Categories: HeadlineOpini

Hari Pers Nasional, Kacau Balaunya Jurnalisme Digital Indonesia

Hari pers nasional memang sudah lewat beberapa hari yang lalu, tetapi tidak ada salahnya saya yang juga pernah berkeringat di lapangan untuk mencari berita ini berkomentar terkait hari sakral para insan kuli tinta tersebut. Sebagai kalimat awal komentar saya di sini adalah, untuk apa hari pers dirayakan?

Saya selalu bertanya-tanya, terlalu banyak perayaan yang tidak penting di negeri ini [Indonesia]. Salah satunya, Hari Kesaktian Pancasila yang merupakan kampanye Orde Baru. Lalu, Hari Pers Nasional yang juga diciptakan oleh orde baru.

Selain kedua itu, mungkin ada hari perayaan lainnya yang saya sendiri enggak ‘ngeh’.

Kembali ke topik, untuk apa hari pers dirayakan?

Kalau mengutip postingan Instagram Jokowi, dia mengatakan kalau wartawan kerap membuatnya gugup.

Alasannya, insan pers selalu mewawancarainya setiap hari sehingga kadang-kadang gugup dan gagap karena tidak siap untuk menjawab.

“Karena itulah, saya merasa penting untuk hadir di puncak peringatan Hari Pers Nasional 2020 di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Insan pers adalah teman saya sehari-hari,” tulisnya dalam postingan tersebut.

BACA JUGA: Yang Alay Siap Berjaya Bersama TikTok?

Tak hanya itu, Jokowi juga posting konten lainnya terkait hari pers. Postingan kedua itu memiliki caption kalau masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang mendapatkan informasi yang sehat dan yang baik. Informasi yang baik memerlukan jurnalisme dan ekosistem yang baik.

“Negara membutuhkan kehadiran pers dengan perspektif jernihnya untuk berdiri di depan melawan kekacauan informasi, penyebaran hoaks, dan ujaran kebencian yang mengancam kehidupan demokrasi,” tulisnya di caption.

Paragraf terakhir dalam postingan itu menuliskan, yang mewartakan berita baik dan agenda besar bang Indonesia. Membangkitkan semangat positif yang mendorong produktivitas dan optimisme.

Hari Pers Nasional dan Ekosistem Kebebasan yang Kacau Balau

Jokowi mengaku kalau informasi yang baik memerlukan jurnalisme dan ekosistem yang baik. Masalahnya, sistem pers di Indonesia tampaknya kadung kacau balau.

Kebebasan pers yang dibangga-banggakan setelah runtuhnya era orde baru ternyata menjadi pisau bermata dua. Kebebasan itu justru memakan banyak korban lewat munculnya berita bohong atau hoaks.

Namun, kebebasan pers tidak bisa menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan. Disrupsi teknologi dari konvensional ke digital juga sangat memengaruhi hal tersebut.

Ingat Detik, meski bukan yang pertama, tetapi media yang kini tergabung dalam Trans Corp itu salah satu media daring tersukses. Sayangnya, gara-gara Detik pula bisa jadi sistem media daring di Indonesia kacau balau.

Ketika media massa mengandalkan kecepatan yang sangat cepat, bahkan terlalu cepat, demi memenangkan trafik, maka media itu lupa akan elemen jurnalisme.

Era berita online yang harus pendek dengan asumsi masyarakat Indonesia tidak suka tulisan panjang seolah membuat pembodohan publik. Padahal, alasan utamanya adalah demi mengejar trafik sebanyak-banyaknya.

Berawal dari Detik, beberapa media daring yang mencoba sukses belajar hal serupa. Menampilkan berita pendek dengan cepat, secepat-cepatnya.

Jika ingin sebuah karya jurnalistik cepat diproduksi, berarti mau enggak mau harus melupakan kualitas dan dampak dari tulisannya itu kepada masyarakat.

Tak Hanya Cepat, Tapi Juga Klik Bait

Tak hanya merilis berita dengan cepat, media massa yang mulai menuju digital pun berburu tulisan yang klik bait. Artinya, judul dan isi tulisannya itu mau enggak mau menarik perhatian pembaca.

Lagi-lagi, alasannya adalah demi mendulang trafik yang tinggi. Masalah klik bait ini mungkin bisa kita anugerahkan penghargaan kepada Tribun.

Media yang tergabung dalam grup Kompas.com itu sangat ciamik dalam mengolah judul yang klik bait.

Sebenarnya, era judul klik bait tidak hanya terjadi di era digital, tetapi jauh sebelum itu. Ketika koran kuning bermunculan dengan target pangsa pasar level C atau menengah ke bawah.

Media-media kuning itu memang sangat diminati di segment tersebut. Selain menarik, judulnya tak perlu membuat sang pembaca berpikir. Sekali lihat, langsung paham maksudnya apa.

Strategi klik bait ternyata memang berhasil diimplementasikan di media massa era digital. Trafik tinggi langsung mewarnai media-media yang memiliki judul klik bait.

Kini, bukan cuma Tribun yang memiliki kumpulan berita klik bait. Hampir seluruh media mencoba membuat berita dengan judul klik bait, tetapi itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Membuat judul klik bait itu bisa dibilang sulit, meski hasilnya kayak terlihat gampang.

Di sisi lain, masyarakat pun mulai sadar jebakan judul klik bait, tetapi kesadaran itu tidak cukup untuk membunuh berita klik bait. Soalnya, berita klik bait ini secara psikologis menarik minat masyarakat untuk mengklik, meski dia tahu informasi di dalamnya tidak berguna untuknya.

Setidaknya, berita klik bait bisa memenuhi satu fungsi komunikasi massa, yakni memberikan hiburan.

Belajar dari Medium

Saya menggunakan Medium, platform yang dikembangkan oleh founder Blogspot Ev Williams sekitar 2014-an. Kala itu, saya tertarik menggunakannya karena tampilan yang sederhana, sayangnya kala itu masih sedikit orang Indonesia di dalamnya.

Jadi, ketika posting tulisan berbahasa Indonesia cukup sulit menangkap jumlah pembaca yang besar, sedangkan kemampuan menulis bahasa Inggris saya masih kacau balau.

Lalu, saya makin tertarik dengan Medium pada akhir 2019. Hal itu setelah melihat visinya, yakni menjadi platform yang dibangun untuk masyarakat, bukan pengiklan.

Ini seperti menyindir media massa di era digital yang harusnya membuat konten untuk masyarakat, tetapi malah berburu trafik demi pengiklan maupun cuan dari iklan programatik.

Di sana, Medium memaparkan tidak mengutamakan kuantitas, tetapi kualitas. Lalu, tidak mengejar konten bersponsor, tetapi ide orisinil.

Tak hanya itu, Medium menjanjikan tidak ada pop ups atau banner iklan sehingga pembaca bisa menikmatik konten tanpa gangguan.

Lalu, tulisannya tidak akan klik bait, tetapi lebih mendalam. Paling menariknya, Medium tidak mengejar jumlah tampilan halaman, tetapi sudut pandang.

Mimpi yang Tak Sederhana

Namun, perjalanan Medium tidak semudah itu. Pada 5 Januari 2017, Ev Williams lewat akun Mediumnya menuliskan tentang perubahan pada platform besutannya tersebut.

Namun, sebelum itu, dia menjelaskan harus melakukan pemutusan hubungan kerja untuk 50 pekerja di bagian penjualan, support, dan fungsi bisnis lainnya. Tujuannya, mereka ingin mengubah model bisnis agar bisa langsung mencapai misi awalnya.

Ev Williams pun mengingat kembali visi misinya ketika memulai Medium pada 2012. Saat itu, visinya adalah membangun platform model baru untuk media di internet.

Masalah yang dia lihat adalah para pembuat dan penyebar konten tidak melayani konsumennya, yakni masyarakat.

“Sistem seperti itu meningkatkan jumlah informasi yang salah. Lalu, membuat jumlah konten yang beredar sangat banyak tanpa ada kedalaman, orsinalitas, dan kualitas yang amat buruk,” tulisnya.

Sistem itu sangat tidak berkelanjutan dan tidak memuaskan bagi produsen maupun konsumen. Untuk itu, Ev Williams menilai butuh model baru dengan melahirkan Medium.

Namun, mimpi itu sedikit berbelok dan lebih tampak melanjutkan sebuah sistem yang berantakan tersebut. Mengejar pertumbuhan bisnis yang cepat, Medium terjebak oleh konten iklan sehingga muncul pertanyaan besar, bagaimana mengarahkan bisnis untuk konten berkualitas.

Untuk itu, Medium memutuskan reorganisasi dengan memangkas 50 pekerjaan.

Setelah PHK 50 Orang, Medium Kembali ke Jalurnya

Kali ini, kisah berlanjut dari postingan Ev Williams di Medium pada 5 April 2018. Dia menceritakan, Medium yang mulai menawarkan fasilitas berlangganan lewat Medium Membership sejak 2017.

Di sini, Medium tidak ingin menyamakan fasilitas berlangganannya dengan milik Washington Post atau The New Yorker, termasuk Sportify atau Netflix.

Ev menekankan kalau mereka menjual konten berbasis berlangganan sehingga bisa dibilanng jualan platformnya dalam bentuk bundle yang sangat besar.

Di dalam Medium ini pun dipenuhi para pengguna yang memiliki latar belakang bermacam-macam, dari professor, praktisi hukum, pebisnis, dan lainnya.

Lewat platform itu, Medium menjadikan cerita yang dibuat penggunanya sebagai investasi. Soalnya, Medium meluncurkan program Medium Partner untuk menjaring para pengguna berkualitas yang memiliki ide tulisan yang luar biasa.

Selain itu, Medium pun melakukan personalisasi untuk memberikan konten yang relevan ke setiap pembacanya.

Di sisi lain, Ev menekankan mereka tidak akan menjual data yang dimiliki dari para penggunanya. Namun, mereka akan menggunakan data itu untuk kepentingan penggunanya agar mendapatkan konten yang sesuai.

Itulah cerita Ev pada April 2018 tentang model bisnis Medium.

Era Konten Media Daring yang Berbayar

Ngomong-ngomong berlangganan, pasar di Indonesia masih dinilai tidak siap dalam menerima era konten berbayar. Mereka masih menganggap berita-berita daring layak diberikan secara cuma-cuma.

Bahkan, ketika media tempat saya bekerja mulai menerapkan premium content yang masih gratis, cukup daftar, sudah ada yang menyebut “antek kapitalis dan semacamnya.” Padahal, dalam membuat konten berita yang berkualitas membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Jika di masa lalu, ketika koran masih berada di masa emasnya, harga jual per koran mungkin sudah bisa menutupi biaya operasional sehingga pemberitaan tidak terpengaruh iklan. Meskipun begitu, itu tidak terjadi di semua media, hanya sebuah analisis sederhana ketika biaya cetak koran belum setinggi saat ini.

Setidaknya, pendapatan dari jual koran setiap harinya bisa nutup biaya operasional gaji karyawan. Pendapatan dari iklan pun menjadi bonus atau modal untuk perusahaan ekspansi.

Nah, di masa ini konten berita daring bertebaran cukup banyak demi trafik, tetapi semua itu tidak ada harganya. Padahal, biaya produksi seperti, gaji wartawan, editor, dan biaya operasional lainnya terus berjalan.

Alhasil, iklan menjadi andalan satu-satunya pendapatan. Hal itu yang merusak sistem jurnalistik di era disrupsi teknologi.

Jika media massa daring sudah mampu mencetak pendapatan via konten berlangganan atau konten satuan, seharusnya mereka tidak lagi berharap mendapatkan pengiklan. Dengan asumsi, pendapatan dari biaya berlangganan itu sudah mampu menutupi biaya operasional secara keseluruhan.

Alhasil, iklan hanya bonus pendapatan sehingga para pengiklan tidak bisa bertindak seenak jidatnya. Konten yang dihasilkan pun lebih berkualitas, dan mungkin hari pers nasional layak untuk diberi selamat, meski itu produk orde baru.

Surya

View Comments

  • perlu jurnalistik yang tak menyebarkan hoax hanya semata rating , perlu yang memberikan bacaan sehat yang bermanfaat

Recent Posts

Piala Thomas dan Uber 1994, Kenangan Manis Arbi dan Mia

Piala Thomas dan Uber 1994 menjadi kenangan indah bulu tangkis Indonesia. Setelah puasa gelar selama…

10 jam ago

Saham BBCA, Bisa Cuan Segunung Uang Jika Beli Sejak IPO

Saham BBCA menjadi salah satu pilihan saham yang menarik, tetapi nilainya sangat mahal. Padahal, saat…

4 hari ago

Perang Minyak Memanas, Kini Meksiko Siap Memberontak

Perang minyak kian memanas di tengah pandemi Covid-19 yang semakin menggila. Kini, bukan sekadar Arab…

1 minggu ago

Zoom Berikan Cuan Hingga US$3 Miliar kepada Pemilik Hutchinson

Zoom menjadi platform yang menonjol di tengah pandemi Covid-19. Seruan untuk kerja dan sekolah dari…

1 minggu ago

Olimpiade 1992, Kisah Indah Bulu Tangkis Indonesia di Barcelona

Olimpiade 1992, musim panas di Barcelona, Spanyol, menjadi kenangan indah bagi Indonesia yang tak terlupakan…

2 minggu ago

Darurat Sipil dan Strategi Atasi Penyebaran Covid-19

Darurat sipil menjadi topik hangat pada Selasa (31/03/2020). Istilah itu mencuat setelah Presiden Joko Widodo…

3 minggu ago

This website uses cookies.