Krisis ekonomi 1997 bisa dibilang hampir mirip dengan kejadian pandemi Covid-19. Sebuah kejadian yang diawali salah langkah Thailand dalam mengeluarkan kebijakan berimbas keruntuhan ekonomi dunia dalam sekejap.
Berbicara Thailand pada 1990-an bisa dibilang sebuah negara dengan ekonomi yang cukup bagus. Bagaimana tidak, rata-rata pertumbuhan ekonominya 9,5% per tahun.
BACA JUGA: Piala Thomas dan Uber 1994, Sebuah Kisah Manis Arbi dan Mia
Bahkan, Thailand menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat pada periode 1987-1996.
Selama dekade itu, perusahaan keuangan di Thailand banyak melakukan ekspansi dalam penyaluran pinjaman. Sayangnya, kebanyakan portofolio pinjaman yang disalurkan cenderung ke sektor seperti, real estate, konsumsi dan saham.
PODCAST: Mending Beli Saham SIDO atau BBCA Ya?
Bahkan, portofolio pinjaman di sektor itu mencatatkan keniakan hingga 17 kali lipat dan memiliki porsi 54% dari total pinjaman yang disalurkan lembaga keuangan Thailand pada 1996.
Sayangnya, ekspansi di sektor real estate bak pedang bermata dua. Dari sisi investor, banyak pemain asing maupun lokal yang masuk untuk membeli properti. Sayangnya, mereka membeli properti itu bukan untuk investasi jangkap panjang, tetapi jangka pendek.
Alhasil, ekonomi Thailand menunjukkan tanda-tanda gelembung yang siap pecah kapan pun. Harga rumah, tanah, dan saham sudah kadung berputar terlalu tinggi.
Lembaga keuangan pun menyalurkan pendanaan secara ceroboh tanpa analisis menyeluruh. Lembaga keuangan Negeri Gajah Putih malah bersaing memperebutkan peluang pinjaman yang menguntungkan.
Apalagi, kondisi suku bunga yang rendah membuat pinjaman luar negeri menggiurkan. Ditambah, nilai tukar yang relatif konstan karena sudah tidak menggunakan sistem kurs mengambang membuat tingkat kepastian semakin tinggi.
Krisis Ekonomi 1997, Ekonomi Thailand, Dari Untung Menjadi Buntung
Musim panas pada 2 Juli 1997 menjadi awal keruntuhan ekonomi dunia. Semua itu bermula dari Bank of Thailand alias bank sentral Negeri Gajah Putih yang mengubah sistem kurs. Awalnya, kurs bath memiliki sistem dengan rentang patokan tertentu, tetapi Bank of Thailand mengubahnya menjadi sistem mengambang atau sesuai dengan kondisi pasar.
Sebenarnya, konon katanya, sistem kurs mengambang lebih disukai ketimbang yang konstan. Alasannya, sistem kurs mengambang membuat lebih mudah untuk mengontrol pinjaman luar negeri.
Sayangnya, Thailand bisa dibilang terlambat dalam mengadopsi sistem tersebut. Lebihnya lagi, bisa dibilang Thailand mengubah sistem kursnya di saat yang salah ketika tingkat pinjaman tinggi dan potensi pecahnya gelembung di sektor real estate.
Alhasil, bath yang dibuka menuju pasar bebas langsung melemah drastis. Nilai tukar bath langsun anjlok dari 25 bath per dolar AS menjadi 56 bath per dolar AS pada Januari 1998.
Dampak pelemahan bath tak hanya dialami oleh Thailand, tetapi juga menular ke negara Asia Tenggara, Asia, hingga seluruh dunia. Sebuah efek domino besar yang mengubah sejarah. Sebuah krisis ekonomi 1997 telah terjadi.
Spekulan Warna-warni Krisis Moneter 1997
Jika sebelumnya kita membahas awalnya krisis Thailand 1997 akibat masalah teknisnya. Kali ini, kita membahas krisis Thailand dari sisi permainannya.
Thailand mengalami krisis pada 1997 bukan karena kejadian alam, tetapi juga ada pemain-pemainnya. Salah satunya, para spekulan mata uang yang bermain di tengah sistem moneter yang belum kuat.
George Soros salah satu spekulan yang dianggap terkejam di dunia. Pasalnya, Soros bisa membuat ekonomi porak poranda dengan aksinya. Apalagi, dia malah mendapatkan untung besar dari menghancurkan ekonomi Thailand tersebut.
Di sisi lain, Soros bukan satu-satunya spekulan yang menjual baht pada 1997. Namun, Soros adalah spekulan yang memimpin aksi jual baht tersebut.
Awalnya, Soros membeli kontrak berjangka baht. Lalu, dia menjual semua baht yang dimilikinya dan memengaruhi teman-temannya untuk ikut menjual baht.
Kemudian, dia mempublikasikan masalah ekonomi Thailand hingga menciptakan kepanikan di kalangan internasional, terutama investor. Alhasil, investor juga banyak yang membuang bahtnya. Nilai baht jadi hancur tidak karuan.
Gara-gara Soros, Thailand hingga kehilangan 30 miliar cadangan devisa untuk menjaga nilai baht.
Di sisi lain, Soros tidak menjadi tokoh anatagonis untuk seluruh warga Thailand. Malah, Soros adalah salah satu tokoh protagonis bagi beberapa orang Thailand.
Salah satunya, Thaksin Shinawatra yang malah memuji Soros karena mendapatkan keuntungan dari inforasi istimewanya.
Para orang kaya di Thailand dikabarkan tahu soal niat Soros untuk memburu untung dengan menjual baht.
Bahkan, ada yang menyebutkan hubungan Thaksin dengan Soros jauh lebih dekat dari sekadar teman berbagi informasi antara orang kaya Thailand dan spekulan mata uang.
Konspirasi dan Fakta Tatanan Dunia Berantakan
Lalu, apa persamaan antara krisis 1997-1998 dengan pandemi Covid-19? persamaannya adalah kedua kejadian itu menunjukkan tatanan sistem dunia yang masih berantakan.
Kala 1997-1998, krisis besar terjadi karena sistem moneter sampai tata negara dan politik di negara berkembang yang belum matang. Perubahan sistem kurs pun akhirnya menjadi biang keladinya.
Jika mengutip laporan riset IMF, pada 1970-an mayoritas negara berkembang memilih gunakan kurs dengan rentang tertentu atau tetap. Alasannya, sistem kurs itu pun lebih memberikan kepastian nilai kurs dibandingkan dengan sistem mengambang.
Lalu, mulai 1980-an, beberapa negara berkembang mulai beralih dari sistem kurs yang tetap menjadi kurs mengambang. Titik ini menjadi awal krisis besar pada 1997 gara-gara Thailand memindahkan sistem kurs di saat yang salah.
Para spekulan dan Soros pun mungkin sudah memperkirakan itu dari jauh-jauh hari, terutama ketika negara berkembang mulai beralih menggunakan kurs mengambang.
Dengan sistem moneter dan keuangan yang kurang kokoh, ekonomi pun hancur.
Nah, kondisi itu pula yang terjadi saat ini. Pandemi Covid-19 memperlihatkan seberapa bobroknya sistem kesehatan di dunia.
Ujung-ujungnya berdampak kepada perekonomian ketika semua orang harus jaga jarak sampai kerja dari rumah.
Lalu, kira-kira dari pandemi Covid-19 ini siapa yang diuntungkan ya? Akankah ada semacam Soros yang cuan di tengah pandemi ini?