Luckin Coffee yang sempat didepak dari bursa Amerika Serikat akibat penipuan Rp4,3 triliun berencana kembali ke Negeri Paman Sam pada 2022. Begini, nasib Luckin Coffee setelah kasus penipuan pada 2020.
Dikutip dari Financial Times, Setelah didepak dari Nasdaq pada Juni 2020, Luckin Coffee sepakat membayar Rp2,58 triliun untuk menyelesaikan masalah penipuan dengan Securities and Exchange Commission (SEC). Kabarnya, Luckin Coffee tengah menjajaki rencana kembali listing di Nasdaq dengan target paling cepat akhir 2022.
Di sisi lain, Luckin juga mengadakan pertemuan dengan investor dan penasihat sebelum mengusulkan rencana relisting di Nasdaq terkait strategi peningkatan modal. Luckin Coffee membeberkan kalau pertumbuhan bisnis perseroan yang menarik bagi para investor.
Namun, rencana relisting Luckin Coffee bakal menghadapi tantangan besar dari kebijakan AS. Saat ini, AS tengah menghambat perusahaan China yang mau listing di AS.
Di sisi lain, bisnis Luckin Coffee kembali bangkit setelah startup kopi China itu mengajukan pailit di AS pada 2021. Sampai kuartal III/2021, pendapatan Luckin Coffee tumbuh 106 persen menjadi Rp5,31 triliun. Bahkan, jumlah outletnya di China sudah sebanya 5.671 gerai atau 500 lebih banyak daripada Starbucks.
Skandal Penipuan Luckin Coffee
Luckin Coffee, emiten yang sudah melantai di Amerika Serikat (AS) itu diduga melakukan pencatatan keuangan palsu. Dalam skandal Luckin Coffee itu, startup kopi asal China ini diduga mark up atau menaikkan dengan sengaja pendapatannya hingga 310 juta dolar AS atau Rp4,45 triliun.
BACA JUGA: Investasi Emas Di Tengah Pandemi, Mending Jual, Tahan, atau Beli?
Hal itu pun menghancurkan reputasi beberapa bank investasi yang menemani Luckin Coffee melantai di Bursa. Salah satunya Credit Suisse Group AG.
Dalam berita Bloomberg berjudul Klien Besar Credit Suisse Luckin Coffee kini Menjadi mimpi Buruk yang tebrit pada 29 April 2020 mendeskripsikan bagaimana Credit Suisse sempat bangga bisa menggandeng startup kopi dari China tersebut.
Pimpinan Credit Suisse Tidjane Thiam mengungkapkan Luckin Coffee adalah klien ideal untuk bank investasi tersebut.
“Saya sampai tidak tahu berapa banyak makan malam bersama Lu Zhengyao, pendiri Luckin Coffee,” ujarnya.
Credit Suisse bersama Morgan Stanley, CICC dan Haitong International Securities menjadi bank investasi yang membawa Luckin Coffee melantai di bursa AS dan meraup dana 645 juta dolar AS atau Rp9,26 triliun pada Mei 2019.
Sayangnya, kebanggaan Credit Suisse itu kini tinggal menjadi mimpi buruk. Skandal pemalsuan pendapatan itu turut membuat bank investasi itu melakukan peninjauan internal. Lalu, pengawasan untuk pinjaman ke perusahaan asal China pun meningkat.
Imbas dari kejadian ini adalah Credit Suisse harus rela kehilangan kliennya yang mau melantai di Bursa Hong Kong dengan target nilai transaksi 1 miliar dolar AS. Kliennya itu adalah WeDoctor, startup kesehatan yang berada di bawah Tencent Grup.
Keputusan WeDoctor’s itu muncul setelah regulator sekuritas China akan menginvestigasi kasus Luckin Coffee yang dilakukan oleh direktur operasionalnya.
Salah satu sumber Reuters mengatakan petinggi WeDoctor merasa lebih baik Credit Suisse fokus menyelesaikan skandal dengan Luckin.
“Dengan ketidakpastian yang ada, bank investasi itu dinilai tidak cocok untuk mengurus IPO WeDoctor saat ini,” ujar salah satu orang yang tidak bisa disebutkan namanya tersebut.
Skandal Luckin Coffee dan Hubungan Mesra dengan Credit Suisse
Citra Luckin Coffee memang hancur luluh lantah gara-gara aksi beberapa petingginya, salah satunya Direktur Operasionalnya Jian Liu. Untungnya, Lu Zhengyao sebagai pendiri dianggap tidak bersalah dalam skandal tersebut.
Meskipun begitu, skandal Luckin Coffe ini dinilai akibat startup dan bank investasi yang mengejar pertumbuhan yang cepat.
Profesor Universitas Boston dan juga mantan pemeriksa Federal Reserve Mark Williams mengatakan skandal Luckin Coffee ini terjadi ketika standar penjaminan yang lemah dibiarkan bertahan demi mengejar pertumbuhan yang cepat.
Alhasil, skandal Luckin Coffee ini pun merambat ke investornya juga. Salah satunya, Government of Singapore Investment Corporation (GIC) Pte. atau sovereign wealth pemerintah Singapura yang merupakan investor awal Luckin Coffee.
Morgan Stanley yang bagian tim membawa Luckin Coffee melantai di bursa juga terseret dalam penyeledikan kasus ini. Barclays Plc yang memberikan pinjaman margin kepada Lu juga ikut diinvestigasi.
Namun, tetap saja Credit Suisse bisa dibilang paling apes dalam skandal Luckin Coffee ini. Pasalnya, bank investasi itu dinilai punya ikatan terdekat dengan startup kopi tersebut.
Selain menjadi penjamin emisi utama Luckin Coffee untuk IPO. Lalu, Credit Suisse juga memimpin penjualan obligasi konversi Luckin senilai 460 juta dolar AS atau Rp6,6 triliun pada Januari 2020 dan pinjaman Margin senilai 518 juta dolar AS atau Rp7,43 triliun kepada Lu yang kini statusnya sudah mengalami gagal bayar.
Hubungan antara Credit Suisse dengan Luckin Coffee makin mesra. Hal itu dibuktikan dengan Kepala Keuangan perseroan Reinout Hendrik Schakel adalah bekas analis dan bankir investasi untuk Credit Suisse Hong Kong selama 8 tahun.
Lalu, Nancy, putri Lu pendiri Luckin Coffee, bekerja untuk Credit Suisse Hong Kong, meski perannya di sana tidak terkait dengan aktivitas startup kopi tersebut.
Luckin Coffee yang Terburu-buru Melantai di Bursa
Dalam sebuah opini Henny Sender di Financial Times berjudul Pelajaran dari Skandal Luckin Coffee disebutkan kalau startup asal China itu terlalu terburu-buru melantai di bursa.
Didirikan pada Oktober 2017, Startup kopi China itu percaya diri melantai di bursa AS pada Mei 2019. Sebuah waktu yang relatif singkat. Padahal, Uber yang didirikan sejak 2009 pun tidak terlalu sukses saat melantai di bursa pada tahun lalu.
Melihat aktivitas Luckin yang merahasiakan kinerja keuangannya dan mengubahnya dengan angak fiktif. Artinya, para petinggi Luckin sangat terburu-buru untuk segera melantai di Nasdaq.
Henny menceritakan di sela-sela upacara pencatatan saham Luckin Coffee di New York, dia sempat bertanya kepada Kepala Keuangan Luckin Reinout Schakel.
“Kenapa kamu melantai di bursa saat perusahaan masih merugi?” tanyanya dengan kalimat yang lebih singkat. Reinout enggan menjawab pertanyaan Henny tersebut.
Pujian Lu Setinggi Langit yang Jadi Mimpi Buruk
Helman Sitohang yang menjalankan divisi Asia Pasifik di Credit Suisse sempat memuji Lu, sebagai salah satu klien yang sukses digaet bank investasi tersebut.
Lu memulai pengalaman bisnisnya lewat Car Inc. pada 2007. Car Inc. adalah perusahaan penyewaan mobil terbesar di China.
Credit Suisse langsung berhubungan dengan Lu sejak dia masih mendirikan Car Inc. Pergi dari Car Inc., Lu menjajal startup yang menjadi pesaing Starbucks di China.
Bahkan, dalam waktu kurang dari dua tahun, Lucking ekspansi hingga 4.500 toko. Dia pun menjadi investor kesayangan di Negeri Paman Sam.
Apalagi, harga sahamnya naik tiga kali lipat dalam delapan bulan pertama perdagangannya.
Sayangnya, saham kesayangan investor AS sudah menjadi mimpi buruk. Bursa AS menghentikan sementara perdagangan Luckin Coffee sambil menunggu tinjauan lebih lanjut.
Terkahir, harga saham Luckin Coffee turun jauh menjadi 4,39 dolar AS per saham pada 6 April 2020 dibandingkan dengan level tertinggi pada Januari 2020 yang senilai 51,38 dolar AS per saham.
Investor yang memiliki saham Luckin Coffee pasti stress bukan main. Skandal Luckin Coffee ini bisa jadi yang cukup besar dari startup yang melantai di bursa setelah sebelumnya WeWork yang batal go public.
Semoga saja, startup lainnya yang melantai di bursa tidak memiliki masalah lainnya. Agar, startup yang berkembang tidak diwarnai sentimen negatif oleh para investor.
Puas dengan Konten Ini?
Yuk trakter blog ini biar makin berkembang hingga
menambah insight dan skill barumu