Hal yang Kamu Alami Saat Inflasi dan Suku Bunga Tinggi

hal yang terjadi ketika inflasi dan suku bunga tinggi

Berita risiko inflasi tinggi dan proyeksi kenaikan suku bunga bank sentral terus meramaikan jagat berita ekonomi di beberapa media arus utama. Namun, apakah kamu pernah bertanya dalam diri, apa sih dampak dari inflasi dan kenaikan suku bunga bank sentral ke kehidupan saya? apakah bakal berdampak separah itu ke kehidupan saya?

Penyebab Inflasi Tinggi

ketika inflasi dunia lagi tinggi
Ketika kenaikan harga bahan baku akibat harga komoditas yang tinggi dianggap inflasi dan diselesaikan dengan kenaikan suku bunga acuan.

Cerita inflasi tinggi mencuat pertama kali di Amerika Serikat (AS) yang mencatatkan rekor tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Penyebabnya, kenaikan harga komoditas ketika permintaan kembali normal pasca pemulihan dari pandemi Covid-19. Akhirnya, biaya bahan baku tinggi membuat kenaikan biaya energi dan barang pokok di Negeri Paman Sam.

Masalah bertambah parah ketika Rusia dan Ukraina berperang. Rusia sebagai negara komoditas membuat pasokan semakin terbatas di tengah permintaan yang tinggi. Akhirnya, harga komoditas makin melejit sehingga tingkat inflasi AS bahkan dunia, termasuk Indonesia bisa naik. 

BACA JUGA: Dampak Perang Rusia-Ukraina ke Kehidupan Kita

Inflasi Indonesia per April 2022 juga sudah naik ke level 3,47 persen yang merupakan level tertinggi sejak Desember 2017. Padahal, selama pandemi Covid-19, tingkat inflasi Indonesia selalu stabil di bawah 3 persen.

Kenaikan inflasi Indonesia pada April 2022 ditopang oleh kenaikan harga komoditas seperti minyak dunia dan minyak kelapa sawit. Hal itu memicu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi serta ada peralihan BBM subsidi Premium ke Pertalite yang harganya berbeda sekitar Rp1.000-an per liter. 

Ditambah, harga minyak sawit yang tinggi membuat harga minyak goreng juga melejit. Akhirnya, berimbas ke produk yang dimasak dengan minyak goreng juga meningkat. 

Apa Itu Inflasi?

Inflasi adalah sebuah momentum di mana nilai uang mengalami penurunan misalnya uang Rp5.000 pada 1990-an bisa membeli 50 gorengan, tetapi pada 2022 hanya bisa membeli maksimal 3 gorengan. 

Sekilas terlihat, harga gorengan yang mengalami kenaikan. Namun, nilai uang-lah yang mengalami penurunan. Hal itu bisa disebabkan peredaran uang yang makin banyak, permintaan konsumen yang tinggi, pasokan bahan baku yang menipis, atau harga bahan baku yang naik akibat fluktuasi harga di dunia. Semua faktornya disebabkan oleh hukum ekonomi, yakni supply dan demand

Lebih Baik Inflasi atau Deflasi?

Inflasi vs deflasi mana yang terbaik?

Sewaktu sekolah dulu, saya sempat berpikir deflasi itu bagus ya karena bisa menurunkan harga jual produk. Artinya, saya bisa beli mainan dengan harga murah. Yaps, itu pemikiran anak sekolah dasar yang dipusingkan dengan istilah inflasi-deflasi. 

Apalagi, zaman saya sekolah dasar, tingkat inflasi Indonesia bisa dibilang cukup tinggi. Rata-rata inflasi Indonesia pada periode 1990-2000-an berada di level 10 persen. Level tertinggi terjadi pada saat krisis 1998 yang tembus hingga 75 persen. Dari situ, rasa-rasanya inflasi jahat banget. 

Namun, setelah menjadi jurnalis ekonomi di salah satu media di Jakarta, saya menyadari, inflasi lebih mudah dikendalikan ketimbang deflasi. Apalagi, inflasi yang ‘sehat’ bisa dibilang menjadi indikator ekonomi sedang tumbuh dengan baik. 

Inflasi bisa dikendalikan dengan menaikkan suku bunga bank sentral. Itu jurus mujarab jika terjadi pada inflasi ‘sehat’. Artinya, bank sentral membatasi peredaran uang di masyarakat dengan menaikkan suku bunga acuan yang berimbas ke suku bunga kredit dan deposito. Masyarakat pun bakal tertarik simpan uang di deposito atau obligasi negara. 

Bayangkan, ketika terjadi deflasi, harga turun karena permintaan turun. Harga produk sudah murah, tapi tidak ada yang beli. Suku bunga diturunkan pun belum tentu jadi penyelamat deflasi yang ‘tidak sehat’. Butuh bantuan kebijakan fiskal dan guyuran uang dari anggaran negara untuk menggairahkan permintaan masyarakat yang lesu akibat inflasi. koreksi jika salah ya!

Apa Itu Inflasi Sehat dan Tidak Sehat?

ketika inflasi tidak sehat

Inflasi sehat adalah inflasi yang terjadi dengan dukungan pertumbuhan ekonomi yang solid hingga jumlah pengangguran yang berkurang. Artinya, ada kenaikan permintaan di masyarakat yang membuat nilai uang menjadi turun. 

Namun, inflasi sehat bisa menjadi tidak sehat jika dibiarkan terus tumbuh liar tanpa stabilisasi. Inflasi yang sehat bukanlah inflasi yang tinggi atau naik-turun drastis, melainkan inflasi yang stabil. 

Adapun, inflasi tidak sehat terjadi ketika kenaikan harga barang bukan disebabkan permintaan masyarakat, melainkan kenaikan harga bahan baku akibat faktor eksternal. Kondisi tidak sehat bisa terjadi ketika permintaan dari masyarakat belum pulih, tapi harga sudah meningkat. 

Akhirnya, ada potensi penurunan permintaan dari masyarakat dan harga justru terus naik. Ujung-ujungnya, inflasi naik, tapi pertumbuhan ekonomi malah melambat ditambah tingkat pengangguran meningkat, istilah kerennya adalah Stagflasi. 

Ketika terjadi stagflasi, kenaikan suku bunga bank sentral belum tentu jadi jurus mujarab meredam kenaikan inflasi, Malah, bisa jadi berbalik menekan perekonomian. 

Kenapa Kalau Inflasi Tinggi Suku Bunga Naik? 

Seluruh kegiatan ekonomi itu dibentuk oleh supply alias ketersediaan barang dan demand alias permintaan. Ditambah, intervensi pemerintah maupun mafia di pasar. Semua itu berlaku mulai beli jajanan, sembako, hingga investasi saham. 

BACA JUGA: Pengalaman Investasi Emas Saat Kenaikan Suku Bunga

Ketika inflasi tinggi, ada dua kemungkinan permintaan yang besar dari masyarakat atau harga bahan baku yang naik. Namun, indikasi utama, inflasi tinggi disebabkan oleh peredaran uang yang banyak karena permintaan tinggi dari masyarakat. 

Untuk itu, demi meredam peredaran atau supply uang yang besar itu, lembaga moneter, yakni bank sentral, perlu mengurangi jumlah peredaran uang untuk sementara. 

Caranya bukan narik uang yang ada di masyarakat langsung secara manual. Namun, dengan beberapa instrumen moneter, salah satunya suku bunga acuan. 

Dengan menaikkan suku bunga acuan, perbankan mungkin lebih tertarik simpan uangnya dalam bentuk surat berharga bank sentral atau obligasi ketimbang menyalurkan kredit yang berisiko. Begitu juga masyarakat, kenaikan suku bunga bisa jadi pendorong mereka untuk menempatkan dana di deposito atau obligasi. 

Di sini, secara teoritis, dana yang ada atau harusnya ke masyarakat secara otomatis terserap ke sistem keuangan. Dengan peredaran uang yang menurun, tingkat inflasi pun diharapkan bisa turun secara bertahap. 

Apa yang Terjadi ke Kehidupan Kita Ketika Inflasi dan Suku Bunga Naik? 

data inflasi dan suku bunga BI
Data inflasi Indonesia 2005-2022 yang tercermin dari garis biru, sedangkan data suku bunga acuan Bank Indonesia dari garis merah. / Data Bank Indonesia dan BPS

Jujur, jika ditanya apa yang akan terjadi ke kehidupan kita ke depannya saat inflasi atau suku bunga berada di level tinggi, saya tidak bisa jawab apapun. Alasannya, kondisi setiap orang berbeda. Bahkan, kondisi setiap orang dari tahun ke tahun bisa berubah. 

Sebagai gambaran, saya akan menceritakan pengalaman ketika menghadapi inflasi dan suku bunga tinggi. Ada tiga periode inflasi dan suku bunga tinggi yang saya ambil, yakni pada 2005, 2008, dan 2013-2014. 

Pengalaman Hadapi Inflasi dan Suku Bunga Tinggi pada 2005

ketika tukang gorengan naikin harga

Saya masih berusia 15 tahun saat 2005 atau setara kelas 8 SMP saat itu. Inflasi Indonesia pada 2005 cukup tinggi sebesar 17,11 persen dibandingkan dengan 6,4 persen pada 2004. Tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia saat itu juga tinggi sebesar 12,75 persen. 

Hal yang saya rasakan sepanjang 2005 adalah kenaikan harga beberapa jajanan yang signifikan. Sebelumnya, saat masih kelas 1 SMP, uang Rp1.000 bisa mendapatkan 5 gorengan, tetapi ketika 2005 uang Rp1.000 hanya bisa mendapatkan 3 gorengan. 

Beberapa pedagang memutar otak agar harga produknya bisa tetap terjangkau oleh anak-anak SMP. Salah satunya, tukang burger yang membagi beef sliced menjadi 4 bagian. Jadi, setiap burger hanya mendapatkan seperempat daging, tapi memang harganya jadi murah, yakni sekitar Rp2.000 per burger.

Ongkos angkutan umum dan ojek juga mengalami kenaikan. Angkot yang tadinya Rp1.000 sekali jalan, naik menjadi Rp1.500. Ojek juga yang tadinya Rp2.000 menjadi Rp3.000. Hal itu juga didorong oleh kenaikan harga BBM Premium yang naik menjadi Rp4.500 per liter dibandingkan dengan Rp1.800 per liter pada periode sebelumnya. 

Sebagai pelajar SMP, saya pun hanya bisa mengernyitkan dahi karena uang jajan tidak naik, tetapi seluruh jajanan dan ongkos meningkat. Dalam hati, nggak bener nih pemerintah

Pengalaman Inflasi dan Suku Bunga Tinggi Pada 2008

Saya berusia 18 tahun atau setara kelas 11 SMA pada 2008. Saat itu, inflasi Indonesia sekitar 11,06 persen dibandingkan dengan 6,59 persen pada 2007. Tingkat suku bunga juga berada di level 9,25 persen dibandingkan dengan 8 persen pada 2007. 

Hal yang saya rasakan ketika inflasi dan suku bunga tinggi 2008 rada mirip dengan 2005, yakni kenaikan harga jajanan dan angkutan umum. Apalagi, ketika BBM Premium dinaikkan hingga tembus Rp6.000 per liter saat itu. 

BACA JUGA: Harga BBM di Indonesia Selalu Naik, Mitos atau Fakta?

Paling ingat, harga nasi+katsu naik dari Rp4.500 menjadi Rp5.000 per porsi. Harga soto juga naik dari Rp2.500 menjadi Rp3.000. Ongkos angkutan umum naik dari Rp1.500 menjadi Rp2.000. Namun, beberapa anak sekolah, termasuk saya suka bandel dengan tetep kasih Rp1.500 setelah itu kabur. 

Namun, kenaikan harga pada periode 2008 memang tidak separah saat 2005. Padahal, saat itu AS sedang mengalami krisis keuangan. Hal itu mungkin disebabkan karena kehidupan saya juga masih bergantung terhadap orang tua. 

Pengalaman Inflasi dan Suku Bunga Tinggi Pada 2013-2014

Berbeda dengan periode 2005 dan 2008, saya sudah berada di masa akhir kuliah dan periode awal bekerja pada medio 2013-2014. Inflasi Indonesia selama dua tahun berturut-turut berada di level 8 persen dibandingkan dengan 4 persen pada 2012. Lalu, tingkat suku bunga acuan berada di sekitar 7,5 persen dibandingkan dengan 5,75 persen pada periode sebelumnya. 

Jujur, meski inflasi naik tinggi dan saya sudah hidup sendiri nge-kost, meski masih dapat uang jajan. Tidak ada dampak signifikan yang terasa dari inflasi pada 2013-2014. Entah, mungkin waktu itu lagi pusing mikirin skripsi. 

Salah satu yang saya ingat, ada kenaikan harga travel dari Jatinangor-Bandung pada medio itu dari Rp10.000 menjadi Rp15.000. Namun, angka detailnya saya lupa dan waktu itu tidak terpikirkan karena efek inflasi maupun kenaikan BBM menjadi Rp8.500 per liter dari Rp6.500 per liter. 

Soalnya, itu travel juga baru meluncur, jadi sempat mengira memang masa promosinya saja habis. Secara keseluruhan, tidak merasakan kenaikan harga makanan. Mungkin karena di daerah kampus sehingga yang disesuaikan porsi dan komponen bumbunya. 

Bahkan, saat mulai kerja tahap awal pada kuartal II/2014, saya tidak merasakan kenaikan harga. Soalnya, sudah sekitar 4,5 tahun hidup di Jatinangor, ketika sampai Jakarta ya semua harga sudah naik juga tanpa tahu harga awalnya. Paling ingat, harga gorengan di Jakarta saat itu sudah menjadi Rp1.500 per gorengan dan paket 4 gorengan senilai Rp5.000. Angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 2005 dan 2008 kan?

Dari sini, saya mengakui belum pernah menghadapi inflasi dan suku bunga tinggi secara mandiri. Bahkan, ketika tingkat suku bunga tinggi pada tiga periode itu, saya juga tidak memikirkan akan menempatkan uang di mana? deposito atau SBN ritel, atau saham?

Saat ini, ketika suku bunga naik, mungkin saya sedikit sumringah karena ada sedikit dana darurat ditempatkan di deposito salah satu bank besar. Soalnya, suku bunga deposito bakal naik dari posisi saat ini cuma 1,5 persen untuk tenor satu bulan. 

Namun, jadi pusing juga, kalau inflasi naik dan suku bunga naik, bakal kerepotan rencana ambil kredit pemilikan rumah (KPR). Namun, apakah kenaikan inflasi dan suku bunga acuan bakal berdampak seperti ekspektasi saya tersebut? ya tidak ada yang tahu sih

Coba ceritakan dong pengalamanmu selama menghadapi periode inflasi dan suku bunga tinggi?

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.