Saham Blue Chip yang terus menjadi olok-olok menimbulkan pertanyaan panjang, apakah value investing sudah mati atau sudah terjadi dinamika di pasar saham dari old economy ke new economy. Namun, gue punya satu cocoklogi yang enggak tahu benar atau salah sih.
Gue melihat dari 14 saham dengan market cap terbesar, bisa dibilang hanya 10 yang merupakan pemain lama. Lalu, bagaimana nasib ke-10 saham big caps pemain lama tersebut?
Hasilnya, dari 10 big caps yang bisa dibilang pemain lama, hanya 2 yang mencatatkan kenaikan harga sepanjang tahun ini. Kedua saham big caps yang naik harga itu antara lain, PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. (TPIA) naik 7,24 persen dan PT Charoen Phokphand Indonesia Tbk. (CPIN) naik 1,54 persen. Sisanya, seperti BBCA, BBRI, BMRI, ASII, TLKM, UNVR, HMSP, dan ICBP merah merona.
BACA JUGA: Saham MPPA Si Pesakitan yang Beruntung
Namun, kenaikan harga saham big caps jadul ini juga kalah jauh dibandingkan big caps kekinian, yakni PT Bank Jago Tbk. (ARTO) naik 314 persen, PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK) 71,34 persen, dan yang paling sensasional adalah PT DCI Indonesia Tbk. yang baru IPO langsung melejit 13.947 persen menjadi Rp59.000 per saham sampai disuspensi BEI hingga saat ini.
Lalu, melihat hal itu, apakah ada sinyal terjadinya peralihan era dari old economy ke new economy?
Nasib Saham Blue Chip Kini
Begini, sebenarnya tidak ada yang salah dengan fundamental saham Blue Chip, kecuali HMSP dan GGRM yang secara sektoral memang sudah tertekan ya. Bisnis rokok gerak-geriknya sudah dibatasi lewat cukai, pembatasan iklan, dan lainnya.
Lalu, kalau boleh jujur-jujuran, UNVR juga sudah terlampau mahal dengan prospek bisnis yang stagnan. Apalagi, mereka menjual bisnis spread ke KKR, spread adalah bisnis margarin salah satunya merek Blue Band. Dari sini, tren kinerja harga saham maupun keuangan UNVR menjadi kurang ciamik.
Namun, tidak untuk saham seperti BBCA, BMRI, BBRI, bahkan ASII sekalipun. Setidaknya keempat saham besar itu masih mengikuti tren perkembangan zaman, tapi kenapa harus anjlok? terutama ASII yang merupakan investor Gojek sejak valuasinya masih 5 miliar dolar. Artinya, di sini ASII siap mengeruk cuan jika GoTo jadi IPO akhir tahun ini.
Kemungkinan jawabannya adalah terjadinya peralihan transaksi investor domestik dari blue chip menjadi second liner yang berbau digital. Dengan begitu, mereka bisa jadi melakukan pelepasan saham blue chip untuk sementara untuk mulai mengoleksi saham second liner digital yang gercep.
Hasilnya, demand saham second liner meningkat sehingga pergerakan harganya liar. Bayangkan, harga saham MPPA yang fundamentalnya bisa dibilang bapuk banget, masih rugi terus-terusan dan ekuitas cuma ratusan miliar, tapi utangnya Rp2 triliun. Namun, saham itu mampu melejit hingga 1.000 persen.
Di sisi lain, harga saham blue chip terlalu banyak yang ingin melepas sehingga suka enggak suka turun. Entah itu kinerja lagi bagus, prospek cerah, tetap saja harga sahamnya turun.
Kenapa Banyak yang Lirik Saham Second Liner?
Jawabannya pasti karena ada big money yang masuk ke sana sehingga harga sahamnya atraktif. Big money bisa masuk melalui aksi akuisisi, dan sebagainya. Selain big money yang masuk karena ada transaksi, ada juga big money yang bermain dengan uangnya untuk bisa dapat keuntungan dari responsifnya aksi investor yang lebih kecil
Ketika big money masuk dan harganya naik, jelas banyak investor yang lebih kecil ikutan ingin merasakan nikmatnya cuan di sana. Hasilnya, sesuai hukum supply and demand, permintaan tinggi membuat harga saham second liner terkerek naik.
Sudah demand tinggi, kapitalisasi pasarnya juga tidak terlalu besar, hal itu bikin pergerakan harga makin atraktif. Banyak yang rela melepas blue chip demi ikut gerbong kenaikan harga saham di kasta second liner.
Artinya Value Investing Sudah Mati?
Terlalu dini kalau menyebut value investing sudah mati, kalau bahasa ekonom mungkin saat ini para big fund lagi menunggu titik ekuilibrium baru harga terendah bagi saham blue chip. Ketika momennya pas, mereka bisa jadi balik arah dan kembali memburu blue chip potensial.
Ingat di akhir tahun ketika harga saham ASII sempat kembali di atas Rp6.000-an per saham? hal itu menjadi sinyal sebenarnya ada yang menunggu saham chip biru ini jatuh ke level terendah agar cuan maksimal.
Apalagi, ada momen besar, yakni IPO GoTo yang bisa dijadikan momen untuk mengerek naik harga saham investor dari startup paling bernilai di Indonesia tersebut. Salah satu saham yang bisa digoreng adalah ASII, investor Gojek sejak 2018.
Namun, tidak bisa dipungkiri harga saham ASII tertekan karena faktor industri otomotif yang masih belum bangkit. Bahkan, insentif dari pemerintah tak mampu langsung mengangkat harga sahamnya lebih jauh.
Lalu, kenapa value investing belum mati? dari terawangan gue, saat ini semua menunggu saham yang bagus jatuh ke level yang lebih murah sambil menanti kondisi ekonomi kembali pulih dari pandemi Covid-19. Setelah semuanya kembali normal, saham-saham tradisional seperti ini bisa kembali meningkat.
Ingat, pandemi Covid-19 menjadi salah satu momentum kebangkitan saham-saham teknologi karena membuat ekosistemnya terbentuk lebih cepat. Di sisi lain, saham tradisional bakal mencoba bertahan hidup di tengah tekanan ekonomi.
Peralihan dari tradisional blue chip ke second liner teknologi bukan karena value investing, tapi mengukur risiko valuasi yang murah di tengah kondisi yang tidak pasti seperti ini. Jika semua sudah pasti, bakal banyak juga yang balik ke blue chip tradisional.
-Sekian dari orang yang nyangkut di saham blue chip haha-