan untuk menemukan ujung tali, tapi biar khalayak bisa melihat dan menilai argumen mana yang benar.
Akun @om_seentot memberikan jawaban yang membantah @salmankudo.
“Itu fungsi debat, tapi ini debat atau diskusi? kalau diskusi setau gue ts [@afrkml] sudah benar,” tulisnya.
Lalu, apakah yang dilakukan oleh KompasTV itu benar atau salah?
Dalam buku Mcquail’s Media & Mass Communication polemik masalah media di era digital sudah diprediksi. Para milenial, yang dianggap Mcquail sebagai alien membuat arah media yang seharusnya menjadi edukator massal menjadi masalah massal.
Teori Konspirasi dan Kisah Teori Komunikasi Massa ala Mcquail
Komunikasi massa pada awal abad ke-20 menimbulkan semangat adanya kekuatan baru yang bisa memberikan pendidikan kepada publik. Para reformator sosial dan politik melihat ada potensi positif dari kebebasan media secara keseluruhan.
Apalagi, media sering memberikan informasi dan ide, serta mengekspos korupsi politik. Bahkan, di banyak negara, jurnalis menjadi lebih profesional dan bisa mengorganisir diri sendiri dalam serikat pekerja maupun asosiasi dagang, serta mengadopsi kode etik dan praktik dengan baik.
Jika Indonesia baru merasakan kebebasan pers pada 1998, berbeda dengan Eropa. Lembaga media seperti, radio yang didirikan pada 1920-an dan 1930-an memiliki misi budaya, pendidikan, dan informasi publik.
Namun, belum di semua negara, seperti Indonesia yang masih belum merdeka. Beberapa negara lain memanfaatkan siara radio untuk menjadi corong pemerintah secara langsung maupun tidak langsung.
Hanya media-media komunitas yang ada di Afrika dan Amerika Latin yang tidak menjadi corong pemerintah.
Perkembangan kebebasan pers yang sangat pesat membuat media massa mendapatkan pujian karena sangat bermanfaat untuk pendidikan dan budaya. Namun, media massa juga ditakuti oleh segelintir orang karena memiliki pengaruh yang luar biasa.
Sementara itu, perkembangan teknologi telekomunikasi hingga saat ini ternyata malah membawa kekhawatiran ketimbang arah yang lebih baik.
Masalahnya, kombinasi kebebasan pers dengan perkembangan teknologi memicu media massa utama mencari keuntungan. Apalagi, pasar kian kompetitif.
Belum lagi, perilaku konsumen daring dinilai memiliki nilai pasar yang lebih berharga ketimbang pendidikan atau seni. Alhasil, konten media massa mulai mengacu pada permintaan pasar daring tersebut.
Media Massa Menghadapi Tekanan Psikologis Teknologi
Tak hanya masalah teknologi dan kebebasan pers. Keberadaan generasi yang dianggap alien oleh generasi Baby Boomers turut mengubah pola media massa arus utama.
Palfrey dan Gasser pada 2008 mencatat tren dan data tentang orang muda dan media baru sebagai alien yang hidup berbeda dengan para Baby Boomers.
Anak muda saat ini [2008] tidak menilai teknologi sebagai teknologi, tetapi teknologi adalah udara yang bebas. Mereka pun tumbuh di tengah kepungan teknologi tersebut.
Di luar itu, ada pula sesuatu yang Mcquail tulis sebagai penyakit baru di depan media massa. Penyakit itu antara lain, protes politik kerakyatan dan keberhasilan pemilihan umum.
Tak hanya itu, ada juga Xenofobia, yakni ketakutan terhadap negara lain. Lalu, adanya kebencian terhadap perempuan, dan kemerosotan demokrasi tanpa sadar hingga munculnya apatis politik dan sinisme.
Hasilnya, individu mengalami depresi, obesitas, kelaparan, dan kelesuan.
Berbagai dampak itu disebut juga memicu pedofilia, pornografi ekstrem, kekerasan, dan kebencian, sampai membantu organisasi teroris dan kejahatan internasional.
Paradoks atau tidak, biasanya media secara tidak sara menyoriti semua itu sehingga memperkuat pandangan-pandangan yang berdampak mengkhawatirkan.
Semua itu bisa terjadi karena media yang lebih tua punya keresahana terhadap pesaing baru di era yang baru ini. Alhasil, mereka tanpa sadar melaporkan perasaan dan bahaya demi bisa bersaing dengan pesaing tersebut.
Alasannya, media massa arus utama merasa pemberitaan terkait perasaan dan bahaya itu cukup populer dipercaya dan layak diberitakan.
Teori Konspirasi Bukan Berita, tapi Diprotes
Acara yang dipandu Aiman ini bisa dibilang bukan sebuah berita atau dokumenter yang disebut salah satu media baru di masanya. Namun, Aiman membahas sebuah topik yang tidak ilmiah di media massa tua [bisa dikatakan seperti itu karena tergabung dalam Kompas Grup].
Alhasil, dampaknya bisa luas, jika yang menyaksikan tidak memiliki pengetahuan yang baik. Bisa saja muncul opini publik tentang teori konspirasi ala Jerink itu di kalangan komunitas tertentu.
Apalagi, Jerink bisa dibilang sosok yang dikenal cukup banyak orang. Di era digital saat ini, semakin banyak pengikut biasanya punya daya pengaruh yang lebih kuat di segmennya.
Kita tidak pernah tahu segmen masyarakat mana yang sangat megidolai sang drummer band legendaris para milenial tersebut.
Di sisi lain, pemilihan topik oleh KompasTV ini jelas punya tujuan utama, yakni trafik atau kalau di dunia televisi lebih ke rating.
Topik teori konspirasi Jerink mencuat setelah melakuakn live IG dengan dr.Tirta. Dengan mengundang sang pencetus teori konspirasi ke studio televisi, bisa membuat daya tarik masyarakat menyaksikan media massa arus utama klasik meningkat.
Hal itu pernah pula dilakukan oleh Metro TV dengan mengadakan diskusi antara Livi Zheng bersama para sutradara dan sosok yang dianggap tokoh lainnya.
Memang, hasil tayangannya begitu heboh dan ditonton di Youtubue berkali-kali. Penyebaran tayangan itu di media sosial pun bisa dibilang cukup viral.
Hanya saja, tayangan itu seperti menyidang Livi di tengah kepungan sineas dan sosok yang dianggap tokoh tersebut.
Tidak ada bau bahasan pendidikan maupun budaya di sana, hanya kehebohan tentang sosok kontroversial Livi.
Parahnya lagi, media massa tua dan muda tanpa ampun menelanjangi sosok Livi tersebut. Tanpa memikirkan apa dampaknya terhadap psikologi sosok yang dieksploitasinya tersebut.
Ini adalah salah satu strategi mencari trafik dengan menggunakan metode tren, bukan niche. Alhasil, satu tren dieksploitasi dan diperas hingga tetes terakhir.
Namun, apa daya, nasib para media baru dan lama pun terdesak. Perkembangan digital belum menghasilkan uang sebanyak masa emas media cetak dan televisi dulu.
Jika para pemangku kebijakan media tak bisa apa-apa ketika berbicara bisnis, saatnya para pembaca yang mulai bergerak memilah-milih konten yang layak dikonsumsi atau tidak.
Sayangnya, itu bukan hal yang mudah dilakukan loh. Sebuah akhir tulisan yang penuh tanda tanya, yang saya sendiri pun tak punya jawabannya.
media kadang digunain buat giring opini sih. Cukup terkejut sih pas Kompas TV bahas dan kasih panggung soal konspirasi. Ini sengaja atau gimana sih? apa ada maksud terselubung atau gimana sih?