Startup Indonesia tampaknya belum seberani perusahaan rintisan di Amerika Serikat (AS) untuk melantai di bursa efek. Mereka masih malu untuk buka-bukaan, takut strateginya dilirik oleh kompetitor.
Padahal, beberapa Investor ritel Indonesia menantikan startup yang berstatus Unicorn sampai Decacorn untuk melantai di Bursa Efek Indonesia. Mereka tergiur dengan prospek bisnis dari startup digital itu serta ingin merasakan cuan segarnya.
Mimpi itu semakin membubung setelah Uber Inc. melantai di Wall Street pada Mei 2019. Pembahasan Gojek, Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia untuk melakukan penawaran harga saham perdana atau initial public offering (IPO) kembali mencuat.
Namun, mimpi itu tampaknya masih jauh, startup Indonesia tampak masih enggan buka-bukaan di publik. Pada awal tahun ini, Presiden dan Co-Founder Bukalapak Fajrin Rasyid mengungkapkan pihaknya belum berencana melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).
BACA JUGA : Taufik Hidayat Si Raja Backhand
Alasannya, mereka belum mau memenuhi kewajiban jika go public seperti, publikasi data dan sebagainya. Mereka khawatir keterbukaan informasi itu membuat rencana strategis dan inovasi bocor sehingga bisa dilirik pesaing.
Lalu, Gojek yang sudah menjadi Decacorn tampaknya masih jauh dari rencana IPO. Persaingan panas dengan Grab di Asean bisa jadi yang membuat perusahaan bernilai US$10 miliar itu enggan buka-bukaan ke publik. Apalagi, Grab juga masih berstatus perusahaan tertutup.
Berbeda kondisi dengan Asean, Investment Bank di Amerika Serikat (AS) sedang gencar mengajak perusahaan rintisan bervaluasi besar untuk IPO. Bahkan, Investment Bank itu juga mengajak perusahaan rintisan raksasa dari China untuk melantai di Wall Street.
Strateginya, Investment Bank itu menawarkan dana segar lewat pinjaman sindikasi kepada perusahaan rintisan tersebut. Setelah itu, mereka akan merayu debiturnya untuk melantai di bursa.
Hasilnya sudah terlihat pada Uber dan Dropbox. Sebelum IPO pada Mei 2019, Uber telah mendapatkan pinjaman bank senilai US$1,1 miliar setahun sebelumnya.
Begitu juga dengan Dropbox yang go public pada 2018. Perusahaan penyimpanan awan itu mendapatkan pinjaman US$600 juta pada 2017 sebelum akhirnya melantai di bursa.
Nah, beberapa perusahaan rintisan besar asal China sudah mulai proses pinjaman dengan Investment Bank di AS seperti, Morgan Stanley, Goldman Sachs, sampai Credit Suisse.
Perusahaan rintisan dengan valuasi terbesar di dunia Bytedance, pemilik TikTok, sudah tanda tangan pinjaman senilai US$1,33 miliar dengan 8 bank, termasuk Morgan Stanley dan Goldman Sachs pada April 2019.
Lalu, ada dua Unicorn China lainnya yang menyusul yakni, Beike Zhaofang dan Guazi.com. Kedua perusahaan rintisan itu sedang proses pinjaman ke bank dengan maksimal plafon US$1 miliar dan tenor 3 tahun.
Investment Bank Negeri Paman Sam itu berharap setelah mendapatkan pinjaman dana, perusahaan rintisan Negeri Panda itu bakal melantai di bursa menggunakan jasanya.
Sayangnya, aksi IPO Uber tidak membuat Unicorn maupun Decacorn lainnya tertarik ke bursa. Pasalnya, hasil IPO Uber di bawah ekspektasi, jumlah dana yang dihimpun senilai US$8,1 miliar di bawah target awal yakni, US$10 miliar.
Ketika pencatatan perdana, harga saham Uber juga malah tumbang 7,62% ke level US$41,57 per saham dibandingkan dengan harga penawaran perdana US$45 per saham.
Selain faktor Uber, perusahaan rintisan besar yang banyak berasal dari China kemungkinan lebih berhati-hati masuk pasar modal. Situasi perang dagang AS-China yang kian memanas, serta ketidakpastian ekonomi global, diperkirakan bisa menganggu stabilitas pasar modal.
Melihat semua itu, banyak faktor yang membuat perusahaan rintisan besar masih ragu untuk IPO. Pelonggaran kebijakan melantai di bursa belum tentu membuat Unicorn maupun Decacorn tertarik untuk go public.
Jadi, perlu bersabar lebih lama untuk memiliki Unicorn atau Decacorn meski cuma 1 lot.
Tayang di Harian Bisnis Indonesia pada Jumat 14 Juni 2019
Perang minyak kian memanas di tengah pandemi Covid-19 yang semakin menggila. Kini, bukan sekadar Arab…
Zoom menjadi platform yang menonjol di tengah pandemi Covid-19. Seruan untuk kerja dan sekolah dari…
Olimpiade 1992, musim panas di Barcelona, Spanyol, menjadi kenangan indah bagi Indonesia yang tak terlupakan…
Darurat sipil menjadi topik hangat pada Selasa (31/03/2020). Istilah itu mencuat setelah Presiden Joko Widodo…
IHSG kembali melemah pada perdagangan Senin 30 Maret 2020 setelah turun 2,88% menjadi 4.414. Sektor…
Pandemi Corona benar-benar menyandera ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Saya sendiri tidak pernah membayangkan dampak pandemi…
This website uses cookies.
View Comments
tapi sudah banyak ya yang berkembang malah sangat maju, jd perku go publik ya
sebenarnya yang mereka permasalahkan ketentuan perusahaan go publik yang harus terbuka terkait strategi dan laporan keuangan. Nah, data-data itu bisa dicek kompetitor dan bisa jadi bumerang buat mereka. Galau sih emang, apalagi kondisi pasar emang lagi enggak stabil juga. Jadi, kalau liat untung ruginya, keknya lebih banyak ruginya kalau IPO. Ini pendapat ane sih hehe...
mungkin salah satu penyebabnya perusahaan ini kuat dibidang invasi, agaknya saya setuju mereka masih enggak mempublish data perusahaan ke publik karena ini adalah persaingan. Jadi kompetitor akan jadi tau.
Saya yakin kalau sempat perusahaan toped, BL, Gojek IPO, pasti harganya langsung melejat tinggi. Selain itumasing2 perusahaan udah ada investor sendiri, kali aja mereka ga butuh suntikan dana tambahan, makanya belum melantai bursa.
sama gan, ane setuju juga, IPO belum tentu menguntungkan banget sih. Cuma, bagi jurnalis, startup Unicorn yang IPO sangat menarik, jadi bisa ngorek-ngorek hingga ke akarnya. Macem Bali United kemarin, menarik banget buat dikorek-korek struktur bisnis tim bola di Indonesia hehe..