Airy hentikan operasional akibat terdampak Covid-19. Lalu, bagaimana nasib startup hotel virtual operator lainnya ya?
Saya ingat, pertama kali mendengar nama Airy ketika disarankan mencari tempat penginapan yang murah meriah, tetapi bagus. Satu kali saya pernah menginap di sebuah rumah besar yang disulap jadi penginapan.
Memang, isi kamarnya enggak bisa dibandingkan dengan hotel kelas atas, namanya juga penginapan budget. Bahkan, saya tidak mendapatkan sarapan pagi karena memang harganya murah sekali, Rp100.000 semalam.
BACA JUGA: Waralaba Makanan Cepat Saji Terdampak Covid-19, Bagaimana Nasib Sahamnya Ya?
Namun, hotel mitra Airy itu mengambil strategi area penginapannya dibuat instagram-able sehingga bisa menjadi pemasaran gratis buat mereka. Terutama, buat pengunjung yang banci tampil di media sosial.
Airy Rooms memiliki model bisnis Virtual Hotel Operator, yakni bermitra dengan pemilik hotel, serta membantu penjualan kamar hotelnya.
Para startup virtual hotel operator akan mendapatkan keuntungan dari komisi pengelolaan kamar, serta penjualan langsung ke konsumen.
Persaingan di sektor virtual hotel operator tak cuma Airy, tetapi ada Oyo, RedDoorz, dan AirBnB. Artinya, virtual hotel operator menjadi model bisnis baru di dekade setelah 2010-an.
Sayangnya, model bisnis virtual hotel operator ini tak mampu bertahan di tengah pandemi Covid-19. Puncaknya, ketika Airy hentikan operasional secara resmi per 31 Mei 2020.
Dikutip dari Tech in Asia, Airy mengirimkan surat elektronik ke mitra propertinya untuk mengakhiri perjanjian kerja sama karena perusahaan memutuskan setop kegiatan operasional secara permanen.
“Kami telah melakukan upaya terbaik untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19. Namun, mengingat penurunan teknis yang signifikan dan pengurangan sumber daya manusia yang kami miliki saat ini, kami telah memutuskan untuk menghentikan kegiatan bisnis secara permanen, ujar perusahaan itu dalam surat elektroniknya.
Airy Rooms didirikan oleh Danny Handoko bersama Samsu Sempena di pertengahan 2015. Keduanya adalah eks karyawan Traveloka.
Danny Handoko punya pengalaman cukup panjang di berbagai perusahaan. Karir pertamanya adalah menjadi System Analyst di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo pada 2011. Namun, karir pertamanya tidak berumur panjang, kurang dari setahun, dia pindah ke perusahaan multinasional PT Unilever Indonesia Tbk.
Di emiten berkode UNVR itu, Danny berada di divisi supply chain. Lagi-lagi kurang dari setahun, Danny pindah ke Danone sebagai HR Team Member.
Tak berlama-lama, kurang dari setahun, Danny kembali pindah ke The Boston Consulting Group, sebagai Project Team Member. Menjadi karier terlamanya, setahun di Boston Consulting, dia mulai menjajaki karir di perusahaan rintisan.
Danny pindah ke Mapan sebagai Business Intelligence selama setahun. Lalu, setelah itu dia mendarat di Traveloka sebagai Business Development selama setahun.
Dari Traveloka itu, dia mulai mendirikan Airy Rooms. Danny pun didukung oleh Samsu Sempena yang memiliki keahlian di bidang teknologi. Samsu didapuk sebagai Direktur Teknologi Airy Rooms.
Jejak karier Samsu pun tidak main-main. Dia mengawali karier di Quiros Network sebagai Software Enggineer. Setahun di sana, dia pindah ke PT eBdesk Indonesia sebagai Researcher.
Hanya bertahan 5 bulan di eBdesk Indonesia, Samsu langsung menjajal unikorn Traveloka. Di sana, dia berkarier selama 3 tahun 5 bulan. Selama tiga setengah tahun itu, dia menjadi Engineering Lead dan Head of Product, Commercem Traveloka.
Toh, Airy pun akhirnya berhubungan dengan Traveloka juga. Pasalnya, salah satu jaringan penjualan Airy adalah melalui online travel agent seperti, Traveloka.
Sayangnya, nama Airy kurang terdengar terkait masalah pendanaan. Mungkin, ada angel investor di belakangnya, atau malah Traveloka itu sendiri yang menjadi investor startup virtual hotel operator tersebut.
Hal itu diperkuat setelah Danny yang menjabat sebagai CEO digantikan oleh Louis Alfonso Kodoati, Eks Country Market Manager Traveloka di Vietnam.
Artinya, tangan-tangan Traveloka sampai investor unikorn Indonesia itu ada di Airy. Sayangnya, perubahan posisi CEO yang disebut untuk membuat bisnis makin matang malah berujung Airy hentikan operasional permanen pada 31 Mei 2020.
Beberapa startup virtual hotel operator lainnya seperti, Oyo Hotel, RedDoorz, dan AirBnB juga merasakan tekanan yang sama.
OYO Hotel yang 46% sahamnya dimiliki oleh SoftBank Grup itu tengah berencana memangkas kerja sama dengan para mitra yang merugi. Hal itu dilakukan untuk meredam dampak dari pandemi Covid-19.
Namun, OYO masih enggan mengungkapkan jumlah mitra hotel yang diakhiri. Salah satu indikator mitra hotel yang akan diberhentikan adalah yang tidak mampu meraih pendapatan US$100.000 dalam setahun.
Dikutip dari Reuters, Pendiri OYO Ritesh Agarwal mengatakan pandemi Covid-19 membuat pendapatan dan tingkat hunian mitranya turun sekitar 50% sampai 60%.
“Dengan kondisi itu, wajar bagi kami untuk bersiap menghadapi situasi terburuk,” ujarnya.
Saat ini, OYO Hotel mash memiliki arus kas US$1 miliar. Untuk menjaga arus kas agar tetap sehat, OYO akan melakukan efisiensi agar biaya operasional bulanan bisa terpangkas setengahnya.
Dengan berbagai restrukturisasi mitra hingga biaya operasional lainnya seperti, gaji pegawai, OYO memperkirakan biaya bulanan pada Juni 2020 menjadi US$25 juta dibandingkan dengan US$40 juta pada periode sebelumnya.
Sepanjang Januari-Maret 2020, OYO disebut sudah memangkas 5.000 karyawan di China dan 25.000 karyawan di India.
Sebelumnya, OYO melakukan ekspansi besar-besaran ke Eropa, Asia Tenggara, dan Amerika Serikat. Ekspansi itu pun membuat OYO mencatatkan kerugian hingga US$335 juta pada tahun lalu.
Namun, pendanaan OYO mulai seret dari Softbank setelah kasus rencana penawaran perdana WeWork. Softbank kini lebih memperketat proses pendanaan dan mencari opsi yang paling cepat untuk mendapatkan keuntungan.
Mencegah ikut menjadi startup yang mulai tumbang akibat Covid-19, RedDoorz menyiapkan strategi untuk bisa bertahan dengan asumsi tanpa pendapatan hingga 15 bulan ke depan.
Pendiri dan CEO RedDoorz Amit Saberwal mengatakan dirinya fokus untuk bisa bertahan dan mempersiapkan diri untuk mendulang untung ketika semua kembali normal.
“Di tengah Covid-19 yang memberikan dampak besar ke sektor perhotelan. Saya yakinkan perusahaan akan tetap didanai secara layak hingga 2022 dan tetap baik-baik saja untuk saat ini,” ujarnya.
Singapore Business Times menyebutkan RedDoorz sudah memberhentikan 50 karyawannya di Indonesia pada Februari 2020. Pemberhentian itu dikaitkan dengan penilaian tahunan.
Jumlah pemangkasan karyawan itu setara dengan 8% dari total 600 pekerjanya di Indonesia. Adapun, mayoritas operasional RedDoorz memang ada di Indonesia, sedangkan sisanya di Singapura, Filipina, Vietnam, dan Thailand.
Sebenarnya, RedDoorz tengah memiliki misi untuk menuju profitabilitas dan bertujuan mencapai status unikorn pada 2022.
Secara keseluruhan, RedDoorz sudah menghimpun dana senilai US$140 juta. Dua pendanaan terakhir pada 2019, yakni seri B senilai US$45 juta dan seri C senilai US$70 juta.
Beberapa investor yang masuk memberikan pendanaan ke RedDoorz antara lain, Mirae Asset-Naver Growth Fund Korea Selatan dan Rakuten.
AirBnB Inc. memangkas 25% karyawannya karena pandemi Covid-19 menghantam sektor pariwisata, termasuk perhotelan.
CEO AirBnB Brian Chesky mengakui memangkas 1.900 karyawannya di seluruh dunia pada 11 Mei 2020.
“Kami akan berupaya tetap hidup melalui krisis yang paling mengerikan ini, yakni saat perjalanan lintas negara terhenti,” ujarnya seperti dikutip dari Bloomberg.
Chesky pun mengakui bisnis AirBnB sangat terpukul. Pendapatan startup asal AS itu diprediksi terpangkas setengahnya dibandingkan dengan 2019.
Namun, dirinya masih optimistis kalau keberadaan pandemi Covid-19 tidak akan merusak rencana jangka panjang startup asal San Fransisco tersebut.
Chesky bertaruh para wisataan akan memilih opsi liburan yang dekat dengan rumah, lebih aman, dan lebih terjangkau.
“Krisis [Pandemi Covid-19] ini bukannya menekan kami, tetapi mempertajam fokus kami untuk mengingatkan tentang akar bisnis kami,” ujarnya.
Sebenarnya, AirBnB berencana melantai di bursa pada tahun ini. Startup yang memiliki valuasi US$18 miliar itu telah mengumpulkan pendanaan sekitar US$2 miliar dan siap menjadi pemain baru yang mencolok di bursa pada tahun ini.
Untuk memuluskan rencana IPO itu, AirBnB telah mencatatkan pengeluaran lebih dari US$5 miliar demi mendongkrak pendapatan sebelum melantai di bursa.
Namun, pandemi Covid-19 ini pasti bakal membuat rencana AirBnB untuk IPO bisa terhambat atau terganggu.
Kira-kira kapan pandemi ini selesai ya? apakah akan ada Airy hentikan operasional selanjutnya?
Saham IPO (initial public offering) kerap memikat hati para investor institusi maupun ritel. Potensi keuntungan…
Vaksin anak di tengah pandemi memang sangat menantang. Sebagai orang tua, kita pasti memiliki rasa…
Investasi saham jangka panjang menjadi pilihan agar tidak dibuat panik oleh fluktuasi pasar. Apalagi, dalam…
Sukuk Ritel baru akan diterbitkan pemerintah Indonesia. Sukuk Ritel adalah salah satu instrumen investasi berbentu…
Anak usaha KLBF bakal melantai di BEI dan diprediksi bisa menjadi salah satu initial public…
DP 0 persen untuk kendaraan ramah lingkungan direspons berbeda oleh dua saham otomotif di BEI,…
This website uses cookies.
View Comments
sedih meliahtnay banyak usaha yg harus tutup
Semoga cepet pulih semuanya, biar ekonomi juga lancar, Amin