Bukalapak IPO lagi jadi obrolan hangat hingga menuju ke perdebatan. Ada dua perbedaan pendapat soal rencana unicorn Indonesia itu IPO di BEI, yakni menilai harganya tidak layak dan melihat masa depannya.
Apalagi, sejak Sabtu 10 Juli 2021, muncul juga pembahasan di grup Whatsapp kalau para founder dan investor Bukalapak bakal cabut setelah masa penguncian saham selesai.
Jadi, kabar beredar mengatakan kalau para investor dan founder tidak bisa begitu saja melepas sahamnya di Bukalapak setelah IPO. Mereka harus menahan tidak melakukan jual hingga 8 bulan pasca IPO.
BACA JUGA: Beli Saham IPO di Online, Eh Malah Rugi
Dari sini, ada kabar bilang kalau setelah 8 bulan bakal ada aksi jual besar-besaran. Apakah ini pasti? belum tentu toh ini rumor.
Itu hanya satu bagian dari keramaian Bukalapak saja. Cerita lebih ramainya adalah sosok yang dipuja-puja sebagai Warren Buffett Indonesia, yakni Lo Kheng Hong yang mengkritisi Bukalapak IPO dalam posisi rugi Rp1,34 triliun. Ngapain beli saham rugi begitu?
Dia pun membandingkan dengan salah satu koleksi saham miliknya, yakni PNLF yang konon kinerja jauh lebih baik dibandingkan dengan Bukalapak. Jelas, penuturan sang investor legendaris Indonesia itu menuai kontroversi di salah satu grup.
Mungkin tidak ada salahnya pak Lo melihat prospek Bukalapak dengan sudut pandang saat ini. Itu adalah caranya menilai sebuah saham, meski ada pernyataan menohok. Toh, Pak Lo membeli MBSS saat masih rugi juga, berarti tidak ada salahnya membeli saham rugi asal harganya naik terus.
Toh, tujuan dari investasi atau trading saham mencari keuntungan entah itu via capital gain atau dividen.
Terus Bagaimana dengan Bukalapak IPO?
Bukalapak IPO dengan menerbitkan 20-an miliar saham baru dengan harga di rentang Rp750 – Rp850 per saham. Artinya, target dana yang dihimpun sekitar Rp22 triliun. Angka yang besar dalam sejarah BEI, terakhir ADRO yang nilai IPOnya pun Rp12 triliun.
Namun, ada lubang besar di sini, kondisi keuangan Bukalapak masih rugi Rp1,34 triliun dengan pendapatan sebesar Rp1,35 triliun. Lalu, beban penjualan dan pemasaran bisa mencapai Rp1,55 triliun. Melihat dari angka ini saja, beberapa investor, terutama fundamentalist old economy pasti langsung geleng-geleng kepala.
Orang awam pun juga bingung, darimana si Bukalapak bisa jalan kalau begini. Kinerja rugi, beban penjualan dan pemasaran jauh lebih gede dibandingkan dengan pendapatan.
Mau Belajar Saham? Yuk Gabung VIP User Emtrade
Di sisi lain, ada beberapa pendekatan lainnya, Bukalapak ini disebut salah satu perusahaan new economy yang fokusnya adalah pertumbuhan bisnis bukan profitabilitas. Ya, profitabilitas tetap dikejar, tetapi setelah mencapai pertumbuhan bisnis yang ditargetkan.
Nah, untuk pertumbuhan bisnis ini, jelas butuh modal untuk memperbesar pangsa pasar. Untuk itu, Bukalapak memiliki biaya pemasaran dan penjualan lebih besar daripada penjualannya sendiri karena demi memperbesar pangsa pasarnya.
Meskipun begitu, pihak Bukalapak menilai mereka justru paling irit soal bakar uang lho. Iritnya aja Rp1,5 triliun setahun ya, gimana toko sebelah?
Ngakunya Bukan Sekadar Marketplace
Banyak juga yang menyangsikan Bukalapak IPO karena jumlah penggunanya kalah jauh dibandingkan dengan Tokopedia dan Shopee. Salah satu penyebabnya, tampilan marketplace Bukalapak yang dinilai kurang user friendly.
Hal itu bukan cuma ucapan 1 atau 2 orang. Gue dan beberapa temen juga merasa rada malas untuk belanja di Bukalapak, kecuali untuk nyari perbandingan harga. Lalu, entah kenapa terakhir kali masuk ke sana, setelah mereka update design websitenya, seperti makin sepi.
Memang, Bukalapak bukan penguasa marketplace nomor 1 di Indonesia. Secara gross merchant value estimasi sepanjang 2020 saja, Bukalapak ada di peringkat ke-4 di bawah Lazada, Tokopedia, dan Gojek.
Manajemen Bukalapak juga mengamini hal tersebut. Mereka memang bukan nomor satu dalam hal marketplace, tetapi bisnis Bukalapak bukan cuma marketplace lho. Saat public expose, pihak Bukalapak menilai kalau bisnisnya itu ada banyak.
Salah satunya Mitra Bukalapak, yang secara kasar gabungan dari e-Warung dengan agen PPOB, tempat lu bisa bayar listrik, air, beli pulsa, dan lainnya. Di sini, Bukalapak merasa sebagai market leader.
Ya, bisa dibilang pun begitu, kompetitor utama Bukalapak di bisnis ini adalah KIOS, emiten skala kecil di BEI. Selain itu ada Warung Pintar yang valuasinya jauh dari Bukalapak. Bisa dibilang, para pesaingnya belum memiliki ekosistem sebesar Bukalapak.
Meskipun begitu, Tokopedia juga sudah mulai menjajal mitra Tokopedia yang saat ini belum diketahui sudah lebih besar daripada Bukalapak atau tidak. Intinya, Bukalapak merasa bisa besar di bisnis tersebut.
Bukalapak Yes or No?
Jujur pribadi, gue memang tergiur mencoba masuk ke Bukalapak, meski dia bukan pemain nomor satu di marketplace bahkan di Mitra Bukalapak tersebut. Apalagi, keberadaan e-IPO membuka harapan baru bagi gue untuk bisa mendapatkan saham IPO dengan mudah.
Setelah melihat laporan keuangannya, gue enggak terlalu mempermasalahkan juga dengan posisinya yang masih rugi. Toh, itu karakter dari bisnis teknologi. Waktu SEA Group, pemilik Shopee , IPO juga masih rugi. Bahkan, kini SEA Group masih rugi juga.
Namun, catatan untuk SEA Group, secara keseluruhan mereka memang masih rugi. Namun, bisnis entertainmentnya lewat Garena sudah mencatatkan Ebitda yang positif. Artinya, mereka punya darah segar untuk menggenjot bisnis e-Commerce dan keuangannya.
Ini bisa jadi yang membedakan Bukalapak dengan SEA Group. Bukalapak bermain di segmen bisnis yang persaingan ketat dan butuh literasi keuangan dan teknologi yang tinggi. Jika Bukalapak bermimpi menjadi BRI di sektor perdagangan, itu butuh modal besar banget.
Arti menjadi BRI adalah Bukalapak mengejar segmen di luar kota besar. Berarti, bakal butuh biaya yang sangat besar untuk memperkuat pasar di luar sana. Di sini, prospek Bukalapak di mata gue mulai memudar.
Namun, tidak ada salahnya juga untuk mencoba cicip masuk dengan modal kecil. Setidaknya, sudah mantek saham di sana. Jadi, kalau ada potensi melejit atau bagaimana ke depannya, ya enggak masalah. Ya, itu pun kalau dapat pas penjatahan.
Intinya sih, kamu harus menakar sendiri risikomu saat ingin mengoleksi saham Bukalapak ya. Jangan memaksakan diri atau pengen sok keren aja, tapi juga jangan maksa orang enggak beli dan meminta ikut pendapatmu. Investasi itu kan pilihan masing-masing.