Saham maskapai penerbangan tengah jadi obrolan hangat setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menilai langkah Investor Kawakan Warren Buffet melepas saham sektor itu adalah sebuah kesalahan besar. Namun, apakah benar, Warren Buffet melakukan kesalahan fatal ketika melepas saham penerbangan?
Di negeri paman saham, harga saham maskapai penerbangan sedang melambung tinggi sejak awal bulan ini. Pada 5 Juni 2020, harga saham American Airlines naik 11,18%, sedangkan saham Delta dan United Airlines naik 5,5% dan 8,45%. Kenaikan harga saham maskapai penerbangan itu selaras dengan rencana terbang dengan total kapasitas 55% untuk rute domestik.
Selaras dengan kondisi di Amerika Serikat (AS), harga saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. juga melejit 16,8% menjadi Rp278 per saham sepanjang bulan ini. Beberapa yang kemungkinan mendongkrak harga saham Garuda Indonesia adalah pelonggaran PSBB dan persiapan Indonesia untuk kenormalan baru.
Semua kondisi itu bisa membuat Garuda Indonesia bisa kembali beroperasi dan mendapatkan penumpang. Ditambah, emiten berkode GIAA itu juga mendapatkan restu perpanjangan tenor global sukuknya senilai US$500 juta.
BACA JUGA: Sosok Penolak Tawaran Softbank ini Kini Punya Kekayaan US$990 juta
Dengan begitu, apakah langkah yang tepat untuk masuk ke saham maskapai penerbangan? Berikut ini alasan Warren Buffet memilih jalan lepas saham sektor tersebut.
Seperti dikutip dari Forbes, Buffet mengakui keputusan membeli saham maskapai penerbangan adalah sebuah kesalahan. Kekayaan Berkshire pun turun karena dirinya mengambil posisi beli saham maskapai penerbangan tersebut.
Buffet memutuskan beli 4 saham maskapai penerbangan senilai US$10 miliar di empat emiten penerbangan, yakni Delta, American, United, dan Southwest pada 2017.
Jika Donald Trump meledek Buffet salah langkah ketika menjual saham maskapai penerbangan. Mungkin sang presiden itu belum mengenal Buffet lebih akrab. Toh, Buffet bukan tipe trader yang mengambil keuntungan jangka pendek, tetapi melihat prospek jangka panjang.
Buffet menilai dua sampai tiga tahun dari sekarang mungkin hanya sebagian orang yang berpergian dengan pesawat. Jumlahnya bisa turun drastis dibandingkan dengan beberapa tahun terakhir.
“Bisnis maskapai penerbangan ini memiliki masalah besar jika okupansinya tidak kembali menjadi 70%-80%. Soalnya, biaya perawatan pesawat tidak hilang begitu saja ketika okupansi penumpang rendah,” ujarnya.
Forbes pun mengungkapkan tentang saham-saham maskapai penerbangan yang dimiliki oleh Buffet.
Pertama, American Airlines memiliki utang jangka panjang tertinggi di sektor itu senilai US$34 miliar. Saat ini, American Airlines tengah berupaya melakukan efisiensi dengan melakukan PHK dan mengurangi rute penerbangan.
Di sisi lain, Delta dan United juga memiliki rekam jejak utang yang cukup besar, meski tidak sebesar American. Delta dan United disebut memiliki utang dengan kisaran US$20 miliar.
Saham maskapai yang memiliki neraca keuangan paling kokoh milik Buffet adalah Southwest. Perusahaan itu mencatatkan pembagian dividen kuartalan berturut-turut beberapa waktu lalu.
Namun, kini nasib Southwest pun tidak sebagus itu. Setelah mengambil US$3,3 miliar untuk perlindungan gaji, Southwest tidak bisa membayar dividen hingga September 2021. Bahkan, maskapai itu diprediksi tidak bisa mencatatkan untung hingga 2022.
Semua alasan itu membuat keputusan Buffet melepas semua saham itu cukup logis. Sektor penerbangan menjadi salah satu yang paling terdampak langsung atas pandemi Covid-19 ini.
Saham Garuda Indonesia memang lagi menanjak. Apalagi, perseroan telah sepakat dengan 90% pemegang sukuk global senilai US$500 juta terkait jatuh tempo pada 2 Juni 2020.
Namun, secara Bisnis, perusahaan maskapai penerbangan memang sangat menantang. Di tengah pandemi ini, banyak maskapai penerbangan yang terlilit utang.
Misalnya, Garuda Indonesia memiliki utang bank jatuh tempo senilai US$480,13 juta sepanjang semester I/2020. Dalam laporan GIAA ke BEI, perseroan mencatat ada US$1,06 miliar kewajiban yang terganggu akibat pandemi Covid-19. Lalu, pada semester II/2020, GIAA juga memiliki utang jangka pendek senilai US$376,76 juta.
Sampai akhir 2019, Garuda Indonesia memiliki arus kas senilai US$513,1 juta. Namun, dengan operasional yang menurun drastis sepanjang 2020, Garuda Indonesia harus mencari akal agar tetap bisa bernafas.
Salah satunya, perseroan melakukan efisiensi dengan melakukan PHK terhadap 287 karyawannya dan merumahkan 826 karyawannya. Tak hanya itu, 7.184 karyawan juga mendapatkan pemotongan gaji dan sebagainya.
Di sisi lain, Garuda mendapatkan nafas dari saudara sesama plat merah, yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. pada awal Mei 2020 lewat pinjaman senilai US$50 juta. Lalu, anak usaha perseroan mendapatkan penangguhan jaminan impor dengan ketentuan kredit modal kerja impor senilai Rp2 triliun.
Kalau dari segi kinerja keuangan 2019, Garuda Indonesia bisa dibilang salah satu maskapai dengan kinerja cukup kokoh sepanjang tahun lalu.
Perseroan mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 6,91% menjadi US$3,77 miliar dibandingkan dengan US$3,52 miliar pada 2018. Lalu, perseroan pun akhirnya mendulang laba bersih US$6,98 juta dibandingkan dengan rugi bersih US$231,15 juta pada 2018.
Pandemi Covid-19 benar-benar menggerus bisnis Garuda Indonesia dan maskapai penerbangan lainnya. Selain pembatasan operasional, pendapatan Garuda Indonesia kian tergerus setelah ibadah haji 2020 ditiadakan.
Dengan ditiadakannya ibadah haji, perseroan berpotensi kehilangan 10% pendapatan. Namun, Garuda Indonesia tidak menyerah, mereka mencari potensi pendapatan lainnya.
Garuda Indonesia Group pun meluncurkan aplikasi KirimAja melalui anak usahanya PT Aerojasa Cargo. Aplikasi itu melayani pengiriman barang ke sejumlah destinasi yang dilayani Garuda Indoensia maupun Citilink Indonesia. Tak hanya itu, perseroan juga menyediakan jasa pengiriman antar kota di Jabodetabek dengan dukungan Aerojasa Cargo.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan pandemi Covid-19 menuntut perseroan untuk semakin adaptif dan kreatif mencari peluang bisnis. Salah satunya, laynan logistik KirimAja yang memberikan layanan pengiriman barang melalui aplikasi digital.
Perkembangan industri e-Commerce membuat perseroan menjajal bisnis logistik pengiriman barang tersebut. Harapannya, layanan itu bisa menjawab kebutuhan para UMKM dan bisnis daring lainnya terkait pengiriman barang.
Sebelum pandemi Covid-19, Garuda Indonesia secara konsolidasi pada tahun lalu sudah mencatatkan pendapatan dari kargo dan dokumen senilai US$326,93 juta. Kontribusi pendapatan dari kargo dan dokumen itu adalah yang terbesar kedua setelah penumpang.
Artinya, mungkin saja Garuda Indonesia bisa mengembangkan bisnis kargo dan dokumennya di tengah pandemi Covid-19. Namun, belum tentu perkembangan bisnis logistik itu bisa menutup penurunan yang terjadi di segmen utamanya, yakni penerbangan komersial.
Jika dilihat dari valuasi price to earning ratio (PER) Garuda Indonesia bisa dibilang cukup tinggi, yakni 75,67 kali. Namun, dari sisi price to book value ratio (PBVR) bisa dibilang cukup murah cuma 0,76 kali.
Lalu, apakah sebaiknya kita masuk ke saham GIAA atau tidak. Secara pribadi dengan disclaimer, saya menyarankan tidak masuk ke saham itu jika ingin jangka menengah panjang.
Alasannya, bisnis maskapai penerbangan itu bisa dibilang cukup labil. Penyebabnya, biaya operasional itu naik turun sesuai dengan harga avtur. Dengan biaya operasional itu, pendapatan maskapai pun cukup labil karena jumlah penumpang yang naik turun juga.
Alhasil, cukup sering kita dengar kondisi keuangan maskapai yang merugi seperti, Malaysia Airlines dan Japan Airlines. Garuda Indonesia pun beberapa kali mencatatkan rugi.
Saya pun setuju dengan langkah Buffet menghindari saham maskapai penerbangan dengan model bisnis yang penuh ketidakpastian seperti itu. Lalu, bagaimana jika membeli jangka pendek? boleh saja asal siap-siap nyangkut jangka panjang alias auto jadi investor.
Sukuk Ritel baru akan diterbitkan pemerintah Indonesia. Sukuk Ritel adalah salah satu instrumen investasi berbentu…
Anak usaha KLBF bakal melantai di BEI dan diprediksi bisa menjadi salah satu initial public…
DP 0 persen untuk kendaraan ramah lingkungan direspons berbeda oleh dua saham otomotif di BEI,…
Army harus berhati-hati main media sosial karena BigHit, agensi BTS, mau IPO. Ini jadi bahasan…
Lo Kheng Hong mungkin punya keberuntungan lebih di saham yang punya afiliasi dengan Soeharto. Teranyar,…
Saham TLKM masih bertahan di kisaran Rp3.000 per saham, meski kinerja kuartal II/2020 mencatatkan penurunan.…
This website uses cookies.
View Comments
Wah, padahal lagi ngincar saham Garuda Indonesia. Tahan dulu, apa ya?