Saham GoTo yang mulai menjalankan proses penawaran perdana sejak pertengahan Maret 2022 tampaknya lagi benar-benar riweuh saat ini. Mungkin ribetnya Saham GoTo IPO sudah terjadi sejak sebelum perusahaan public expose. Korbannya, masyarakat yang bingung, jadi ini saham prospek apa tidak sih?
Rencana GoTo IPO memang sudah mengemuka sejak akhir 2021. Dari situ, mulai muncul banyak masalah seperti, gugatan penggunaan nama GoTo sampai hak cipta konsep ojek online, dari sosok yang mengaku pencetus ojek online.
Setelah mengumumkan waktu IPO yang lebih detail, GoTo juga menghadapi serangan dari buzzer pembela perusahaan gabungan Gojek dan Tokopedia tersebut. Dengan tegas, GoTo mengklaim tidak menggunakan jasa buzzer.
Di luar itu, adu argumen netizen terkait GoTo yang masih rugi dengan yang yakin dengan prospeknya juga makin panas. Para kaum value investing merasa para pembeli GoTo adalah kelompok the very great fool dalam pasar saham, sedangkan kaum lawannya, belum ada yang kelihatan mencolok sih.
Kalau saya rekap, ada empat fakta lainnya lagi yang membuat saham GoTo IPO ini adalah yang paling ribet se-Indonesia, eh tidak, malah se-dunia. Kok bisa?
Narasi Positif dari Barang dan Sentimen yang Negatif
Saham GoTo menetapkan harga IPO senilai Rp338 per saham dari rentang Rp316-Rp346 per saham.
Di balik berita penetapan harga IPO itu, ada rumor yang bilang kalau permintaan bookbuilding tembus Rp15,75 triliun. Padahal, sebelumnya dengan asumsi harga IPO tertinggi, target dana yang dihimpun bisa Rp17,99 triliun. Lalu, dengan menghitung penetapan harga IPO Rp338 per saham, jika laris 52 miliar lembar saham, berarti total dananya Rp17,57 triliun.
Lalu, kenapa pas bookbuilding cuma laku Rp15,75 triliun? apakah disebabkan oleh pengajuan harga yang beragam? sebenarnya kalau mau dihitung tetap dengan penetapan harga IPO. Artinya, peminat saat bookbuilding cuma 89,61 persen dari total saham yang dilepas ke publik.
Artinya, masih ada sisa sekitar 5,4 miliar saham setara Rp1,82 triliun yang bisa diserap publik saat penawaran umum. Kira-kira ritel Indonesia tertarik menyerap saham sebanyak itu saat IPO?
Selain itu, ada beberapa tiga fakta yang mengkhawatirkan, tetapi justru dijadikan seolah narasi positif.
Pertama, seluruh saham IPO GoTo seluruhnya diserap oleh investor domestik. Artinya, investor asing tidak tertarik dan pemain besar berkurang. Apakah investor domestik bisa menutup posisi yang biasanya ditempati investor asing?
Kedua, bookbuilding GoTo sudah optimal di tengah kondisi perang Rusia dan Ukraina, serta kenaikan suku bunga Federal Reserve (The Fed). Di sini, artinya GoTo melakukan IPO bukan di waktu yang tepat toh?
Ketiga, investor jangan langsung bilang sepi peminat karena proses pemesanan saham GoTo belum berakhir. Penawaran umum masih berlanjut ke awal April 2022. Jadi, nanti bakal ada tambahan pemesanan dari para investor ritel.
Pertanyaannya, apakah investor ritel mampu mengisi Rp1,8 triliun dari total saham yang dilepas ke publik tersebut? Asumsi Rp1,8 triliun ini diambil dari selisih seluruh saham yang dilepas dikalikan harga penetapan IPO dikurangi rumor nilai peminat saat bookbuilding.
Skema Greenshoe, Pengaman yang Bikin Bingung
Salah satu yang menarik dari Saham GoTo IPO adalah kabar pengaman atau stabilisasi harga saham pasca IPO dengan skema Greenshoe. Mungkin buat investor angkatan Corona, hal ini sangat asing sekali.
Faktanya, di Indonesia pernah beberapa kali saham IPO menggunakan skema Greenshoe, terutama pada 2011. Bahkan, ketika pemerintah divestasi sahamnya di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) pada 2009 juga menggunakan skema ini.
Teranyar, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo juga mengusulkan agar setiap IPO BUMN menggunakan skema Greenshoe agar kejadian seperti PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk. (MTEL) tidak terulang lagi. Pertanyaannya, apakah greenshoe bisa mengamankan harga saham? Kalau bisa pun mampunya berapa lama?
Penjelasan Skema Greenshoe
Skema greenshoe bukanlah rights issue, yakni penerbitan saham baru setelah IPO. Jadi, ada dua tahapan dalam skema greenshoe, pertama opsi penjatahan lebih, kedua stabilisasi harga.
Opsi penjatahan lebih terjadi bersamaan saat penawaran umum, jadi ketika permintaan saham melebihi kuota yang ditetapkan. Emiten bisa mengeluarkan opsi penjatahan lebih yang diambil dari saham treasuri atau pemegang saham pendiri yang siap melepas kepemilikannya. Jadi, penjamin emisi bisa menawarkan opsi penjatahan lebih ke maksimal 100 investor. Nantinya, hanya maksimal 50 investor yang bisa dapat penjatahan lebih tersebut.
Jika laku semua, emiten bakal dapat dana IPO ditambah opsi penjatahan lebih. Nah, dana hasil opsi penjatahan lebih itu yang bakal digunakan untuk stabilisasi harga saham selama 30 hari setelah IPO.
Di sini, masuk ke dalam tahap kedua, yakni stabilisasi harga. Jika harga saham turun ke bawah harga IPO, agen stabilisasi dari pihak sekuritas dapat melakukan pembelian saham dengan dana maksimal dari hasil opsi penjatahan lebih tadi. Aksi beli untuk stabilisasi harga pun dibatasi paling tinggi setara dengan harga IPO.
Masalah Greenshoe yang Jadi Tanda Tanya
Sebelum ke pertanyaan, jadi Greenshoe bisa stabilkan harga saham setelah IPO, ternyata ada beberapa masalah lainnya nih. Beberapa masalah itu antara lain, bagaimana jika IPO tidak mengalami kelebihan permintaan, lalu dari mana dana stabilisasi bakal didapatkan?
Kalau pun IPO kelebihan permintaan, siapa yang mau membeli opsi penjatahan lebih tersebut?
Secara historis di Indonesia, dari ketentuan maksimal opsi penjatahan lebih 15% dari total saham IPO yang dilepas, rata-rata hanya merealisasikan di bawah 10%. Masalahnya di sini, Saham GoTo melakukan IPO jumbo, kalau dana stabilisasi harganya terbatas, bagaimana harganya bisa terjaga?
Dengan kata lain, jawaban apakah greenshoe bisa menstabilkan harga saham setelah IPO? Untuk kasus GoTo mungkin belum tentu ya, jadi jangan terlalu berekspektasi berlebihan dengan skema yang katanya mampu mengamankan harga saham setelah IPO tersebut.
Apalagi, periode greenshoe cuma 30 hari setelah IPO saja. Artinya, kalau pun 30 hari selamat, ya harga sahamnya berpotensi berfluktuasi setelah itu. Bisa jadi, misi greenshoe hanya demi memaniskan kinerja IPO di awal-awal perdagangan untuk kepentingan citra emiten.
Sama seperti usulan Tiko, sapaan Kartika, Wamen BUMN yang minta perusahaan pelat merah IPO dengan greenshoe. Tujuannya, biar citra kinerja saham IPO BUMN terlihat oke.
Bayang-bayang Jebakan Betmen Bukalapak
Sebelum itu, perlu diperjelas Bukalapak bukanlah pesaing dari GoTo. Bisnis keduanya sangat berbeda dari jenis hingga skalanya. Kecuali, jika nanti Bukalapak dan Grab merger ya, bisa jadi bakal lebih mirip.
Namun, IPO GoTo memang di tengah bayang-bayang buruknya hasil IPO Bukalapak. Bagaimana tidak, dari harga IPO Rp850 per saham pada Agustus 2021, kini harga saham Bukalapak per 25 Maret 2022 Rp308 per saham. Posisi itu sudah turun 60 persen dari level harga IPO.
Kehancuran Bukalapak yang IPO saat merugi membuat asumsi para pecinta saham old economy menjadi nyata. Prospek saham rugi sangat suram. Akhirnya, ketika prospektus GoTo muncul dan masih rugi, responsnya, ngapain beli saham yang masih rugi?
Di sisi lain, IPO GoTo sedikit ada pembelaan nih karena emiten itu memiliki aplikasi yang digunakan sejuta umat. Berbeda dengan Bukalapak, yang pengguna e-Commercenya sedikit dan hanya banyak warung mitra. Jadi, sempat muncul pertanyaan ke Bukalapak, memang masih ada yang pakai Bukalapak?
Ya, tapi tetap saja GoTo masih merugi. Ditambah, kinerja saham Grab juga ambrol sejak IPO dengan skema SPAC atau akuisisi-merger dengan perusahaan cek kosong pada akhir 2021. Ditambah, saham SEA Ltd., induk usaha Shopee juga lagi turun setelah kenaikan fenomena sejak 2019 dan 2020.
Fakta Saham Teknologi Saat IPO
Saham teknologi ini ibarat barang antik. Kalau cuma window shopping alias cuma lihat-lihat saja tidak menarik. Namun, ketika ada yang menghargainya selangit, langsung jutaan orang FOMO deh.
Bahkan, saham Facebook yang menawarkan harga IPO 38 dolar AS per saham dan listing pada 21 Mei 2012 sempat turun di bawah harga IPO lebih dari setahun. Baru, akhir 2013 harga saham Facebook mulai merangkak naik ke atas harga IPO. Padahal, Facebook juga menggunakan skema greenshoe, tapi memang IPOnya saat The Fed mau tapering off juga.
Tapering off itu aksi pengurangan pembelian surat utang negara oleh The Fed. Hasilnya, jumlah uang beredar bisa melambat. Kebijakan itu salah satu langkah pengetatan moneter sebelum kenaikan suku bunga sehingga jadi sentimen negatif untuk saham teknologi.
Bukan cuma Facebook, Sea Ltd., induk usaha Shopee dan Garena juga begitu. Sea Ltd. yang IPO dengan harga penawaran perdana 15 dolar AS per saham sempat berada di bawah harga IPO hingga 2 tahun.
Baru pada pertengahan 2019, saham Sea mulai terangkat oleh rilisnya game Free Fire yang cukup digemari.
Jadi, kehancuran saham Bukalapak maupun GoTo nantinya sudah bisa diprediksi. Situasi saat ini berbeda dengan masa Amazon IPO. Bisa dibilang perusahaan besutan Jeff Bezos itu melakukan IPO di saat yang sangat tepat, yakni ketika perusahaan internet lagi booming hingga jadi bubble yang pecah pada 2000.
Kesimpulan
Jujur, ribetnya usaha GoTo membuat narasi yang positif saat ini bakal sia-sia. Ibarat, langit dan dewa tidak ada yang mendukung harga saham GoTo bisa bertahan di atas harga IPO.
Kecuali, jika tim Patrick Walujo turun tangan nih. Secara historis, saham-saham yang di bawah Northstar dan Patrick kinerjanya luar biasa. Seperti, PT Bank Tabungan Pensiun Nasional Tbk. (BTPN) setelah diakuisisi oleh TPG, milik Patrick, harga sahamnya langsung melejit tinggi.
Begitu juga, beberapa saham lainnya seperti, PT BTPN Syariah Tbk. (BTPS), PT Delta Dunia Makmur Tbk. (DOID), PT Bank Jago Tbk. (ARTO) dan lainnya.
Namun, jelas kenaikan harga semua saham itu juga ada momen besarnya juga. Bukan cuma sekadar naik, jadi jangan berharap durian runtuh harga saham GoTo bisa auto rejection atas (ARA) berjilid-jilid kayak PT Adaro Minerals Tbk. (ADMR).
Pastinya, sentimen negatif saat ini lebih kuat ketimbang positifnya. Artinya, tekanan harga saham GoTo berpotensi lebih besar ke depannya. Makanya, saya bilang ini Saham GoTo IPO ribet banget padahal upayanya bakal sia-sia.
Setuju atau tidak?
Puas dengan Konten Ini?
Yuk, Trakteer blog ini biar makin berkembang hingga
menambah insight dan skill barumu