Investasi saham jangka panjang menjadi pilihan agar tidak dibuat panik oleh fluktuasi pasar. Soalnya, tidak semua cocok dengan trading. Banyak juga yang tidak punya waktu hingga bermimpi menjadi sleeping investor. Bagaimana caranya?
Jika memilih investasi saham jangka panjang, artinya investor tidak sekadar mengincar capital gain atau kenaikan harga saham. Namun, investor juga mengincar pendapatan pasif dari dividen.
Dividen adalah bagian laba bersih perusahaan yang dibagikan ke pemegang saham. Jumlah dividen yang dibagikan akan ditentukan dalam rapat umum pemegang saham.
BACA JUGA: Jajal Investasi SBN Ritel, Pelajari Dulu Karakternya Di Sini
Namun, dividen bukan kewajiban perusahaan sehingga tidak semua perusahaan membagikan sebagian laba bersihnya kepada pemegang saham. Biasanya, perusahaan yang tidak membagikan dividen karena ingin memperkuat modal dari laba bersih untuk ekspansi
Salah satu alasan investasi saham jangka panjang adalah ketidakpastian kondisi pasar. Harga saham yang lagi turun belum tentu langsung rebound alias berbalik naik lagi dalam jangka pendek. Untuk itu, ada risiko besar yang mengintai ketika investasi saham untuk jangka pendek.
Dengan ketidakpastian itu, trader saham bisa salah langkah sehingga nyangkut alias tidak bisa menjual saham untuk dapat keuntungan. Ketika nyangkut, ada dua jalan yang bisa dipilih para trader saham, yakni otomatis jadi investor atau cut loss alias menjual saham dalam kondisi rugi.
Sleeping investor menjadi salah satu istilah yang populer di Indonesia yang ditunjukkan kepada investor saham jangka panjang. Istilah itu bermakna investor saham yang tidak mengkhawatirkan volatilitas harga saham jangka pendek karena yakin dengan prospek ke depannya.
Ada dua kelebihan menjadi sleeping investor, yakni tidak stress melihat pergerakan naik turun harga saham dalam jangka pendek dan mendapatkan pendapatan pasif dari dividen.
Investasi Saham Jangka Panjang, Keuntungan Beli BBCA Sejak IPO hingga Saat Ini
Sebagai contoh, ada investor yang membeli 1.000 saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) saat penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) pada 2000 silam. Harga saham penawaran perdana BBCA saat itu senilai Rp1.400 per saham. Artinya, modal awal investasi untuk 1.000 saham BBCA senilai Rp1,4 juta.
Sepanjang perjalanannya, BBCA melakukan tiga kali pemecahan nilai saham atau stock split. Ketiga pemecahan saham itu dilakukan pada 2004, 2005, dan 2008 dengan rasio masing-masing 1:2. Lalu, BBCA kembali stock split 1:5 pada 2021. Artinya, sampai aksi pemecahan saham yang terakhir, total saham BBCA yang dimiliki investor itu menjadi 40.000 lembar.
Jika investor itu tidak menjual saham BBCA hingga penutupan perdagangan 29 Maret 2022, artinya total nilai sahamnya sudah naik 22.328% menjadi Rp314 juta dibandingkan modal investasi awal saat IPO.
Itu baru keuntungan dari capital gain, belum dari dividen. Total pendapatan dividen dari memegang saham BBCA sejak IPO hingga 2020 senilai Rp31,71 juta. Nilai itu lebih tinggi 2.165% dari modal awal investasi beli saham BBCA senilai Rp1,4 juta. Bagaimana jika hasil dividen itu juga diinvestasikan ke saham BCA lagi? nah itu bisa menjadi compounding interest atau bunga yang bergulung terus.
Tips Jadi Sleeping Investor
Investasi saham jangka panjang sebagai sleeping investor tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada beberapa tips agar bisa menjadi sleeping investor yang nyenyak dengan cuan maksimal.
Pertama, pelajari fundamental keuangan dan model bisnis saham yang mau beli. Ibarat kata pepatah tak kenal, maka tak sayang, seorang sleeping investor harus benar-benar kenal dengan saham yang dibelinya.
Beberapa indikator keuangan yang bisa dilihat adalah utang, pendapatan, pos pendapatan, laba bersih, sampai jejak pemegang saham dalam beberapa tahun terakhir. Semua hal itu penting untuk menentukan suatu saham layak dibeli untuk jangka panjang atau tidak.
Selain itu, beberapa sektor bisnis memiliki karakter khusus seperti, komoditas, bank, dan konstruksi.
Harga dan kinerja keuangan saham komoditas pasti akan fluktuatif mengingat volatilitas harga komoditas yang cukup tinggi.
Lalu, tingkat utang bank dan konstruksi pasti tinggi. Alasannya, model bisnis bank adalah menghimpun dana masyarakat yang tercatat sebagai liabilitas sehingga rasio debt to equity (DER) sebagai indikator kemampuan membayar utang sebuah korporasi menjadi sangat tinggi.
Begitu juga dengan sektor konstruksi yang memiliki tingkat DER yang tinggi. Soalnya, saham sektor itu baru menerima pembayaran jika proyek sudah selesai. Sebelum itu, saham konstruksi harus mencari pembiayaan dari lewat bank, surat utang, maupun instrumen pendanaan pasar modal lainnya.
Kedua, pilih saham yang rajin bagi dividen, tujuannya adalah agar investasi jangka panjang yang dilakukan juga menghasilkan pendapatan pasif setiap tahunnya. Lalu, bagaimana bisa memilih saham yang membagikan dividen besar?
Ada beberapa indikator yang bisa dijadikan acuan untuk melihat seberapa royal saham membagikan dividen, yakni dividen per saham, dividend payout ratio, dan dividend yield.
Dividen per Saham
Dividen per saham akan menggambarkan berapa jumlah saham yang pemegang saham peroleh. Total nilai dividen yang besar belum tentu membuat nilai dividen per sahamnya juga besar karena dibagi jumlah saham yang ada.
Dengan acuan ini, investor bisa menaksir berapa pendapatannya dari pembagian dividen yang dilakukan oleh emiten bersangkutan.
Jika melihat data pembagian dividen tunai tahunan di luar interim sepanjang 2020, PT Adira Dinamika Multifinance Tbk. (ADMF) menjadi yang terbesar, yakni senilai Rp1.054 per saham. Namun, jika dilihat dari segi total dividen, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, (BBRI) menjadi yang terbesar senilai Rp20,62 triliun.
Di sini, investor juga harus cermat memilih saham yang royal bagi dividen lewat acuan dividen per saham. Pasalnya, ada beberapa saham yang kurang likuid, tapi pembagian dividen per sahamnya lumayan besar.
Dividend Payout Ratio
Dividend payout ratio menggambarkan seberapa banyak dividen yang dibagikan dari total laba bersih yang diperoleh dalam periode tertentu. Indikator ini akan memperlihatkan seberapa royal korporasi membagikan dividen kepada pemegang saham.
Namun, tingkat dividend payout ratio tinggi belum tentu selalu menjadi bagus. Beberapa kasus, tingkat dividend payout ratio tinggi disebabkan oleh laba bersih untuk modal ditahan tidak bisa digunakan untuk ekspansi karena kondisi sektor usaha yang sedang tidak bagus.
Sebagai contoh PT Indocement Tuggal Prakarsa Tbk. (INTP) mencatatkan dividend payout ratio di atas 100% alias lebih dari pencapaian laba bersih dalam tiga tahun terakhir. Alasannya, perseroan tidak memiliki momentum untuk ekspansi karena kondisi industri semen masih oversupply.
Teranyar, INTP membagikan dividen total tahun ini senilai Rp1,84 triliun dari pencapaian laba bersih 2019 senilai Rp1,83 triliun. Tambahan laba bersih senilai Rp5,31 miliar berasal dari saldo laba ditahan yang belum dipakai sebelumnya.
Dividend Yield
Dividend Yield menjadi gambaran seberapa menarik pembagian dividen sebuah emiten jika dibandingkan dengan harga sahamnya.
Semakin tinggi dividend yield, semakin menarik saham tersebut. Artinya, dari total modal investasi pembelian saham itu, tingkat pendapatan pasif yang bisa diperoleh dari dividen cukup tinggi.
Dari data yang dihimpun, salah satu saham yang memiliki tingkat dividend yield yang tinggi pada tahun ini adalah PT Multifilling Mitra Indonesia Tbk. (MFMI) sebesar 48%. Pada tahun ini, MFMI membagikan dividen tunai dan interim senilai Rp264 per saham, sedangkan pada penutupan perdagangan 3 September 2020 harga saham MFMI ditutup pada level Rp550 per saham.
Namun, sama seperti dividen per saham, acuan dividend yield juga harus diiringi dengan melihat seberapa likuid saham itu agar jika dibutuhkan mudah dijualnya.
Dengan begini, siap untuk memulai investasi saham jangka panjang?
Puas dengan Konten Ini?
Trakter blog ini sekarang juga biar bisa makin berkembang hingga
menambah insight dan skill barumu