Krisis energi melanda China dan Eropa jelang musim dingin. Situasinya kalau dari kacamata objektif sangat berbahaya karena jika kekurangan energi gas atau batu bara, bisa menyebabkan masyarakat di sana mati kedinginan. Apakah ini kisah drama ekonomi selanjutnya setelah pandemi Covid-19?

Jujur, setelah krisis 2008, dunia selalu dilanda masalah ekonomi yang kompleks. Seolah, ekonomi dunia ini bak investasi bodong yang kehabisan likuiditas untuk diputarkan lagi ke anggotanya.

Contohnya saja, selepas krisis keuangan 2008, gejolak kembali dimulai pada 2013. Saat itu, Amerika Serikat (AS) percaya diri ekonominya mulai pulih. Akhirnya, mereka melakukan tapering off berupa pengurangan quantitive easing. Maksudnya, kebijakan pengetatan moneter dengan mengurangi pembelian obligasi negara oleh bank sentralnya, Federal Reserve.

BACA JUGA: Ash Ketchum Jadi Pokemon Master Demi Uang

Hal itu bikin ekspektasi kenaikan suku bunga makin dekat sehingga pemodal asing asal AS di emerging market pun mulai mudik ke kampung halaman. Hasilnya, pasar keuangan emerging market pun goyah, termasuk Indonesia.

Proses kenaikan suku bunga Federal Reserve yang masih teka-teki diwarnai oleh anjloknya harga minyak dunia dari level tertinggi. Penyebabnya, produksi shale oil AS meningkat drastis sehingga paman sam selaku importir mulai bisa swasembada. Hasilnya, pasokan minyak global berlebih.

Yaps sesuai hukum supply and demand, jika supply terlalu berlebih bisa membuat harga menjadi turun. Penurunan harga diharapkan bisa menciptakan equilibrium atau titik harga pasar baru untuk mendongkrak permintaan hingga harganya naik. Yaps, inilah siklus ekonomi kapitalis yang dibentuk sesuai dengan mekanisme pasar.

Penurunan harga komoditas pun membuat negara produsen komoditas mentah, seperti Indonesia megap-megap. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi melorot, tapi harga komoditas rendah tidak sepenuhnya negatif. Toh, dengan harga rendah, inflasi menjadi lebih terjaga karena harga bahan bakar di masyarakat lebih murah.

Namun, ketidakseimbangan itu pasti masalah sehingga ketika harga komoditas kembali pulih, bisa menganggu stabilitas ekonomi para produsen komoditas. Itu yang terjadi dari periode 2014 sampai saat ini, mungkin malah sejak dulu. Soalnya, gue baru aware pas terjun langsung di dunia tersebut.

Polemik global pun tiba bertubi-tubi. Selain tapering off dan harga komoditas, Yunani bangkrut, brexit, krisis Turki dan Argentina, sampai yang paling hangat perang dagang antara AS dengan China mewarnai lika-liku gejolak pasar keuangan global. Sampai akhirnya, pandemi Covid-19 yang bikin kita terisolasi saat ini.

Lalu, apakah krisis energi menjadi lanjutan polemik ekonomi global yang sudah hampir terjadi dalam setahun terakhir?

Sebuah Siklus Pasar Bebas

Begini, krisis energi ini dimulai dari era transisi dari penggunaan energi batu bara menjadi gas. Pasti banyak yang bertanya, apa bedanya gas dengan batu bara, kan sama-sama dari fosil?

Yups, keduanya sama-sama dari fosil, karena ini bukan gas panas bumi ya. Namun, gas dianggap lebih ramah lingkungan karena menghasilkan jumlah karbon yang lebih sedikit dibandingkan dengan batu bara. Namun, gas adalah sumber daya alam tidak bisa diperbarui sehingga pasokannya terbatas.

harga gas alam dunia
harga gas alam yang tembus level tinggi di atas 6 dolar AS per mmbtu membuat negara utara panik soalnya permintaan bakal terus naik jelang musim dingin

Gas pun menjadi favorit industri karena menawarkan biaya yang lebih murah. Gue masih inget banget pas liputan energi gara-gara harga gas dan tata kelolanya yang berantakan, industri Indonesia kalah jauh dari Vietnam.

Komoditas gas memang primadona banget beberapa tahun terakhir. Sampai pandemi tiba dan mengubah segalanya. Setahun terakhir, tidak ada masalah dengan gas, tapi memang peralihan dari pembangkit listrik batu bara ke gas lumayan masif.

Sebagai contoh di AS, selama periode 2011 sampai 2019 sudah mengonversi pembangkit listrik tenaga batu bara menjadi gas alam. Jelas, langkah ini menjadi pemicu kenaikan harga gas alam.

Lalu, sepanjang periode 2019 sampai 2020 tidak ada masalah yang berarti. Ceritanya, permintaan musim dingin bakal lebih tinggi karena banyak orang menggunakan penghangat ruangan sehingga butuh lebih banyak gas maupun listrik.

Lalu, apa yang terjadi dengan 2021?

Pandemi Covid-19 sudah berjalan sekitar hampir 2 tahun lamanya. Memasuki tahun kedua, ekonomi mulai kembali bergerak. Buktinya, ekonomi China bisa langsung tumbuh tinggi di atas 5 persen, kalau enggak salah sampai 8 persen. Angka pertumbuhan ekonomi itu wajar mengingat di paruh pertama tahun lalu, ekonomi dunia terkontraksi hebat.

Imbas dari mulai bergeraknya ekonomi adalah kebutuhan energi yang besar. Soalnya, banyak industri yang menggunakan bahan bakar gas. Hasilnya, permintaan gas alam sepanjang musim panas tetap tinggi.

Di sisi lain, ada juga yang bilang itu disebabkan perubahan iklim. Musim panas yang lebih panas dari biasanya membuat permintaan listrik meningkat. Hal itu terjadi di China.

Ditambah, adanya badai Ida di Teluk Meksiko yang menganggu produksi gas alam di sana. Padahal, 50 persen produksi gas alam AS dibor dari daerah tersebut.

Kondisi itu yang perlahan mengerek harga gas alam hingga tinggi seperti saat ini. Imbas dari kenaikan harga gas alam adalah industri yang megap-megap untuk bayar operasional. Satu-satunya jalan adalah kembali mengoptimalkan batu bara.

Batu bara, Jalan Pintas Menuju Kekacauan

Batu bara memang dianggap pilihan tepat. Apalagi, harga komoditas energi ini terbilang murah dan bisa menghasilkan daya listrik yang lebih besar.

Kondisi terjepit negara utara untuk bisa bertahan hidup dengan penghangat ruangan di musim dingin pun bisa diselesaikan dengan mengembalikan pembangkit listrik tenaga gas menjadi batu bara. Sebuah solusi yang mudah, tapi punya efek samping yang parah.

Di tengah situasi itu, China lagi menggenjot industrinya, terutama baja. Bayangin, harga nikel sempat melejit tinggi karena produksi baja China yang membutuhkan pig iron dan feronikel sangat ekspansif. Lalu, untuk produksi baja itu, dibutuhkan batu bara kokas.

Artinya, saat produksi baja tinggi, berarti permintaan batu bara juga naik. Di sini, permintaan China mulai mengerek harga batu bara. Apalagi, produksi batu bara domestik China juga mulai terganggu.

Lalu, Kenapa Bikin China Mati Listrik Satu Negara?

Pemadaman listrik di China bukan hal yang baru sih. Berhubung di sana industri banyak banget, terus jumlah penduduknya sampai 1,4 miliar. Kebutuhan listrik juga tinggi banget.

Namun, biasanya pemadaman dilakukan saat musim panas demi menjaga pasokan terjaga pada musim dingin. Nah, pemadaman jelang musim dingin saat ini rada berbeda dan menyeramkan.

Soalnya, pasokan batu bara China mulai menipis. Gara-gara pasokan di pasar juga mulai terganggu karena cuaca, seperti di Indonesia yang mulai masuk musim penghujan. Belum lagi, negara utara lainnya yang beli batu bara karena mengaktifkan pembangkit listrik tenaga batu baranya demi menghemat biaya.

Hasilnya, China melakukan pemadaman bergilir, bukan cuma warga, tetapi juga industri, rumah sakit, sampai sekolah. Pabrik-pabrik pun banyak yang berhenti produksi sementara, termasuk pabrik iPhone dan Tesla yang lagi dapat jadwal pemadaman listrik.

Indonesia Girang atau Cemas?

Dari sini, Indonesia sebagai salah satu produsen batu bara besar langsung sumringah. China yang lagi menutup pintu impor batu bara dari Australia langsung menggaet kolega terdekatnya ini untuk masok batu bara ke sana.

Hal itu pun bisa bikin ekspor batu bara Indonesia meningkat. Apalagi, Eropa juga menjajal Indonesia untuk memasok kebutuhan batu baranya.

ekspor batu bara dari indonesia
Ekspor batu bara INdonesia sempat bangkit pada akhir 2020 gara-gara China melakukan larangan impor tidak resmi ke Australia sehingga kebutuhan batu baranya dialihkan mayoritas ke Indonesia

Harga saham komoditas seperti batu bara pun langsung melejit. Permintaan yang tinggi jelas bisa membuat laporan keuangan emiten batu bara bakal ciamik di akhir tahun nanti. Namun, bak Tsunami, air surut dan banyak ikan bukan berarti menjadi momen untuk mengambil ikan.

Kondisi saat ini bisa jadi bakal jadi Tsunami besar yang juga bisa menghujam Indonesia setelah masa krisis energi mereda.

Bayangkan, kenaikan ekspor yang tinggi bakal berkurang saat kondisi krisis mereda. Belum lagi, efek krisis energi terhadap ekonomi China yang bisa menurunkan impor bahan baku Negeri Panda dari Indonesia. Kondisi itu bisa membuat neraca perdagangan Indonesia terganggu. Pertumbuhan ekonomi pun bisa goyah.

Jadi, kalau kamu ada yang borong saham batu bara, kalau sudah berada di posisi profit lebih baik jangan sampai lupa taking profit. Bisa jadi, saat masuk musim panas, harga batu bara maupun gas alam bisa turun tajam yang jadi titik kekacauan negeri tropis dan produsen komoditas seperti Indonesia.

Lalu, apakah Indonesia juga bakal ketularan krisis energi? tidak ada yang tahu, meski sejauh ini aman-aman saja sih.

About Surya

administrator

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.