Gojek Digugat Melanggar Hak Cipta, Begini Sejarahnya

Gojek Digugat

Gojek digugat oleh Arman Chasan yang mengklaim sebagai pemilik hak cipta model bisnis ojek online. Lalu, apakah Nadiem melakukan plagiasi ide bisnis? atau memang Arman Chasan yang merasa saja model bisnisnya sama? 

Cerita Gugatan Arman Chasan ke Gojek dan Nadiem

Arman Chasan memang sempat membuat bisnis ojek online. Namun, jangan bayangkan bisnisnya menggunakan aplikasi canggih seperti milik Gojek dan Grab saat ini. 

Arman yang baru saja di PHK pada 2008 pun membuat bisnis baru, yakni ojek online. Jadi, Arman menjajakan jasanya via SMS dan juga blog yang terhubung ke Facebook. 

Nah, Arman menjajakan jasa ojek onlinenya untuk rute Bintaro, Rempoa, Sudirman, dan Thamrin. Jadi pelanggan yang ingin menggunakan jasa Arman harus mengontak terlebih dulu lewat sms maupun facebook atau blog. 

Nantinya, Arman bakal menjemput penumpang sesuai tempat perjanjian. Wakut itu jelas tanpa GPS yang bisa mencari di mana posisi penumpang. 

Di sini, Arman juga ingin mengubah mindset tukang ojek itu selalu lusuh dan bau. Dia narik ojek dengan rapi dan parfum yang wangi. 

Tarifnya pun bisa dinegosiasikan, jadi nantinya Arman bakal melemparkan angka tarif. Pelanggan bisa bernegosiasi. Konon rute Bintaro-Thamrin pada 2011 bisa senilai Rp50.000. 

Arman sempat memiliki empat pegawai, kalau istilah Gojek dan Grab mitra. Di situ, mereka berempat bisa melayani sekitar 25 pelanggan di sekitar Bintaro dan mengantongi pendapatan bersih Rp10 juta per bulan. 

Arman pun mengakui salah satu tantangan bisnisnya saat itu adalah merekrut driver yang paham Jakarta dan bisa dipercaya. Soalnya, Arman pernah ketipu dengan salah satu driver yang justru membawa kabur sepeda motornya. 

Setelah kejadian itu, Arman melakukan langkah antisipatif dengan menahan ijazah dan kontak keluarga terdekat.

Dengan bisnis uniknya kala itu, Arman Chasan merasa namanya melambung tinggi. Bukan gimana-gimana, banyak media yang meliputnya. Bahkan, Chasan mengklaim sempat diliput oleh NHK Jepang, yang videonya ada di Youtube. 

Salah satu video yang diklaim milik NHK Jepang saat meliput Arman Chasan

Jika melihat akun Instagram, Arman sudah mulai membahas soal Gojek yang meniru bisnisnya dulu sejak April 2018. Dalam postingannya bersama kru Metro TV, Arman menceritakan kalau Gojek pun pada 2011 berdiri dengan web mirip seperti blog punyanya. 

Dalam salah satu postingan Instagramnya, Arman mengaku bisnis ojek onlinenya tergerus oleh ojek online berbasis aplikasi. Waktu itu, Arman mengaku ingin bikin aplikasi juga, tetapi tidak memiliki dana. 

Menariknya, Arman juga menjelaskan kalau Uber, platform ride hailing asal Amerika Serikat (AS) pun lahir setelah dia mendirikan Ojek Online.

Kenapa yang Berkembang Adalah Gojek Bukan Bisnis Ojek Online Arman?

Gojek pada awal didirikan pada medio 2010, bukan langsung perusahaan teknologi besar. Mirip dengan Arman, tapi Gojek menggunakan layanan call center. 

Call center bisa jadi penghubung utama antara para mitra dengan konsumen yang membutuhkan jasa. Jadi, setiap penumpang yang mau pesan ojek bisa menelpon terlebih dulu. Mirip pesan taksi. 


Kunci Utama

  • Arman Chasan mengklaim diri sebagai pelopor ojek online, bahkan sebelum Uber di AS berdiri
  • Skemanya dia mengguna blogspot dan menautkan Facebooknya untuk berinteraksi dengan pelanggan
  • Sistem Arman saat itu memang terlihat canggih, tapi belum memudahkan masyarakat dalam mendapatkan ojek
  • Apalagi, dari segi jangkauan Arman terbatas di wilayah Bintaro untuk titik awal penjemputan
  • GoTo mendapatkan dua kali gugatan dengan nilai fantastis jelang rencana IPOnya pada 2022
  • Perusahaan induk Facebook juga langsung digugat setelah mengganti namanya menjadi Meta pada kuartal IV/2021

Dengan mitra yang sangat terbatas, Gojek pada medio 2010-2014 benar-benar bak pelari yang sudah hampir kehabisan nafas. 

Sampai akhirnya, Gojek bertemu dengan menantunya T.P Rachmat, Patrick Walujo, yang juga orang di balik private equity, Northstar. 

Patrick Punya Ide Jual Gojek ke Uber

Dikutip dari Detik.com, Patrick Walujo pernah menanyakan ke Nadiem, Gojek itu mau dikembangkan menjadi seperti apa. Di situ, Patrick cerita kalau dia baru ketemu dengan pemilik Uber. 

“Uber mau mengembangkan bisnisnya ke Indonesia. Di situ, ada ide Gojek bikin aplikasi dulu sebelum Uber masuk, tapi Ojek. Saat Uber mau masuk, mereka tidak perlu mengurus dari awal, tinggal pake Gojek,” ceritanya. 

Nadiem pun setuju dan ingin membuat aplikasi tersebut. Namun, dia tidak punya modal untuk aplikasi. 

“Saya langsung bilang, cari teman yang bisa bikin aplikasi. Kira-kira butuh sekitar 800.000 dolar AS untuk aplikasi. Saya yang pinjamkan uangnya,” ujar Patrick. 

Bisnis Gojek bisa dibilang bisnis yang besar dan butuh banyak modal. Gojek sendiri bisa bertahan hingga merger dengan Tokopedia dengan sokongan banyak investor. 

Penyebab Arman Tidak Sesukses Nadiem

Salah satunya adalah masalah networking. Dalam pengembangan bisnis, networking sangat dibutuhkan. Soalnya, secara matematika, hampir mustahil mengembangkan bisnis tanpa networking. 

Bayangkan, jika Nadiem tidak bertemu dengan Patrick atau investor penyokong dananya. Mungkin, kini Gojek tinggal kenangan. 

Soalnya, bicara bisnis, berarti bicara kesempatan yang bisa didapatkan dari networking. Keberadaan privilege networking memang memudahkan dalam pengembangan bisnis. 

BACA JUGA: Mau Siapkan Dana Pensiun lewat Crypto? Begini Caranya

Namun, jika sang pemilik bisnis tidak kompeten, mereka juga tidak akan mendapatkan kepercayaan dari networkingnya. Artinya, di sini membutuhkan networking dan kompetensi. 

Terakhir, membutuhkan usaha untuk mengoptimalkan peluang yang ada. 

Nah, di sini, Arman telah memiliki kemauan untuk mengambil aksi bikin bisnis. Sayangnya, dia mungkin terlalu fokus untuk pengembangan bisnis, tanpa memikirkan untuk cari pendanaan dan memang istilah modal ventura untuk pendanaan perusahaan rintisan belum terkenal saat itu. 

Drama Gojek Digugat Jelang Rencana IPO

Entah berhubungan atau tidak, tapi Gojek seolah-olah mendapatkan banyak gugatan jelang rencananya melantai di Bursa Efek Indonesia. 

Sebelum permasalahan Arman, perusahaan teknologi paling bernilai di Indonesia sempat digugat soal merek GoTo oleh PT Terbit Financial Technology pada  Oktober 2021 senilai Rp2,08 triliun. Perusahaan fintech itu mengaku merasa dirugikan oleh Gojek dan Tokopedia yang menggunakan nama GoTo. 

Pasalnya, Terbit FInancial Technology memiliki hak paten atas merek GoTo yang terdaftar di Ditjen Haki. 

Namun, update terakhirnya, GoTo justru menggugat balik Terbit Financial Technology. Pihak kuasa hukum GoTo menilai ada upaya pihak yang ingin meraup keuntungan atas perkara merek GoTo. 

Bukan Cuma Gojek dan GoTo, Meta Juga Penuh Gugatan

Bukan cuma Gojek dan GoTo, Meta, induk dari Facebook Grup juga sempat digugat setelah resmi ganti nama pada November 2021. 

Meta digugat oleh aplikasi foto bernama Phhhoto. Perusahaan media sosial itu digugat atas dasar antimonopoli. 

Phhhoto mengklaim Meta berpura-pura tertarik kerja sama dengan mereka. Namun, nyatanya Meta malah menyontek fitur yang dimiliki perusahaan aplikasi tersebut. Bahkan, menyembunyikan nama Phhhoto hingga perusahannya gulung tikar. 

Salah satu teknologi Phhhoto adalah memungkinkan pengguna menangkap lima bingkai dalam satu titik dan sekali pemotretan. Nantinya, hasil foto ini dilingkarkan menjadi video pendek untuk dibagikan ke platformnya maupun Instagram. 

Nah, Instagram dinilai sudah menyalin fitur utama milik Phhhoto dan merilisnya sebagai Boomeranng di Instagram pada 2015. Saat  itu, Instagram pun membloki Phhoto dari API Instagram dan unggahan media sosial populer tersebut. 

Bukan cuma itu, Facebook juga sempat digugat membayar Rp287 miliar akibat menggunakan nama Meta. Soalnya, Meta sudah digunakann oleh startup penjual produk komputer, laptop, dan software gaming. 

Pendiri startup bernama Meta itu pun mengaku tidak akan menjual nama perusahaan dengan harga kurang dari Rp287 miliar. Namun, tidak ada kabar lebih lanjut bagaimana proses selanjutnya. 

Sindiran Perusahaan Teknologi Besar

Dalam beberapa film, salah satunya Dr. Y The Movie 2021, sempat dibahas ada sosok pemuda yang mendirikan perusahaan teknologi besar. Dia sangat terkenal karena memiliki bisnis yang berkembang pesat. 

Namun, di balik ketenarannya, ternyata dalam mengembangkan bisnis, pemuda itu menggunakan cara kasar ke perusahaan yang lebih kecil. Untuk meningkatkan skalanya yang lebih besar, perusahaan kecil ditindas. 

Selain itu, beberapa film lainnya seperti Johnny English sekuel ketiganya juga menceritakan bagaimana liciknya para pendiri perusahaan teknologi. Di mana, mereka ingin menguasai data suatu negara dengan menjanjikan teknologi yang canggih. 

Semua yang ada di film itu bisa dibilang sebuah kekhawatiran dan belum tentu benar-benar terjadi nyata. Namun, bisa jadi hal itu nyata di mana ada perusahaan atau orang kecil yang merasa dirugikan oleh perusahaan besar tersebut. 

Di luar polemik itu semua, ada istilah business is business. Ya namanya kapitalis, yang besar kemungkinan selalu menang. 

Tulisan ini tidak ingin menyudutkan salah satu pihak hanya mencoba berimbang dengan realita yang ada. 

Pos dibuat 304

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terkait

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.

kembali ke Atas