Keberadaan Gofood, Grabfood, Shopeefood, dan lainnya memang benar-benar membantu konsumen maupun pedagang kuliner untuk menjajakan produknya. Namun, bulan madu antara kita dengan jasa antar makanan itu kayaknya mulai berakhir. Komisi GoFood dkk yang tinggi membuat banyak pedagang UMKM ogah menggunakan jasa tersebut. Kenapa begitu?
Potensi Bisnis Layanan Makanan untuk Penyedia Platform
Bisnis antar makanan menjadi menarik ketika GoFood menjajal bisnis tersebut pada 2015. Bisnis GoFood pun terinsipirasi dari layanan GoShop Gojek.Kala itu, banyak yang menggunakan layanan GoShop untuk nitip beli makanan.
Kesuksesan bisnis GoFood pun diikuti oleh Grab yang menggunakan langkah serupa dan melahirkan Grabfood. Di sini, konsumen dan pemilik bisnis kuliner benar-benar girang karena saat itu periode GoFood dan Grabfood masih bakar uang untuk memperebutkan pangsa pasar.
Dengan uang subsidi dari investor Gojek itu, bisnis layanan antar makanan menjadi solusi pemilik bisnis kuliner untuk memperluas pasar. Dengan biaya bagi hasil yang rendah, mereka bisa menjangkau pasar yang luas.
BACA JUGA: Bayang-bayang Bubbledotcom Pasca Pandemi
Dari sisi konsumen, kehadiran GoFood seolah solusi untuk para kaum mageran. Tinggal rebahan di rumah, banyak konsumen bisa menikmati makanan yang berjarak belasan kilo meter dari rumahnya. Belum lagi diskon yang menarik membuat biaya yang dikeluarkan malah lebih murah daripada datang langsung ke tempat.
Bahkan, saya dan beberapa teman pernah iseng beli makanan di tempat makan langsung tapi via GoFood. Tujuannya, ya karena memang lebih murah beli lewat GoFood daripada beli langsung.
Benar-benar indah kan masa itu? namun, ya itu adalah masa subsidi investor masih cair dan fokus bisnisnya masih mengembangkan pangsa pasar. Memang apa yang terjadi saat ini?
Masalah di Mulai Ketika Normalisasi Komisi
Nah, pas banget, adanya pandemi Covid-19 bikin bisnis GoFood melejit drastis. Bahkan, Gojek sempat mengklaim pendapatan GoFood naik hingga 20 kali lipat sepanjang 2020, periode awal pandemi.
Banyak masyarakat yang makin ketergantungan menggunakan GoFood karena pembatasan mobilitas. Namun, bulan madu GoFood di era pandemi Covid-19 sudah berada di ujung nadir. Soalnya, ketika mencoba normalisasi biaya komisi agar bisa positif untuk bisnisnya malah membuat seluruh pihak terkaitnya ngamuk.
Dari sisi pemilik bisnis UMKM, mereka harus bayar komisi bagi hasil 20 persen dari pesanan ditambah Rp1.000 biaya aplikasi. Lalu, dari sisi driver juga bayar komisi 20 persen dari ongkos kirim, sedangkan konsumen dikenakan biaya aplikasi sekitar Rp2.000 – Rp3.000.
Sebenarnya, langkah GoFood mengenakan skema komisi itu wajar jika ingin bisnisnya berkelanjutan. Namun, dampaknya mitra dari penjual makanan, driver, sampai konsumennya jadi merasa tercekik dan merasa ogah menggunakan jasa mereka.
Ditambah, kondisi pandemi Covid-19 yang mulai mereda membuat pemilik bisnis lebih berani fokus menjajakan untuk dine-in. Lalu, masyarakat juga lebih milih beli sendiri daripada menggunakan layanan antar makanan.
Beberapa Pemilik Bisnis Kuliner Ogah Pake GoFood dkk
Salah satu yang menarik perhatian saya adalah postingan @warpopski pada 10 Mei 2022 yang viral. Postingan itu mengkritisi layanan GoFood yang dinilai terlalu mahal untuk pebisnis UMKM seperti mereka.
Bahkan, Warpopski mengkritik GoFood dengan hanya menjual air mineral senilai Rp30.000 dengan keterangan mending beli di warung yang lain.
Warpopski pun menilai pengenaan biaya komisi itu juga berefek ke pelanggannya karena harga makanan juga menjadi lebih mahal.
Di sisi lain, ada salah satu tempat makan jejepangan langganan saya yang menyetop layanan antar makanan seperti GoFood dkk sejak April 2022. Lalu, mereka menjelaskan alasan tidak menggunakan layanan antar makan karena butuh minimal lebih dari 10 pesanan online jika ingin untung.
Dalam hitungan bisnisnya, jika pesanan online kurang dari 10, mereka bisa rugi. Mana kena pajak juga, terus harus mikir promo agar bisa laku mencapai target lebih dari 10 pesanan. Ditambah, harga jual makanannya juga jadi terkesan mahal yang berpotensi orang ogah untuk datang langsung. Akhirnya, mereka lagi bikin strategi delivery sendiri secara terbatas.
Pembelaan Pihak Gojek
Di sisi lain, pihak Gojek punya pembelaan nih. VP Corporate Affairs Food and Groceries Gojek Rosel Lavina bilang sistem komisi itu nantinya juga akan dikembalika ke mitra dalam bentuk, pengembangan platform berkelanjutan, peningkatan pelayanan, subsidi biaya pengantaran pemesanan, dan manfaat lainnya seperti program promosi.
Hal ini juga upaya GoFood untuk menciptakan ekosistem bisnis berkelanjutan. Agar seluruh ekosistem Gojek, mitra driver, dan mitra usaha terus bisa bertumbuh dan jadi andalan konsumen.
Bahkan, besaran komisi disebut sudah disesuaikan dengan manfaat yang didapat oleh mitra usaha. Salah satu buktinya, pihak Gojek merujuk ke laporan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI yang berjudul Dampak Ekosistem Gojek terhadap Perekonomian 2021.
Fokus Bisnis Mengembangkan Layanan Keuangan
Saya melihat fokus Gojek kini untuk mengembangkan bisnis layanan keuangannya. Nah, caranya adalah dengan integrasikan ke bisnis on-demandnya seperti GoFood.
Hal itu terlihat seperti ketika ingin mendapatkan diskon besar, kita diwajibkan menggunakan layanan pay later. Hal yang menyebalkan sih menurut saya ya, karena dipaksa ngutang untuk diskon.
Di luar itu, hal serupa bisa terjadi untuk mitra pebisnis kuliner. Mereka bisa mendapatkan komisi yang lebih rendah jika ambil pinjaman dari GoModal dan sebagainya. Nanti, bisa jadi ada alasan dengan dapat pinjaman GoModal, pengusaha UMKM bisa ekspansi bisnis lebih besar lagi juga. Jadi, bak seperti win win solution.
Namun, jika benar Gojek bahkan pesaingnya seperti Grab, mengambil langkah serupa, itu sangat mengkhawatirkan. Soalnya, bisa mengerek jumlah utang di sektor UMKM. Padahal, bisa dibilang utang di sektor UMKM risikonya cukup tinggi, hanya pemain berpengalaman yang mampu bertahan. Misalnya, PT Bank Danamon Tbk., PT Bank CIMB Niaga Tbk., hingga PT Bank Pundi Tbk., sekarang BPD Banten, pernah merasakan pahitnya kredit bermasalah segmen UMKM.
Alih-alih menyaingi PT Bank Rakyat Indonesia Tbk., mereka malah terjebak ngurusin kredit bermasalah selama bertahun-tahun tersebut.
Lalu, lonjakan kredit UMKM yang terlalu agresif bisa jadi pemicu krisis keuangan selanjutnya. Memang, tidak akan terjadi saat ini, tapi bisa jadi 5-10 tahun lagi.
Kalau ada yang bilang, kan mereka analisis kreditnya pakai teknologi! nah kalau gitu, kita bisa tunggu saja efek jika mereka benar-benar genjot kredit konsumsi dan UMKM ya. Apakah akan selamat karena pakai teknologi atau malah krisis keuangan gara-gara booming kredit konsumsi dan UMKM.