Bookbar mungkin masih menjadi hal yang tabu di Indonesia, tetapi buku dikombinasikan dengan bar disebut tengah tren di China.
Akun Twitter @Mentimoen membuat sebuah thread yang menceritakan tren Bookbar atau disebut Shuba di China. Di sana, pengunjung bisa mendengar musik, membaca buku, sampai diskusi dengan orang tak dikenal.
Shuba disebut adalah perubahan tren yang terjadi di Negeri Tirai Bambu tersebut. Sebelum era Bookbar, tren di sana adalah Internet Bar alias Wangba.
Dalam buku berjudul Globalization and Cultural Trends in China karya Kang Liu menuliskan, keberadaan Wangba mencapai puncaknya pada 2002.
Ketika musim panas 2002, penulis mengunjungi sekitar 30 internet cafe di Nanjing, 12 di Beijing, dan 3 di Shanghai. Internet Cafe itu rata-rata terdiri dari 20 sampai 30 komputer dengan ukuran ruangan sekitar 30-40 meter persegi.
BACA JUGA: Detective Conan, Kehancuran Marina Bay
Namun, puncak era Wangba itu diwarnai dengan tragedi ketika ada kebakaran di sebuah internet cafe. Kebakaran internet cafe itu hingga menewaskan 25 anak muda di sana.
Korban tewas terjadi karena bentuk ruangan internet cafe yang tidak ada jendela. Hal itu membuat pengunjung maupun pekerja di sana tidak bisa melarikan diri ketika terjadi kebakaran.
Adapun, bentuk ruangan Wangba yang terkesan tertutup itu akibat pemiliknya beroperasi secara ilegal hingga tengah malam. Ruangan pun dikunci untuk menyembunyikan aktivitas internet cafe tersebut.
Namun, era Wangba sudah berakhir dan menuju perkembangan yang lebih baik yakni, Shuba.
Bookbar, Wisata ke Toko Buku
Tren toko buku memang semakin menurun, terutama di Amerika Serikat (AS). Serbuan toko daring menjadi salah satu faktor utamanya.
Bahkan, Jepang meluncurkan film berjudul Tatakau! Shoten Girl tentang perjuangan toko buku bertahan di tengah serbuan toko daring.
Film itu menceritakan toko buku bernama Pegasus Bookstore yang terus mencatatkan penurunan penjualan buku. Namun, para pegawainya tidak menyerah dan terus berinovasi untuk bisa mempertahankan nasib toko buku tersebut.
Namun, kisah di atas tidak terjadi di China. Pasalnya, toko buku di sana tetap disukai dan berevolusi menjadi gaya hidup.
Salah satunya, kombinasi toko buku dengan kafe ditambah tempat duduk santai, serta musik yang menghibur.
Bahkan, toko buku menjadi salah satu pilihan wisata turis yang berkunjung ke China. Ada yang sengaja transit 2 hari di China untuk mengunjungi toko buku di sana.
@Mentimoen pun menyebutkan, pemerintah China Utara membangun Shuba kecil di pantai. Jadi, pengunjung yang sudah puas berenang di pantai bisa membaca gratis di tenda kecil penuh dengan buku.
Toko Buku untuk Berkarya
Menariknya lagi, toko buku di China menyediakan tempat duduk dan mempersilahkan pengunjung untuk membacanya.
@Mentimoen menceritakan, dia pernah berkunjung ke salah satu toko buku kecil di China yang bentuknya seperti rumah kuno. Toko buku itu menyediakan kursi dan sofa untuk mempersilahkan pengunjung membaca.
“Saya tertarik dengan deretan jurnal di raknya. Ternyata, itu adalah jurnal hasil tulisan pengunjung,” tulisanya dari utasan Twitter.
Ide dari jurnal itu adalah terkadang ada pesan yang ingin disampaikan kepada orang lain, tetapi sangat sulit untuk melakukannya. Keberadaan jurnal itu menjadi solusinya.
“Jurnal ditulis dengan tulisan tangan, identitas penulis, dan untuk siapa pesan itu ditunjukkan, serta waktu menulisnya,” ulasnya dalam utasan di Twitter.
Harapannya, sang target khalayak bisa datang ke tempat yang sama di masa depan. Lalu, dia membuka jurnal itu dan membaca tulisan yang sudah ada sejak bertahun-tahun silam.
Di penutupan utasannya, @Mentimoen merekomendasikan sebuah film tentang toko buku kecil yang berjudul The BookShop. Kisahnya, tentang seorang perempuan yang membangun toko buku hingga melahirkan gosip di kota kecil Inggris tersebut.
Memimpikan Toko Buku yang Kece
Respons warganet setelah melihat utasan @Mentimoen itu seolah setuju dengan daya tarik toko buku di China. Salah satunya @Jelitapekerti yang menunjukkan foto perpustakaan kampus di China.
“Perpustakaan kampusnya selucu ini, sambil belajar bisa pesan minuman dan ada jualan stasionary serta merchandise universitasnya juga,” ujarnya.
Dia juga menunjukkan salah satu foto toko buku di Xi An yang memiliki desain keren.
“Mas atau mbanya juga ramah dan bisa pesan minuman serta kue juga,” ulasnya dengan membalas utasan @Mentimoen.
Tak hanya itu, @Aluhaar pun langsung berimajinasi untuk menyendiri dan bersantai di toko buku tersebut.
Ada juga @Kurmanabi yang mengingat kunjungannya ke Teabank Shenzhen.
“Udah senang lihat banyak buku, tetapi ketika baca halaman pertama buku langsung tutup lagi. Soalnya, enggak ngerti bahasanya,” ujarnya.
Kafe Buku di Indonesia
Di Indonesia pun sudah ada beberapa kafe buku. Salah satunya Milkoe Bistreau yang berada di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD).
Ketika sampai di sana, ruangan kafe tidak terlalu megah. Dengan ruangan berbentuk persegi panjang dibiarkan melompong dan hanya diisi oleh kursi dan rak buku.
Posisi rak buku ada di sisi kiri dari pintu masuk, sedangkan posisi kasir ada di tempat paling belakang dekat dapur.
Suasana yang diberikan cukup nyaman, dengan penerangan yang tidak terlalu terang maupun redup, ditambah alunan lagu yang santai dengan tingkat volume tidak terlalu keras juga.
Sangking nyamannya, keberadaan wifi tidak membuat saya untuk bermain dengan ponsel atau komputer jinjing. Melainkan, lebih memanfaatkan waktu di sana untuk membaca buku yang sudah tersedia.
Kalau dilihat dari segi jenis buku yang tersedia, mayoritas buku pengetahuan umum, novel, dan ada buku psikologi yang cukup menarik perhatian.
Selain itu, ada juga buku sejarah, buku anak-anak, dan komik.
Namun, saya mengunjungi tempat itu pada 20 Agustus 2017 dan belum berkunjung lagi ke sana. Namun, melihat postingan di Instagram, sampai 29 April 2019, cafe buku itu masih ada.
Ada rekomendasi kafe buku atau sejenis bookbar yang menarik untuk dikunjungi lainnya? yuk berbagi informasinya.