Saham Unilever sempat naik 6 persen dalam sehari pada 11 November 2021. Para nyangkuters saham big caps itu pun langsung senang bukan kepalang. Berharap, harga sahamnya bisa melampaui harga average yang dimiliki saat ini. Namun, apakah mungkin, saham Unilever bisa melompat jauh lagi?
Pas lagi nyari sentimen apa yang mendongkrak harga saham Unilever tersebut. Beberapa teman gue bercanda, harga saham Unilever bisa naik karena mobilitas masyarakat kembali aktif, terutama setelah PPKM DKI Jakarta diturunkan menjadi level 1.
Korelasinya, aktivitas yang meningkat, masyarakat pun berkeringat dan membutuhkan produk perawatan tubuh. Akhirnya, permintaan produk Unilever bisa naik. Ya, itu logis, apalagi sudah banyak yang mulai work from office atau WFO lagi.
Namun, apakah itu jadi sentimen positif langsung ke UNVR? nah yang kebingungan pun bukan cuma gue, tetapi juga beberapa akun di sebuah forum sekuritas. Salah satu akun di forum itu berusaha mencari berita tentang Unilever, yang keluar malah berita duka cita meninggalnya salah satu direksi Unilever.
“Ya masa direktur meninggal jadi penggerak harga saham Unilever sih?” ucapnya di forum tersebut.
Di luar kebingungan dengan arah gerak saham berkode UNVR itu, ada satu hal yang gue sudah tetapkan dalam hati, yakni gue enggak akan beli saham Unilever dulu, terutama untuk jangka panjang.
Prospek Saham Unilever
Sebenarnya, ini sudah gue tetapkan sejak Unilever memutuskan untuk melakukan pemecahan nilai saham atau stock split pada akhir 2019. Waktu itu, harga saham Unilever yang hanya bisa dibeli oleh para sultan, yakni sekitar Rp40.000-an per lembar saham memang tak terjangkau ritel.
BAHAN MENTAH KONTENNYA DARI SINI NIH: Bongkar Rahasia Laporan Keuangan Saham Unilever dan Nasib Perusahaan Globalnya
Alhasil, banyak ritel bermimpi bisa punya Unilever. Akhirnya, si saham big caps itu melakukan stock split agar bisa terjangkau oleh ritel. Namun, apa daya, bukannya terbang balik ke puluhan ribu per saham, seperti dua kali stock split sebelumnya, malah ambrol hingga ke Rp3.900-an per saham.
Akhirnya, saham Unilever pun jadi bahan bully-an. Namun, masih banyak yang bingung, kenapa bisa saham Unilever anjlok parah setelah stock split? apakah gara-gara pandemi Covid-19 semata?
Memang, untuk kinerja keuangan Unilever setahun penuh pada 2020 mengalami penurunan. Namun, bukan penurunan terjun bebas yang dalam, melainkan hanya perlambatan.
Pendapatan Unilever melambat hanya tumbuh 0,12 persen menjadi Rp42,97 triliun pada 2020. Lalu, laba bersih memang turun sebesar 3,1 persen menjadi Rp7,16 triliun.
Laba bersih Unilever turun karena beban pemasaran dan penjualan yang naik 7,19 persen menjadi Rp8,62 triliun, serta beban umum dan administrasi yang naik 12,83 persen menjadi Rp4,35 triliun.
Beban umum dan administrasi Unilever naik karena adanya adopsi integrasi teknologi Unilever Enterprise Technology Solution Service (ETS). Gue ennggak terlalu paham apa fungsinya ini, tapi bisa membantu integrasi operasional Unilever kayaknya.
Soalnya, Unilever Indonesia harus bayar penggunaan teknologi itu sesuai dengan pemakaian ditambah margin 5 persen. Artinya, semakin banyak penggunaan berarti biayanya juga makin tinggi.
Nah, biaya penggunaan ETS pada 2020 ini naik 10,65 persen menjadi Rp3,28 triliun atau hampir 90 persen dari total beban administrasi dan umum.
Dari sini, gue simpulkan efek pandemi Covid-19 jelas bukan sentimen utama penekan harga saham Unilever. Toh, sebenarnya harga saham Unilever sudah tertekan sejak sebelum pandemi.
Lalu, Apa Penyebab Harga Saham Unilever Anjlok?
Masalah Unilever secara global adalah pertumbuhan bisnis di negara berkembang, seperti Indonesia, tidak agresif. Padahal, selama ini kinerja Unilever ditopang oleh negara-negara berkembang tersebut.
JANGAN LEWATKAN: Cerita Bisnis Es Krim Unilever yang Diserbu Pesaing Murah
Alhasil, profit margin Unilever secara global terus susut. Bahkan, dari proyeksi terbaru, Unilever global diprediksi mencatat penurunan profit margin sebesar 5,9 persen sepanjang 2021 gara-gara kenaikan harga komoditas.
Gara-gara itu, harga saham Unilever di London tertekan cukup drastis pada Juli 2021.
Untuk itu, Unilever lagi berjuang merestrukturisasi bisnisnya dengan membuang produk yang memiliki margin keuntungan yang tipis, bahkan negatif.
Salah satunya, ketika Unilever melepas bisnis spreads atau margarin pada 2017. Perseroan melepas bisnis margarin, seperti Blue Band ke private equity KKR Holdings senilai 8 miliar dolar AS atau Rp113,52 triliun untuk nilai rupiah saat ini.
Penjualan itu dilakukan karena rata-rata pertumbuhan nilai penjualan bisnis margarin hanya 0,9 persen per tahun. Bahkan, dari segi volume penjualan malah terus turun.
Untuk itu, Unilever melakukan analisis, jika melepas bisnis margarin, bagaimana nasib bisnis segmen makanan dan minumannya. Hasilnya, tanpa bisnis margarin, segmen makanan dan minuman justru mencatat kenaikan penjualan hingga 2,2 persen per tahun.
Menambah Deretan Lini Bisnis yang Dilepas
Setelah melepas bisnis margarin, Unilever juga berencana melepas beberapa bisnis yang kurang menguntungkan lainnya seperti, lini bisnis teh.
Unilever berencana melepas sebagian besar bisnis tehnya, dari merek Lipton Tea, kecuali di kawasan Indonesia dan India. Untuk Indonesia dan India, Lipton Tea bakal dipertahankan karena permintaannya masih cukup bagus.
Nilai sebagian besar lini bisnis teh itu senilai 4 miliar poundsterling atau Rp76,14 triliun. Rencana penjualan ini baru diumumkan pada Agustus 2021.
Selain bisnis teh, Unilever juga mau melepas beberapa produk perawatan tubuh yang dinilai kurang menguntungkan. Beberapa produk itu seperti, Q-Tips, Caress, TIGI, TImotei, Impulse, dan Monsavon. Unilever mematok nilai jualnya sekitar 693 juta dolar AS atau sekitar Rp9,8 triliun.
Sayangnya, sampai 10 November 2021, Unilever belum menemukan pembeli yang tertarik untuk mengakuisisi produknya tersebut.
Lalu, untuk mempersiapkan pengganti dari produk yang dilepas. Unilever sudah mulai mencari prospek bisnis makanan organik sejak 2017. Saham Consumer Goods yang berkantor pusat di Inggris itu sudah mengakuisisi beberapa produk.
Pertama, Unilever mengakuisisi Sir Kenington pada pertengahan 2017. Sir Kensington adalah produsen saos yang terbuat dari bahan organik.
Kedua, Mae Terra, produk makanan organik dari Brasil yang juga diakuisisi pada Oktober 2017.
Di luar makanan organik, Unilever juga menjajal bisnis saus sambal di Indonesia lewat merek Jawara. Namun, kontribusi penjualan makanan organik itu tampaknya belum terlalu signifikan memberikan keuntungan ke Unilever.
Soalnya, Unilever sendiri punya beberapa tantangan dalam pengembangan bisnisnya nih.
Tantangan Bisnis Saham Unilever
Ada tiga tantangan utama bisnis Saham Unilever ke depannya nih.
Pertama, yang sudah dibahas sebelumnya, yakni masalah restrukturisasi bisnis. Konon, restrukturisasi bisnis Unilever ini bakal memakan biaya 1 miliar euro atau Rp16,25 triliun pada 2021 dan 2022.
Itu pun jika lancar, sedangkan ekonomi global sendiri saat ini sedang tertantang oleh masalah krisis energi sampai stagflasi. Hal itu bisa jadi penghambat proses restrukturisasi bisnis Unilever.
Beberapa analis global pun menilai dari proses restrukturisasi bisnis Unilever saat ini belum terlihat adanya percepatan pertumbuhan bisnis. Malah, cenderung stagnan. Padahal, prosesnya sudah mulai dilakukan sejak 2017.
Kedua, risiko inflasi bisa menjadi tantangan besar untuk Unilever. Soalnya, di sini akan diuji seberapa loyal konsumen bertahan menggunakan produk Unilever saat inflasi lagi tinggi.
Soalnya, inflasi tinggi bakal membuat biaya bahan baku produksi Unilever juga naik. Akhirnya, harga produk bakal dinaikkan. Secara global, Unilever juga sudah menaikkan harga produknya sebesar 4 persen.
Ketiga, tantangan ketiga masih berhubungan erat dengan kedua. Di tengah potensi kenaikan inflasi, Unilever harus bersaing dengan perusahaan consumer goods lainnya.
Apalagi, banyak juga produk consumer goods dengan merek supermarket yang menawarkan harga lebih murah. Artinya, jika ekonomi sulit, bisa jadi konsumen Unilever beralih produk ke yang lebih terjangkau.
Dengan kondisi sulit itu, Kraft-Heinz, perusahaan konsumer asal AS yang dimiliki Warren Buffett, sempat menawar Unilever. Kraft-Heinz menawar akuisisi Unilever senilai 143 miliar dolar AS atau Rp2.029 triliun untuk nilai saat ini pada Februari 2017.
Namun, saat itu, Unilever menolaknya mentah-mentah.
Kesimpulan
Proses restrukturisasi bisnis Unilever masih rada panjang kayaknya nih, harga saham Unilever bakal berfluktuasi saja di level bawah. Apalagi, hasil dari restrukturisasi bisnisnya juga enggak jelas akan berhasil atau tidak. Kalau pun berhasil kapan? untuk itu, gue sih memilih enggan koleksi saham ini untuk jangka panjang ya.
Cuma ya namanya investasi juga pilihan masing-masing. Risiko ditanggung masing-masing. Gue juga masih rugi overall sih haha.