Perang minyak mendadak muncul di tengah serbuan Virus Corona. Apa penyebab perang minyak ini terjadi?
Jika membahas itu, kita harus kembali ke periode 2012-an ketika menjadi titik awal booming shale oil di Amerika Serikat (AS). Berbicara shale oil, produk itu bukanlah sesuatu yang baru di dunia.
Merunut sejarahnya, Shale Oil justru lebih dulu ditemukan ketimbang minyak mentah yang digali langsung. Namun, shale oil meredup karena biaya produksi minyak mentah langsung lebih murah sehingga harga jualnya pun lebih murah.
BACA JUGA: Harga Masker Melejit, Masih Mau Berjudi di KAEF dan INAF?
Nah, pada periode 2012-2014, harga minyak dunia melonjak tinggi hingga sempat tembus US$100 per barel. Di sini pula bersamaan dengan boomingnya Shale Oil di AS.
Hingga salah satu edisi National Geographic menceritakan dampak negatif dari booming shale oil di AS tersebut.
Sampai titik harga minyak yang sangat tinggi pada pertengahan 2014, secara berangsur harga minyak mulai turun. Itu terjadi seiring dengan penurunan permintaan dari China dan AS yang mulai menikmati konsumsi shale oilnya.
Awal polemik terjadi ketika pertemuan Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) pada Desember 2014. Kala itu muncul perdebatan apakah OPEC akan memangkas produksi atau tidak demi menjaga harga minyak dunia agar tidak anjlok.
Seingat saya, kala itu OPEC batal pangkas produksi sehingga harga minyak makin anjlok. Alasannya, OPEC tidak mau kehilangan pangsa pasarnya di tengah AS yang semangat menggenjot produksi Shale Oilnya.
Di sisi lain, AS yang merupakan salah satu importir minyak terbesar, kini mulai bisa swasembada minyak.
Bahkan, pasokan minyak AS berlebihan hingga ada peluang untuk ekspor minyak. Pada periode 2015-2016 inilah harga minya dunia jatuh ke titik terendahnya.
Kala itu, harga minyak WTI dan Brent sempat jatuh ke level US$25-US$27 per barel. Harga yang sangat rendah itu membuat produksi shale oil mulai melambat.
Hasilnya, pasokan minyak yang berlebih mulai terserap karena perlambatan produksi. Harga minyak mulai bangkit lagi pada 2018.
Dalam perang minyak edisi pertama itu, AS bisa dibilang pemenangnya karena strategi pemangkasan produksi OPEC yang gagal total menghadang laju penurunan harga. Kegagalan itu akibat produksi shale oil terus dikebut, meski harga minyak sudah anjlok.
Kabar mengejutkan terjadi dalam pertemuan OPEC pada 6 Maret 2020. Rusia menolak rencana OPEC untuk pangkas produksi.
Setelah kegagalan itu, Arab Saudi memperburuk situasi dengan memberikan diskon harga jual ekspor minyaknya pada Sabtu 7 Maret 2020.
Mengutip Bloomberg, Rusia dengan 9 negara yang bukan anggota OPEC tergabung dalam OPEC+. Aliansi OPEC+ inilah yang mengkartel komoditas minyak di dunia.
Perseteruan masalah pemangkasan produksi ini bukan yang pertama kalinya. Setiap negara minyak memiliki misi untuk menjaga keuntungan dengan memproduksi sebanyak-banyaknya.
Namun, di tengah wabah Virus Corona ini, Arab Saudi menilai perlu adanya pemangkasan produksi agar harga minyak tidak turun terlalu dalam. Alasannya, permintaan minyak berpotensi melambat, jika produksi berjalan seperti biasanya supply akan melebihi demand.
Di sisi lain, Rusia menilai rencana kebijakan Arab Saudi itu punya hubungan kuat untuk membantu industri shale oil Amerika Serikat (AS). Apalagi, Presiden AS Donald Trump menggunakan energi sebagai alat politik dan ekonomi.
Rusia juga kesal dengan sanksi AS terkait penyelesaian pipa yang menghubungkan ladang gas Siberia dengan Jerman yang dikenal Nord Stream 2.
Penolakan Rusia itu pun sangat logis, Vladimir Putin enggan memberikan pangsa pasar minyaknya kepada AS. Pasalnya, yang melakukan pemangkasan produksi cuma OPEC+, tetapi AS yang kelebihan pasokan minyak tidak memangkas produksinya.
Artinya, jika permintaan tetap, AS bisa menggarap pasar tersebut, sedangkan Rusia yang tergabung oleh OPEC+ harus rela kehilangan beberapa % pangsa pasarnya jika ikut memangkas produksi.
Perang minyak periode kedua ini mengingatkan perang minyak periode pertama silam. Namun, akankah Rusia dan Arab Saudi bisa bertahan jika harga minyak terus ambruk?
Rusia dan Arab Saudi, serta anggota OPEC lainnya, diestimasikan sudah menikmati keuntungan yang lebih banyak ketika harga minyak sempat kembali ke US$80-an per barel hingga tertahan cukup lama di level US$60 per barel.
Titik impas harga minyak Rusia sekitar US$42 per barel. Dari berbagai keuntungan sebelumnya, Rusia diprediksi memiliki posisi yang baik di tengah kemerosotan harga saat ini.
Begitu juga dengan Arab Saudi yang diprediksi memiliki biaya produksi minyak mentah hanya sepertiga dari biaya shale oil AS.
Sayangnya, beberapa negara minyak bakal terancam dari penurunan harga saat ini. Paling pertama adalah Venezuela yang bakal makin suram di tengah gejolak politik.
Begitu juga dengan Iran yang bisa membuat komplikasi tambahan di tengah usaha melindungi perekonomian dari wabah Virus Corona.
Pihak yang paling diuntungkan adalah para importir seperti China, termasuk Indonesia.
Kejatuhan harga minyak ini bisa jadi antivirus ekonomi dari dampak wabah Covid-19 yang terjadi satu kuartal terakhir.
Untuk Indonesia, penurunan harga minyak ini bisa memangkas defisit transaksi berjalan yang melebar gara-gara impor minyak. Inflasi pun akan terjaga karena mau enggak mau harga BBM nonsubsidi akan menyesuaikan harga pasar.
Beban anggaran pemerintah untuk BBM yang masih disubsidi seperti, Premium dan Solar pun akan berkurang. Pertamina pasti girang bukan main dengan penurunan harga ini, artinya beban menanggung biaya premium bisa sedikit terpangkas.
Apalagi, kalau dilihat dari data per Januari 2020, impor minyak nilainya jauh lebih besar ketimbang ekspor minyak.
Impor minyak mentah US$514 juta, sedangkan ekspor minyak mentah hanya US$32,9 juta. Lalu, impor produk pengolahan hasil minyak US$1,1 miliar, sedangkan ekspornya cuma US$168,9 juta.
Namun, penurunan harga minyak bakal berdampak pula kepada nasib perusahaan sektor batu bara. Pasalnya, batu bara adalah salah satu produk pesaing minyak sehingga penurunan ini bakal berimbas kepada harga batu bara.
Jadi, kalian yang pegang emiten batu bara siap-siap saja ke depannya tantangan sektor itu bakal makin menjadi.
Siap menikmati harga bensin nonsubsidi murah lagi enggak? syaratnya harga minyak di level US$30 per barel ini bertahan terus sampai akhir semester I/2020.
Portofolio saham masih saja memerah, tanpa ada sinyal kapan mulai menghijau. Mau nyerok pun susah…
Krisis ekonomi 1997 bisa dibilang hampir mirip dengan kejadian pandemi Covid-19. Sebuah kejadian yang diawali…
Piala Thomas dan Uber 1994 menjadi kenangan indah bulu tangkis Indonesia. Setelah puasa gelar selama…
Saham BBCA menjadi salah satu pilihan saham yang menarik, tetapi nilainya sangat mahal. Padahal, saat…
Perang minyak kian memanas di tengah pandemi Covid-19 yang semakin menggila. Kini, bukan sekadar Arab…
Zoom menjadi platform yang menonjol di tengah pandemi Covid-19. Seruan untuk kerja dan sekolah dari…
This website uses cookies.