Krisis ekonomi pertama di dunia saat periode kuno yang telah tercatat, terjadi di Yunani. Negara Eropa Selatan punya kecenderungan sulit keuangan dibandingkan dengan utara, termasuk Yunani. Lalu, apa yang menyebabkan itu semua terjadi?
Krisis Ekonomi Pertama di Dunia Berawal dari Dionysius the Elder of Syracuse
Dionysius the Elder of Syracuse adalah seorang tirani pada masa Yunani Kuno, tepatnya 400 sebelum masehi. Tirani adalah aristokrat atau sub sosial kelas tertinggi di masyarakat, yang bertindak sebagai penguasa tunggal pada masa Yunani Kuno. Biasanya, seorang Tirani menjadi pemimpin suatu wilayah dengan penuh kepentingan pribadi.
Dionysius bisa dibilang orang yang sangat ambisius. Dia mengelola daerah koloni Geek di Pulau Sisilia, Italia, saat ini. Dionysius gemar berperang untuk mengambil area daerah lain.
Dia mendanai seluruh aktivitas perang dengan uang pinjaman alias utang. Apalagi, Dionysius melakukan aksi bakar uang dengan menggaji para tentara sebanyak dua kali lipat untuk memperkuat kendali politik di Yunani Kuno.
Bukan cuma gaji para tentara yang naik dua kali lipat. Dia juga membangun armada angkatan laut. Dionysius juga terkenal dengan boros untuk kepentingan gaya hidupnya.
Menurut catatan The Wall Street Journal pada 28 September 2011, Dionysius mendapatkan utang dari rakyatnya dalam jumlah besar. Mungkin, kalau saat ini konsepnya menggunakan surat utang negara.
Rakyat yang memberikan pinjaman sangat berharap uangnya bisa dikembalikan dong. Syukur-syukur ada bunga pinjamannya.
Namun, Yunani yang dipimpin oleh Dionysius punya masalah soal keuangan, yakni bagaimana cara membayar utangnya. Akhirnya, Dionysius melakukan segala cara seperti, pajak yang dulu semacam upeti, penyitaan, penjarahan, dan sebagainya.
Namun, semua yang dilakukannya belum mampu untuk membayar utang dan juga memenuhi kebutuhan hidupnya. Di sisi lain, mau melakukan refinancing alias gali lubang tutup lubang juga tidak bisa. Soalnya, mayoritas orang sudah tidak percaya lagi untuk meminjamkan uang kepada Dionysius.
Di tengah situasi yang kepepet, Dionysius the Elder memiliki ide cemerlang. Dia menarik semua drachma, koin perak kuno Yunani. Lalu, dia melakukan stamp atau mencap setiap koin satu drachma menjadi senilai dua drachma.
Sekilas, hal yang dilakukan oleh Dionysius ini mirip denngan kebijakan sanering atau pemotongan nilai mata uang yang pernah dilakukan Indonesia. Namun, beberapa opini menilai kebijakan ini lebih seperti kebijakan quantitative easing bank sentral saat ini atau penambahan uang beredar.
Toh, akhirnya Dionysius membayar seluruh utangnya dengan drachma yang nominalnya sudah dipecah menjadi dua.
Efek Ide Cemerlang Dionysius Memecah Drachma menjadi Dua
Secara kasat mata, seorang pemimpin yang memecah uang menjadi dua seperti brilian. Dengan begitu, dia bisa meningkatkan jumlah kekayaan negaranya. Ibaratnya, kebijakan itu sebagai salah satu upaya mencetak uang baru di pasar.
Yaps, faktanya jumlah drachma yang beredar memang bertambah, tetapi tidak nilainya. Seperti hukum dasar ekonomi, ketika supply meningkat, harga bisa turun. Begitu juga dengan nilai drachma yang turun.
Selain itu, keputusan Dionysius memecah drachma menjadi dua adalah membuat nilainya sama dengan koin timah. Masyarakat yang menggunakannya pun bersikeras kalau nilai koin timahnya sudah setara dengan drachma perak. Artinya, jumlah uang beredar makin banyak.
Di sisi lain, Dionysius berpikir jika menerima transaksi dengan koin timah, artinya kekayaan dari nominal uang memang meningkat, tapi berujung kenaikan inflasi yang sangat tinggi.
Kenapa kalau uang beredar sangat banyak bisa menyebabkan inflasi yang tinggi?
Inflasi adalah kenaikan harga barang yang berujung turunnya nilai mata uang.
Jika seluruh masyarakat memiliki uang, artinya bisa mendongkrak permintaan barang dan jasa. Dengan meningkatkan permintaan barang dan jasa, harganya juga bakal naik. Sesuai hukum dasar ekonomi, permintaan tinggi, supply normal, harga naik.
Artinya, ketika harga barang dan jasa mengalami kenaikan, nilai uang yang dimiliki oleh masyarakat juga turun. Dengan begitu, semakin tinggi inflasi, semakin rendah pula nilai mata uang.
Pelajaran dari Dionysius dan Takdir Yunani atas Utang
Beberapa kali dalam satu dekade 2010-2020 Yunani terlilit utang. Terakhir, pada medio 2015-an Yunani terancam bangkrut. International Monetary Fund (IMF) dijadikan kambing hitam terkait Negeri Para Dewa yang terancam bangkrut.
Di sisi lain, kondisi Yunani pada 2017 memang miris banget. Bayangkan, masyarakat yang mau ambil uang di ATM pun berebut. Soalnya, bank membatasi penarikan uang tunai setiap harinya.
Namun, yang terjadi dari Yunani terkait utangnya itu bisa jadi ada akibat dari dosa Dionysius.
Dikutip dari artikel Historytoday.com pada Agustus 2011, ekonomi Harvard Charles Bullock menerbitkan esai menarik tentang eksperimen moneter Dionysius. Eksperimen itu antara lain memecah nilai satu drachma menjadi dua drachma.
Bisa dibilang, Yunani memiliki catatan kredit yang sangat buruk sejak masa kuno hingga modern. Masa terburuk utang Yunani terjadi di era Dionysius. Lalu, Negeri Para Dewa juga mencatat kegagalan pembayaran utang pada era awal modernya di periode 1843, 1860, dan 1893.
Bullock secara tegas bilang, jika para pemimpin Eropa mengetahui lebih dalam tentang rekam jejak utang Yunani. Mungkin mereka juga tidak akan rela mengajak Yunani bergabung ke zona Euro.
Alasan terbesar Yunani sering terjerat utang adalah karena mereka secara individu maupun negara memang tidak punya banyak uang. Bahkan, secara keseluruhan negara Eropa Selatan seperti, Spanyol, Portugal, Italia, dan Yunani, relatif terbelakang soal ekonomi dibandingkan negara utara Eropa.
Kalau melihat gambaran Eropa, sering terbesit kalau area itu adalah salah satu yang modern. Apalagi, perkembangan pertanian dan munculnya kelas menengah yang makmur telah mendorong revolusi industri hampir di seluruh Eropa.
Justru, Yunani, negeri Aristoteles dan para filsuf lainnya yang terpotong oleh pegunungan Carpathian malah sangat jauh dari perkembangan sains dan budaya Eropa arus utama.
Alasan Yunani Tetap Diterima di Zona Eropa
Keberadaan Yunani di zona Eropa seolah menyetarakan posisi mereka bersama negara kaya seperti Jerman, Austria, Belanda, dan Prancis. Padahal, kondisi Yunani justru sebaliknya [seperti kekurangan uang].
Lalu, kenapa Yunani masih diterima di Zona Eropa?
Faktanya semua itu berawal dari komitmen Jerman dan Prancis kalau tahap selanjutnya dari zona Eropa adalah komunitas negara di Eropa. Dalam perjanjian Roma pada 1957, seluruh komunitas batu bara, baja Eropa, sampai serikat moneter sepakat untuk menyatukan Prancis dan Jerman, serta negara Eropa lainnya dalam satu zona.
Di sisi lain, Jerman, khususnya Bundesbank, sangat paham kalau sebaiknya Yunani tidak gabung dengan Euro. Namun, secara politik Bundesbank tidak mungkin memberi tahu fakta tersebut. Soalnya, bisa merusak rencana besar proyek zona Eropa, cita-cita yang diidamkan seluruh politisi generasi saat itu.
Lalu, bagaimana Yunani menanggapi keberadaan zona Eropa?
Bak seperti elit keuangan dan politik lainnya di Eropa Selatan, mereka menyambut baik Zona Eropa, Soalnya, menilai skema itu menjadi pendorong mereka untuk melakukan modernisasi.
Apalagi, dengan mengganti drachma, mata uang kuno mereka, dengan euro, mata uang zona Eropa, menjadi tindakan transformasi yang bisa mengubah Yunani menjadi negara dengan ekonomi pasar bebas yang dinamis.
Namun, semua itu hanya ekspektasi, seperti ekspektasi Dionysius yang gagal membuat Yunani kaya meski sudah memecah nilai drachma. Begitu juga mata uang euro tidak mengubah nasib Yunani sebagai negara yang tidak punya uang, tapi utangnya selangit.
Dionysius si Pria Beruntung, Tirani Yunani yang Gila Utang
Di luar kebijakan aneh Dionysius pada masa itu, tirani Yunani itu dinilai menjadi sosok yang beruntung. Soalnya, sebagai tiran, dia bisa melakukan apapun yang disukainya.
Lalu, Dionysius juga tidak meminjam uang dari suku lain. Andaikan, dia utang ke suku pedalaman yang barbar dan siap perang jika utangnya tidak dibayar. Namun, bisa dibilang kekacauan inflasi pada era Dionysius menjadi salah satu krisis ekonomi pertama masa kuno yang tercatat.
Referensi:
An Ancient Greek Debt Solution, wsj.com 28 September 2011, diakses pada 10 Januari 2022
The Truth about Inflation, Paul Donovan, cetakan 2015, diakses pada 10 Januari 2022
Yuk beri support blog saya agar bisa terus membuat konten berkualitas yang semoga bisa berguna untuk banyak orang dengan klik tombol di bawah ini.