Cerita Panjang Penyebab Mie Instan Jadi Makanan Populer di Indonesia

mie instan warmindo

Mie instan memang tidak mampu menggantikan nasi sebagai makanan pokok mayortias masyarakat Indonesia. Namun, mie instan tetap memiliki posisi sendiri di hati masyarakat. Hal itu terlihat dari banyaknya kedai mie instan di Indonesia, mulai dari pinggir jalan hingga kekinian. Apa yang membuat orang Indonesia ketagihan dengan mie instan? 

Cerita Konsumsi Mie Instan orang Indonesia

World Instant Noodles Association (WINA) mencatat Indonesia adalah negara konsumen mie instan terbesar kedua di dunia setelah China. Sepanjang 2021, total konsumsi mie instan di Indonesia mencapai 13,27 miliar bungkus. Angka itu tumbuh 4,98 persen jika dibandingkan dengan konsumsi pada 2020 yang sebanyak 12,64 miliar bungkus.

Dengan asumsi harga mie instan per bungkus senilai Rp2.500, artinya seluruh produsen mie instan di Indonesia sudah mendapatkan omzet Rp33 triliun per tahun pada 2021. Angka itu hanya dari produk mie instan ya, belum termasuk produk lainnya.

Jika ditarik ke belakang, minat masyarakat Indonesia untuk konsumsi mie instan juga didorong oleh pemerintah dan juga Grup Salim. 

Indonesia mengalami defisit beras setelah merdeka pada 17 Agustus 1945. Akhirnya, Indonesia melakukan impor beras untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakatnya. 

Data konsumsi mie instan dunia
Data konsumsi mie instan di berbagai negara dunia menurut estimasi World International Noodle Association (WINA) per 2021.

Pemerintahan Soekarno sudah berupaya untuk mencapai swasembada beras dengan berbagai program mulai Rencana Kemakmuran Kasimo (1952-1956), Padi Sentra (195901962), Demonstrasi Massal (1963-1964) hingga Bimbingan Massal (1964-1965). 

Nah, pemerintahan Orde Baru melanjutkan program Soekarno, yakni Bimbingan Massal yang terangkum dalam setiap Pembangunan Lima Tahun (Pelita).

Pemerintah Orde Baru berupaya mencapai swasembada beras karena merupakan makanan pokok mayoritas masyarakat Indonesia. Tercatat, 60 persen sumber karbohidrat Indonesia pada medio 1960-1970-an adalah beras. 

Bahkan, kebutuhan protein juga diambil dari makanan olahan dari beras. Bisa dibilang mulai dari sarapan, makan siang, dan makan malam orang Indonesia harus menyicipi berbagai hal terkait beras. 

Dalam upaya swasembada beras, pemerintah Orde Baru tidak hanya berfokus meningkatkan produksi, tetapi juga mengendalikan permintaan. Salah satu caranya adalah dengan menggalakkan program Keluarga Berencana (KB) hingga kampanye alternatif karbohidrat seperti dari roti, jagung, sagu, singkong, hingga beras imitasi dari tepung terigu. Nah, salah satu solusi lainnya yang cukup digemari adalah mie instan. 

Proyek Tepung Terigu Indofood

Namun, sumber karbohidrat alternatif dari tepung terigu juga kurang efisien. Soalnya, Indonesia bukanlah negara produsen gandum, bahan baku tepung terigu. Akhirnya, beban impor gandum juga meningkat jika konsumsi mie instan dan roti digenjot. 

Di tengah kegundahan itu, diskusi antara Bustanil Arifin yang sempat menjadi Kepala Bulog dan Menteri di Era Orde Baru dengan konglomerat Robert Kuok menemukan solusi. Kuok mengatakan kenapa Indonesia tidak bangun pabrik penggilingan gandum sendiri saja? 

BACA JUGA: Saham Indofood CBP vs Unilever Adu Kuat Produsen Mie Instan Lawan Sabun Mandi

Dengan membuat pabrik penggilingan gandum, Indonesia hanya perlu mengimpor gandum mentah yanng biayanya lebih murah ketimbang barang jadi. 

Solusi itu seolah bersamaan dengan curhatan Liem Sioe Liong atau Sudono Salim dan sering disebut Om Liem ke Presiden ke-2 Indonesia Soeharto. Sudono Salim dengan Soeharto memang dikabarkan cukup dekat sebagai sahabat.

Dalam buku Presiden ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita Buku XVII pada 1995 menceritakan kalau Soeharto memberikan saran bisnis yang bisa dijalankan oleh Sudono Salim. 

“Saya berikan petunjuk, saya bilang, kamu jangan hanya dagang cari untung, tapi bangun industri yang dibutuhkan masyarakat. Misalnya, pangan,” ujar Soeharto saat itu. 

Hasilnya, Sudono Salim dengan tiga koleganya, Djohar Sutanto, Ibrahim Risjad, dan Sudwikatmono, nama terakhir juga bagian keluarga dari Soeharto, mengajukan proposal proyek pabrik penggilingan gandum ke pemerintah Indonesia. Hasilnya, proposal itu disetujui. 

Perusahaan penggilingan gandum bernama PT Bogasari Flour Mill pun didirikan pada Mei 1969 dengan modal awal Rp500 juta. Kapasitas produksi awal hanya 650 ton per hari, tapi kapasitas itu terus meningkat hingga 9.500 ton per  hari pada 1990-an.  

Saat baru didirikan, Bogasari juga mendapatkan pinjaman senilai Rp2,8 miliar dari bank. Bogasari mendatangkan mesin giling langsung dari Jerman Barat, sedangkan gandum diimpor dari Australia. 

Skema bisnis Bogasari kala itu, perseroan berperan sebagai pabrik penggilingan gandum yang bahan bakunya didapatkan dari Bulog. Nantinya, hasil produksi bakal distribusikan juga oleh Bulog. 

Selain itu, Richard Robinson dalam Indonesia: The Rise of Capital mencatat 26 persen keuntungan Bogasari akan diberikan kepada Yayasan Harapan Kita yang dipimpin Siti Hartinah Soeharto dan Yayasan Dharma Putra milik Kostrad yang pernah dipimpin Soeharto. 

Kenapa Harus Sudono Salim?

Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam buku Liem Sioe Lion dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto mencatat pengakuan Anthoni Salim, anak dari Om Liem yang mengakui tanpa peran Robert Kuok, mungkin proyek pabrik penggilingan gandum tidak akan menjadi milik Grup Salim. 

Di sisi lain, Bustanil Arifin yang sempat menjabat Kepala Bulog dan Menteri di era Orde Baru menilai ada dua modal kuat Sudono Salim dalam mengerjakan proyek pabrik penggilingan gandum tersebut. Pertama, Salim punya lahan besar di Jakarta Utara sehingga proses pengiriman impor gandum ke pabrik bisa lebih cepat. Kedua, Salim punya kedekatan dengan Presiden Soeharto. 

Kedekatan Sudono Salim dengan Soeharto
Sudono Salim dan Soeharto memiliki kedekatan sejak lama. Kabarnya, kedekatan itu terjadi sejak Sudono menjajal bisnis logistik dan obat-obatan saat perang pergerakan nasional ketika masa penjajahan Jepang 1942. / Sumber: Republika

Benar saja, pabrik Bogasari memang didirikan di Tanjung Priok, Jakarta Utara yang mulai beroperasi sejak 1972. Dari situ, Bogasari meluncurkan tiga merek produk, yakni Cakra Kembar, Segitiga Biru, dan Kunci Biru. 

Bogasari pun ekspansi secepat kilat dengan membangun pabrik kedua di Tanjung Perak, Surabaya, pada 1972. Bahkan, Bogasari bikin pabrik kantong terigu sendiri di Citeureup Jawa Barat pada 1977. 

Jejak Mie Instan di Indonesia Sejak 1968

Di tengah adanya selisih defisit antara produksi dengan konsumsi beras yang tinggi, mie instan memang menjadi alternatif yang paling disukai ketimbang beras imitasi dari tepung terigu. 

Jika kita mengenal salah satu perusahaan Grup Salim, yakni Indofood sebagai raja mie instan dengan merek Indomie. Padahal, mereka bukanlah pelopor mie instan di Indonesia maupun pendiri dari Indomie. 

Pelopor mie instan di Indonesia adalah produk Supermi yang didirikan oleh Sjarif Adil Sagala dan Eka Widjaya Moeis pada 1968. Mereka bekerja sama dengan Sankyu Shokushin Kabushiki Kaisha dari Jepang, tempat awal dibuatnya mie instan.

Supermi memproduksi mie instan dengan bantuan teknis maupun bahan baku langsung dari Jepang.

Dua tahun kemudian, Djajadi Djaja, Wahyu Tjuandi, Ulong Senjaya, dan Pandi Kusuma juga mendirikan bisnis mie instan bernama Indomie pada 1970 lewat Sanmaru Food Manufacturing. Mulai beroperasi pada 1972, Indomie dan Supermi pun bersaing untuk menjadi pemimpin pasar mie instan di Indonesia kala itu.

Lalu, bagaimana tiba-tiba Indomie dan Supermie malah jadi milik Indofood? 

Kabar Potensi Permintaan Mie Instan Meningkat yang Nyatanya Harapan Palsu

Indonesia makin krisis beras pada 1978. Harga beras naik signifikan karena pasokan yang kian menipis. Pemerintah Indonesia sampai menganggarkan dana hingga 600 juta dolar AS pada tahun itu untuk impor beras. 

Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dapat tunjangan beras bahkan berpotensi diberikan mie instan jika kondisi pangan Indonesia terancam. Yaps, mie instan adalah bahan makanan pokok alternatif jika beras benar-benar sulit dibeli. 

Di sini, Grup Salim punya modal kuat untuk mengantisipasi lonjakan permintaan mie instan. Soalnya, mereka sudah punya pabrik penggilingan gandum, meski belum punya bisnis mie instan kala itu. 

Sampai akhirnya, Om Liem mendirikan pabrik mie instan dengan merek Sarimi melalui PT Sarimi Asli Jaya pada 1980-an.  

Hal itu dilakukan untuk merespons rencana pemerintah Indonesia yang berencana membeli banyak mie instan. Namun, nyatanya rencana itu batal dilakukan. 

Indonesia justru mencatatkan swasembada pangan pada 1984-1988. Kondisi itu justru malah berpotensi merugikan bisnis Grup Salim sebagai produsen tepung terigu dan mie instan. Bahkan, mesin penggilingan gandum Grup Salim bisa karatan jika permintaan semakin turun. Ditambah pasokan Sarimi sudah menumpuk di gudang karena harga beras kembali stabil akibat swasembada pangan. 

Strategi Sudono Salim Agar Tidak Rugi Banyak

Om Liem pun tidak menyerah begitu saja. Salah satu strategi bertahan hidup yang dilakukannya adalah mendekati salah satu produsen mie instan besar kala itu, yakni Indomie. Menurutnya, bersaing dengan Indomie kala itu sama saja dengan bunuh diri.

Djajadi sebagai pemilik Indomie ditawarkan untuk berkolaborasi dengan Bogasari maupun Sarimi. Nantinya, Indomie bisa menggunakan fasilitas produksi gandum dan mie instan yang dimilikinya. Namun, Djajadi menolak tawaran kerja tersebut. 

Akhirnya, Om Liem melakukan strategi promosi agresif untuk menaikkan pangsa pasar Sarimi. Caranya, harga jual Sarimi dibuat jauh lebih murah dari Indomie. Modal yang dikeluarkan memang cukup besar, tapi setelah Sarimi mampu kuasai pangsa pasar mie instan Indonesia sekitar 40 persen, Djajadi luluh berkolaborasi dengan Grup Salim. 

Bungkus Indomie zaman dulu
Bungkus Indomie zaman dulu. / Sumber: Bombastis

Om Liem menawarkan kerja sama dengan membuat perusahaan patungan bernama PT Indofood Interna pada 1984. Djajadi lewat Sanmaru memegang 57 persen saham Indofood, sedangkan Salilm memegang 43 persen. 

Dua tahun setelah kerja sama dilakukan atau pada 1986, Indofood melakukan akuisisi Indomie. Pada tahun yang sama, Supermi juga diakuisisi dan menjadi bagian Indofood. 

Lalu, nama Djajadi dari Sanmaru pun sudah tidak menjadi pemegang saham di Indofood sejak 1992. Dari situlah, kisah Indofood si raja mie instan bisa memiliki tiga merek, yakni Supermi, Sarimi, dan Indomie. 

Kenapa Swasembada Beras Indonesia Hanya Sekejap?

Permintaan mie instan tidak lantas makin turun setelah Indonesia mampu swasembada beras pada 1984-1988. Pasalnya, swasembada beras Indonesia tidak bertahan lama. Dengan begitu, potensi bisnis mie instan pun cenderung naik setelah periode swasembeda beras meredup. 

Nyatanya, swasembada beras hanya bertahan sesaat. Setelah produksi beras mencatatkan kenaikan tahunan hingga 7,8 persen pada 1984, tren pertumbuhan produksi malah makin lambat. Sampai 1987 produksi beras Indonesia cuma naik 0,7 pesen.  

Radius Prawiro yang pernah menjabat sebagai menteri keuangan Indonesia mengungkapkan misi swasembada beras bagi Indonesia seperti misi apolo ke bulan bagi Amerika Serikat. 

“Swasembada beras relatif mudah direncanakan, tapi rumit untuk dicapai,” ujarnya. 

Yaps, masalah swasembada beras Indonesia 1984-1988 bukan cuma produksi yang makin lambat, tapi juga kualitas beras yang kian turun. Kenaikan produksi beras yang tinggi pun memberikan dampak hasil panen kualitas rendah. Hasilnya, harga beras turun karena kualitasnya jelek, meski ada potensi penurunan pasokan.

Kondisi makin sulit dipertahankan karena pemerintah Orde Baru mulai mengalihkan fokus dari pertanian ke industri sejak 1988. Lahan pertanian pun kian menyusut sehingga program swasembada beras dengan meningkatkan produksi berpotensi lebih mahal daripada impor. 

Dari situ, Soeharto mengalihkan fokus swasembada beras menjadi program diversifikasi pangan. Soeharto pun mencanangkan gerakan Aku Cinta Makanan Khas Indonesia pada 1993 untuk mengedukasi masyarakat mengoptimalkan alternatif makanan pokok yang tersedia dan khas Indonesia seperti singkong hingga sagu. 

Solusi Lain Selain Swasembada Beras

Ada pernyataan menarik dari Menteri Perkebunan dan Pertanian Indonesia pada 1964 dan 1966 Frans Seda. Dia menilai masalah pangan bukan bicara kemampuan swasembada. 

Dalam sistem ekonomi uang, yang penting adalah kemampuan untuk meningkatkan pendapatan. Ketersediaan pangan memang harus mecukupi. Namun, tidak harus melalui swasembada. 

“Kalau tingkat pendapatan masyarakat bagus, mereka bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri,” ujarnya. 

Artinya, di sini Seda ingin menyebutkan harga beras diserahkan kepada pasar. Jika pemerintah mampu membuka lapangan kerja dan tingkat penghasilan masyarakat meningkat, maka harga beras naik setinggi langit masih bisa dibeli. 

Nah, dari kenaikan harga beras dan konsumsi yang tetap, produsen beras mendapatkan keuntungan yang lebih besar untuk meningkatkan produksi. Hasilnya, ketika produksi sudah meningkat dengan baik tanpa menurunkan kualitas, harga beras juga kembali normal. 

Akhir Kata

Dari sini, keberadaan mie instan di Indonesia memang menjadi solusi jangka pendek untuk pemenuhan pangan jika terjadi kelangkaan atau kenaikan harga makanan pokok. Harga mie instan yang murah dan konon sudah memiliki gizi yang diatur bisa jadi solusi jangka pendek. 

Masyarakat Indonesia juga mulai terbiasa makan mie instan karena arah kebijakan dari pemerintah yang sempat menggencarkan alternatif karbohidrat. Banjirnya berbagai macam produk mie instan pada medio 1970-1980-an untuk memperebutkan pangsa pasar juga menjadi titik awal masyarakat Indonesia yang hobi mengonsumsi mie instan.

Hasilnya, kebiasaan makan mie instan pun terus jadi kebiasaan turun temurun dan membuat tingkat konsumsi mie instan di Indonesia cukup tinggi. Bahkan, mie instan juga menjadi ladang bisnis usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) lewat Warmindo, burjo, atau apapun namanya itu. 

Peran mie instan bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia, tetapi juga membantu menggerakkan perekonomian Indonesia. Bayangkan kalau permintaan mie instan turun drastis, bagaimana nasib warmindo, burjo, dan kawan-kawannya?

Di luar itu, saya ingat waktu sekolah dasar dulu mengobrol dengan teman membicarakan kebiasaan makan mie instan. Bagi kami, yang bukan orang konglomerat, mie instan adalah makanan pokok. Namun, bagi mereka yang kaya mungkin mie instan adalah kudapan alias cemilan. Setidaknya itulah mindset saya dan beberapa teman waktu kecil karena dijejali berbagai iklan mie instan di televisi saat itu. 

Jadi, apa nih mie instan favorit kamu?

Referensi:

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.