Harga BBM non subsidi untuk Pertamax Turbo, Pertadex, dan Dexlite baru saja dinaikkan oleh pemerintah pada Maret 2022. Banyak yang komentar, kok sekarang kenaikan harga BBM tidak diumumkan, terus kenapa sih harga BBM di Indonesia selalu naik? bagaimana faktanya?
- Perbandingan Harga BBM Indonesia dengan Negara Lain
- Alasan Harga BBM di Malaysia Murah
- Penyebab Subsidi BBM di Indonesia Tidak Berasa
- Indonesia Mulai Menjaga Harga BBM non-Subsidi yang Digunakan Paling Banyak oleh Masyarakat
- Harga BBM di Indonesia Selalu Naik, Mitos atau Fakta?
- Kenapa Saat Harga Minyak Negatif Pada April 2020, Harga BBM di Indonesia Tidak Turun?
Perbandingan Harga BBM Indonesia dengan Negara Lain
Harga BBM Indonesia adalah yang termurah kedua di Asia Tenggara. Menurut data Globalpetrolprices, harga BBM oktan 95 di Indonesia pada 28 Februari 2022 senilai Rp12.892 per liter.
Harga BBM Indonesia di Asean hanya kalah dari Malaysia yang senilai Rp7.018 per liter. Harga BBM termurah ketiga di Asean adalah Myanmar senilai Rp15.775 per liter.
Menariknya, harga BBM di Malaysia ini memang bisa dibilang murah banget. Bahkan, lebih murah dibandingkan dengan beberapa negara Timur Tengah seperti, Arab Saudi senilai Rp8.929 per liter, Oman Rp8.925 per liter, Qatar Rp8.293 per liter, Bahrain Rp7.627 per liter, dan Irak Rp7.388 per liter.
Kenapa harga BBM di Malaysia bisa murah, sedangkan Indonesia tidak ya?
Alasan Harga BBM di Malaysia Murah
Salah satu alasan harga BBM di Malaysia bisa murah adalah karena mendapatkan subsidi dari pemerintahnya.
Jadi, skema subsidi BBM pemerintah Malaysia itu adalah menjaga harga BBMnya stabil di 2,05 ringgit per liter. Memang terlihat hampir mirip dengan Indonesia yang mensubsidi selisih harga BBM Premium dan Solar agar harganya stabil.
Namun, di Malaysia yang disubsidi adalah BBM dengan kualitas tinggi, yakni RON 95. Di mana, harga BBM itu akan mengikuti tren harga minyak dunia sehingga anggaran yang dikeluarkan disesuaikan dengan volatilitas harga minyak dunia.
Lalu, apa bedanya dengan Indonesia? di Indonesia, subsidi dilakukan untuk BBM Premium, di mana sudah ada tidak ada lagi yang produksi. Untuk produksi Premium itu membutuhkan tambahan bahan agar bisa menjadi oktan 88.
BACA JUGA: Dampak Perang Rusia-Ukraina Ke Kehidupan Kita
Bahkan, ada salah satu ahli migas yang bercerita, sebenarnya biaya bikin Premium itu setara dengan harga Pertamax. Jadi, pergerakan harga Premium ini cukup tinggi karena disesuaikan dengan bahan baku produksi tersebut.
Apalagi, kalau dibandingkan dengan anggaran subsidi BBM Malaysia, posisi anggaran subsidi BBM Indonesia jauh lebih tinggi tiga kali lipat.
Anggaran subsidi BBM, LPG, dan minyak goreng Malaysia pada 2021 sekitar 8 miliar ringgit atau Rp27,8 triliun. Total anggaran subsidi itu mencapai 2,6 persen dari total anggaran belanja negara.
Indonesia mencatatkan anggaran subsidi BBM dan LPG senilai Rp66,94 triliun atau 2,43 persen dari total anggaran belanja negara.
Kenapa anggaran subsidi BBM lebih besar, tapi efek ke harga konsumen di masyarakat tidak terasa?
Penyebab Subsidi BBM di Indonesia Tidak Berasa
Ada tiga faktor utama yang membuat subsidi BBM di Indonesia tidak terasa bahkan hingga ke masyarakat yang membutuhkan.
Pertama, Indonesia memiliki jumlah penduduk 273,5 juta penduduk dari hasil sensus 2020, sedangkan jumlah penduduk Malaysia cuma 32,37 juta penduduk.
Artinya, anggaran subsidi BBM Malaysia senilai Rp27 triliun untuk 32 juta penduduk itu sudah lebih dari cukup, sedangkan anggaran Indonesia Rp66 triliun itu digunakan untuk 270 juta penduduk. Hasilnya, pasti kurang, butuh lebih banyak anggaran lagi.
Kedua, letak geografis di Indonesia yang kepulauan membuat adanya tambahan biaya distribusi. Hal itu membuat harga BBM di Papua bisa lebih mahal dibandingkan dengan Pulau Jawa.
Adapun, seruan BBM satu harga pemerintah bisa dibilang tidak realistis. Jika kondisi harga minyak dunia tinggi, berarti biaya distribusi juga meningkat.
Ketiga, impor minyak Indonesia lebih besar dibandingkan dengan Malaysia. Negeri Jiran mencatatkan volume impor minyak sebesar 213.970 barel per hari setiap tahun, sedangkan Indonesia 335.790 barel per hari setiap tahun.
Perbedaan sekitar 100.000 barel per hari itu bisa efek besar ke biaya yang dikeluarkan. Apalagi, jika posisi harga minyak dunia lagi tinggi seperti saat ini. Ditambah kalau kurs rupiah lagi melemah, biayanya bakal lebih membengkak.
Indonesia Mulai Menjaga Harga BBM non-Subsidi yang Digunakan Paling Banyak oleh Masyarakat
Di sisi lain, ada fakta menarik, saat ini Indonesia secara bertahap mulai menerapkan harga BBM non subsidi seperti Pertamax dan Pertalite dengan harga tetap. Setidaknya, untuk yang dijual oleh PT Pertamina (Persero).
Bayangkan, harga Pertamax oktan 92 dipatok bertahan di level Rp9.000 per liter. Namun, harga BBM oktan 92 di luar Pertamina sudah tembus Rp12.990 per liter.
Begitu juga dengan harga Pertalite atau oktan 90. Pertalite masih bertahan di level Rp7.650 per liter. Padahal, harga di pihak swasta, yakni BP-AKR sudah senilai Rp11.990 per liter.
Selisih harganya bisa dibilang sudah jauh signifikan. Namun, tidak jelas bagaimana skema pengendalian harga Pertalite dan Pertamax. Apakah menggunakan anggaran Pertamina gara-gara sudah dapat blok Rokan dan Mahakam atau ada subsidi dari pemerintah secara tidak langsung.
Namun, yang pasti harga kedua BBM itu dijaga demi menjaga kestabilan ekonomi dari ancaman kenaikan inflasi. Soalnya, kedua jenis BBM itu kini yang paling banyak digunakan oleh masyarakat.
Harga BBM di Indonesia Selalu Naik, Mitos atau Fakta?
Faktanya, harga BBM non-subsidi itu pergerakannya fluktuatif setiap bulan. Naik-turun, jadi harga BBM non-subsidi kayak Pertamax dan kawan-kawan itu pernah naik dan turun.
Jadi, mitos banget yang bilang harga BBM di Indonesia selalu naik.
Kejadian yang paling mencolok terjadi pada medio 2015-2016. Waktu itu, harga minyak anjlok hingga tembus 25 dolar AS per barel. Penyebabnya, Amerika Serikat (AS), OPEC, dan Rusia terus genjot produksi dan tidak ada yang mau mengalah.
Hasilnya, pasokan minyak dunia berlebih padahal permintaan tidak terlalu tinggi. Harga minyak pun hancur parah.
Harga Pertamax waktu itu sempat turun ke level Rp7.000-an per liter, sedangkan harga Pertalite hingga Rp6.000-an per liter.
Kenapa Saat Harga Minyak Negatif Pada April 2020, Harga BBM di Indonesia Tidak Turun?
Harga minyak memang sempat heboh gara-gara harga minyak berjangka kontrak Mei 2020 sempat negatif 30-an dolar AS dalam semalam.
Sebenarnya, kondisi itu terjadi setelah pada Maret 2020 terjadi perang minyak antara Timur Tengah dengan Rusia. Jadi, OPEC berencana memangkas produksi, tetapi Rusia menolak.
Akhirnya, Arab Saudi memangkas harga ekspor minyak ke bawah 10 dolar AS per barel. Diikuti oleh Kuwait dan Iran. Alhasil, harga minyak langsung amblas ke level 20 dolar AS per barel.
Ditambah, Arab Saudi mengumumkan bakal meningkatkan produksi minyaknya saat itu. Padahal, kondisi pasokan lagi lumayan berlebih.
Namun, kondisi perang minyak sudah selesai pada Maret 2020 juga. OPEC+ kompak memangkas produksi, tapi baru terjadi di Mei 2020.
Akhirnya, harga minyak terus turun bebas pada April 2020. Bahkan, pemegang kontrak berjangka Mei 2020 merasa kontraknya tidak lagi berharga.
Terutama, menjelang periode kontrak Mei 2020 habis pada 21 April 2020. Jadi, banyak trader yang tidak ingin ambil fisik minyak pada 20 April 2020. Harga minyak pun turun terus hingga harganya negatif.
Namun, itu cuma untuk kontrak Mei 2020 saja. Untuk kontrak lainnya masih memiliki nilai sekitar 20 dolar AS per barel hingga 30 dolar AS per barel.
Jadi, efek dari harga minyak berjangka kontrak Mei 2020 yang negatif dalam sehari itu tidak mempengaruhi posisi harga BBM dunia, termasuk Indonesia.
Setelah membaca penjelasan ini, kamu masih yakin harga BBM di Indonesia selalu naik?
Sebagai ibu-ibu, saya tahunya untuk makin berhemat. Apa-apa naik harganya. Mau mengeluh tidak ada guna juga 😀 Sepertinya harga listrik juga naik, ya?