Sektor bank bakal menghadapi tantangan yang cukup besar setelah pandemi Covid-19 masih belum usai jelang tutup paruh pertama tahun ini. Potensi kenaikan kredit bermasalah akan membayangi sektor bank beberapa tahun ke depan, tak hanya Indonesia, tetapi seluruh dunia.
Salah satunya, State Bank of India (SBI), salah satu bank besar di India yang menghadapi potensi kredit bermasalah terburuk dalam empat dekade terakhir. Hal itu diceritakan oleh salah satu eksekutif bidang manajemen risiko SBI CHalla Sreenivasulu Setty.
Eks debt collector sejak usia 12 tahun itu merasa kondisi kredit bermasalah di India bisa menjadi yang terparah dalam empat dekade terakhir. Kondisi ini mengingatkan masa kecil saat bertugas menagih utang-utang yang bakal bermasalah dari para warga setempat.
“Saya sudah berpengalaman menjadi debt collector sejak usia 12 tahun. Dulu, saat liburan sekolah, saya bekerja mengumpulkan utang dari toko bahan makanan demi membantu ayahnya,” ceritanya seperti dikutip dari Bloomberg.
Saat musim panen, Setty akan berkeliling ke 150 rumah di desa untuk menagih utang dari para petani. Setty bersama saudaranya diberikan daftar debitur oleh ayahnya dan mengunjungi satu per satu.
Setty bercerita saudaranya lebih populer di desa karena dia sangat ramah dan lembut dalam menagih utang.
“Berbeda dengan saya, tapi kepopuleran saudara saya itu membuat hasil penagihan utangnya lebih rendah dibandingkan dengan milik saya,” ujarnya.
Setiap hari, Setty dan saudaranya pergi ke ladang sebelum para petani datang.
“Saya dan saudara saya berdiri di depan. Kami baru menyingkir jika mereka sudah membayar utangnya,” ujarnya.
Sektor Bank dan Kisah Setty si Eks Debt Collector yang Kini Jadi Eksekutif Risk Management
Pengalaman sebagai debt collector semasa kecilnya berlanjut kepada kariernya ketika dewasa. 42 tahun kemudian, dia menjadi salah satu direktur pelaksana SBI yang bertanggung jawab untuk menagih utang bermasalah.
Kini, di tengah pandemi Covid-19, tugas utama Setty adalah memulihkan kredit bermasalah senilai US$19,6 miliar. Sejauh ini, penyaluran kredit SBI berkontribusi sebesar seperlima dari total kredit di India senilai US$1,37 triliun.
Setty mengakui hal itu bukan tugas yang mudah, apalagi India menuju kontraksi ekonomi pertama dalam empat dekade terakhir.
Kondisi sektor bank di India pun cukup menantang karena rasio kredit bermasalah Negeri Bollywood itu menjadi yang tertinggi di dunia. Rasio kredit bermasalah masih berpotensi naik lebih tinggi lagi setelah kebijakan lockdown telah menutup bisnis dan membuat jutaan orang menganggur.
Di sini, Setty teringat tentang dua pelajaran penting dalam menyelesaikan kredit bermasalah saat membantu ayahnya dulu.
Pertama, nilai dari sebuah waktu, maksudnya kecepatan pemulihan arus kas sangat penting. Kedua, terus menagih menjadi instrumen yang penting dalam pemulihan kredit.
Strategi Pemulihan Kredit Bermasalah, Segmen Ritel Lebih kokoh Ketimbang Korporasi
Setty mengungkapkan dirinya lebih menyukai penyelesaian kredit bermasalah dengan lebih cepat seperti one settlement.
“Penyelesaian satu kali atau one settlement lebih baik ketimbang memaksa proses litigasi yang panjang. Dengan begitu, kami bisa mendapatkan uangnya lebih cepat,” ujarnya.
Litigasi adalah penyelesaian kredit bermasalah yang dibawa ke ranah hukum. Strategi itu memang membuat alur penyelesaian kredit menjadi semakin lebih panjang dan rumit.
Di sini, Setty berpendapat kalau prospek pemulihan kredit lebih cepat pada segmen ritel ketimbang korporasi.
“Saya sudah memanggil lebih dari 100.000 debitur ritel dalam tiga bulan terakhir untuk edukasi soal restrukturisasi kredit. Saya menjelaskan restrukturisasi kredit bukan penghapusan kredit dan meminta para debitur ritel untuk menilai kemampuan bayarnya,” ujarnya.
Setty bercerita sebagian besar debitur ritel yang mengajukan restrukturisasi kredit itu bukan tidak memiliki kemampuan bayar cicilan. Namun, mereka ingin lebih menghemat uang karena ketidakpastian pandemi Covid-19.
Nah, situasi itu membuat sebagian pinjaman ritel perseroan yang setara US$98,5 miliar akan tetap lancar. Terutama, debitur yang merupakan nasbaah payroll bisa dipantau kemampuan bayarnya.
Sayangnya, setengah dari total kredit segmen korporasi perseroan bermasalah. Untuk melakukan pemulihan pun cukup terhambat karena pemerintah India melarang pengajuan kasus baru ke pangadilan hingga September 2020.
Setty pun mengakui sangat sulit melakukan pendekatan untuk pemulihan kredit bermasalah dari segmen korporasi.
“Sejauh ini solusi yang ada adalah menggunakan pendekatan sesuai dengan situasi yang dialami masing-masing korporasi,” ujarnya.
Tantangan Pemulihan Kredit Bermasalah dan Keraguan Investor
Pemulihan kredit bermasalah segmen korporasi diprediksi lebih dari setahun ke depan. Pasalnya, perusahaan berada dalam situasi sulit ketika permintaan mengalami penurunan.
Setty bersama bawahannya yang berjumlah 1.800 orang akan gencar memberikan kombinasi restrukturisasi kredit, kredit baru, dan penawaran penyelesaian skema one settlement berdasarkan jenis kasusnya.
“Ini adalah situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di sisi lain, ada kebutuhan untuk menjaga loyalitas nasabah korporasi,” ujarnya.
Setty mengatakan identifikasi masalah setiap korporasi bisa membantu menyelesaikan pinjaman.
“Cara saya menagih kredit waktu kecil masih relevan dengan saat ini. Mengidentifikasi masalah debitur dan menindaklanjuti dengan pemegang saham pengendali atau pendirinya,” ujarnya.
Di sisi lain, investor memang sudah khawatir dan meragukan sektor bank bisa melewati kesulitan di tengah pandemi Covid-19 dengan cepat. Salah satu indikatornya adalah harga saham SBI di India yang turun 46% sepanjang tahun ini.
Apalagi, Direktur Lembaga Keuangan Fitch Ratings Ltd. di India Saswata Guha mengatakan penundaan pembayaran pinjaman dan pengajuan kebangkrutan menjadi tantangan besar bagi sektor bank.
“Terutama, untuk bisa memulihkan kredit bermasalah dengan tepat waktu,” ujarnya.