Kata investasi sering muncul di berbagai media arus utama maupun sosial. Banyak influencer keuangan yang mengajak investasi sejak dini, katanya biar nggak melahirkan generasi sandwich selanjutnya. Namun, banyak juga yang sudah investasi selama setahun atau dua tahun, tapi tidak merasakan nikmatnya keuntungan. Jadi, kenapa kita harus investasi?
- Alasan Kita Harus Investasi
- Salah Kaprah Investor Tidur, Bisa Cuan Sambil Merem
- Investasi: Masalah Waktu dan Keberuntungan
- Penyesalan Saya Saat Melihat Harga Saham TLKM Lagi Murah
- Borong BBRI Saat Rights Issue
- Peluang Stock Split BBCA Dalam Bayang-bayang UNVR
- Saham SMGR yang Sudah Turun Cukup Dalam, Apakah Kali Ini Beruntung Lagi?
Alasan Kita Harus Investasi
Alasan kuat kenapa kita harus berinvestasi sebenarnya berhubungan erat dengan artikel saya sebelumnya, tentang Hal yang Kamu Alami Saat Inflasi dan Suku Bunga Tinggi.
Artikel saya itu berisi tentang apa itu inflasi dan apa sih dampak sebenarnya inflasi ke kehidupan kita. Inflasi adalah momentum di mana nilai uang mengalami penurunan yang membuat harga barang menjadi tinggi. Ibaratnya, kamu bisa membeli 50 gorengan dengan uang Rp5.000 pada 1990-an, tapi kini hanya bisa beli maksimal 3 gorengan, itu pun dengan bonus dari penjual gorengannya.
Penurunan nilai mata uang akibat inflasi itu tidak terasa. Banyak yang menyebut inflasi adalah the silent killer. Mungkin terlalu hiperbola, tapi memang benar. Bayangkan, saya ingat waktu SMA pada medio 2006-2008, harga burger di Mcdonalds itu sekitar Rp5.000. Kini, harganya sudah tembus Rp20.000-an.
Apakah saya berhenti membeli ketika harga burger itu meningkat berkali-kali lipat? tentu saja tidak. Saya akan tetap membeli selama memiliki uang. Namun, nilai uang yang ada sudah mengalami penurunan, sehingga dibutuhkan usaha lebih banyak untuk menerima pendapatan yang bisa menyesuaikan dengan penurunan nilai.
Nah, di sini investasi bertujuan untuk melindungi uang yang kita miliki dari ancaman inflasi. Ibaratnya, investasi adalah gudang yang menyimpan uang kita agar tidak terkena serangan seperti inflasi.
Saya tidak menapik investasi bisa membuat seseorang menjadi kaya, tapi tujuan utama inflasi bukanlah untuk menjadi kaya raya. Bahkan, jalan menjadi kaya raya lewat investasi hampir pasti tidak mungkin.
Salah Kaprah Investor Tidur, Bisa Cuan Sambil Merem
Saya pertama kali mendengar cerita investor tidur dari salah satu investor kawakan di Indonesia, yakni Lo Kheng Hong (LKH). Sosok yang sering disebut Warren Buffett Indonesia itu bisa dibilang berada di kubu para value investing, yang mengaku bisa tidur nyenyak walaupun pasar saham bergejolak.
Apakah istilah investor tidur dari LKH itu salah? oh tidak, itu bisa jadi benar. Bahkan, LKH dan kawan-kawan juga bisa tidur nyenyak, meski IHSG berfluktuasi naik-turun. Mereka menanti saham value investing selanjutnya yang diburu. Soalnya, tidak mudah menemukan saham value investing dan tidak cepat juga bisa cuan dengan strategi investasi tersebut.
Namun, tidak semua orang bisa menjadi investor tidur seperti LKH. Bahkan, hampir mustahil untuk menjadi investor tidur. Alasannya, menjadi investor tidur butuh modal besar. Bisa mendapatkan pendapatan pasif dari dividen juga butuh modal besar.
Sebagai contoh, saya ambil PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG) yang total bagikan dividen Rp3.040 per saham pada 2022. Salah satu saham yang memiliki tingkat dividen yield menarik pada 2022 karena kenaikan laba bersih 2021 yang didorong kenaikan harga batu bara dunia.
Jika kebutuhan sehari-hari saya memakan biaya sekitar Rp10 juta per bulan. Artinya, saya butuh pendapatan pasif senilai Rp120 juta per tahun. Jika ingin mendapatkan pendapatan pasif dari dividen ITMG, artinya saya harus memiliki 400 lot saham batu bara tersebut.
Andai dihitung dengan harga penutupan pasar 23 Mei 2022, total investasi yang dibutuhkan sekitar Rp1,3 miliar. Angka yang cukup besar, bahkan hanya bisa dicapai jika saya bekerja penuh tanpa makan dan liburan selama 10 tahun.
Investasi: Masalah Waktu dan Keberuntungan
Namun, masalah investor tidur itu bukan cuma di modal yang besar ta, juga masalah waktu dan keberuntungan, dua hal yang sangat tidak bisa dipisahkan. Dalam contoh ITMG kamu tidak akan mendapatkan dividen jika baru beli sahamnya pada 22 Mei 2022.
Soalnya, pembagian dividen sudah dilakukan beberapa bulan sebelumnya, bahkan jika ingin menikmati seluruhnya harus punya sejak 2021.
Lalu, apa yang terjadi dengan saham ITMG pada 2021? sampai kuartal II/2021, sentimen saham batu bara kurang begitu bagus, meski harga komoditasnya terus naik. Beberapa negara lagi menggencarkan kampanye green energy untuk meredam perubahan iklim. Bahkan, perbankan dunia mulai ogah kasih pinjaman ke sektor batu bara karena tidak ramah lingkungan.
Bayangkan, harga saham ITMG per 23 Mei 2022 memang tembus Rp32.000 per saham, tetapi setahun sebelumnya cuma senilai Rp13.000 per saham.
Jika sudut pandang saat ini, kamu akan dinilai bodoh tidak membeli saham ITMG pada Mei 2021 yang lagi murah-murahnya. Namun, jika kamu menggunakan sudut pandang tahun lalu, kamu juga akan dibilang bodoh beli saham batu bara ketika saham teknologi jaya-jayanya, serta industri batu bara dianggap sektor bisnis yang bakal tenggelam masanya.
Jika kamu membeli saham ITMG pada 2021, cukup dengan modal Rp520 juta atau setengah lebih rendah dari harga hari ini, sudah bisa menikmati pendapatan dividen yang setara pengeluaran bulanan.
Dalam bentuk artikel, dengan modal Rp520 juta bisa menghasilkan dividen Rp120 juta serta keuntungan selisih harga beli hingga di atas Rp500 juta jelas sangat indah. Dari situ, kamu sudah punya modal besar untuk menjadi investor tidur seperti sang investor kawakan LKH.
Namun, jika melihat realitanya, sebelum menjadi investor tidur, kamu harus punya modal besar dan keberanian bertaruh antara keberuntungan dan risiko. Soalnya, analisis pun terkadang keliru seperti pandangan menilai prospek saham batu bara sebelum kenaikan harga komoditas dan ancaman krisis energi dunia menerpa.
Penyesalan Saya Saat Melihat Harga Saham TLKM Lagi Murah
PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) adalah salah satu saham berkapitalisasi pasar besar di Indonesia. Bobotnya ke pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) juga terhitung besar.
Saham TLKM ini mendapatkan tekanan cukup besar. Pergantian menteri BUMN dari Rini Soemarno ke Erick Thohir membuat saham ini terus mendapatkan sorotan. Penyebabnya, sang menteri anyar banyak nyinyirin TLKM di media massa.
Beberapa diantaranya seperti, menjadi TLKM itu enak, tidak usah melakukan apa-apa sudah mendapatkan dividen besar dari Telkomsel. Selain itu, TLKM juga dianggap kurang cepat beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Bahkan, beberapa inovasi digitalnya kandas di tengah jalan, salah satunya e-Commerce Blanja.com hasil kerja sama e-Bay yang nasibnya sudah tamat pada 2020.
Dengan tekanan nyinyir saham TLKM itu, harga sahamnya pun juga tertekan sepanjang 2020, selain juga karena efek pandemi Covid-19. Melihat harga saham TLKM sempat jatuh di bawah Rp3.000-an per saham, tepatnya Rp2.800 per saham. Saya sempat masuk untuk jangka pendek dan lepas di level Rp3.200 per saham dalam sebulan. Lumayan, cuan 14 persen dalam kurang dari sebulan.
Setahun kemudian atau pada 2021, saham TLKM kembali koreksi, sempat di bawah Rp3.000-an, tapi tidak sedalam pada 2020. Namun, kali ini saya menolak masuk. Psikologi nafsu ingin cuan berniat masuk, tapi logika saya bermain untuk menolak masuk.
Alasannya cukup kuat, TLKM tidak menarik secara bisnis karena hanya Telkomsel yang bisnisnya cukup menguntungkan. Itu bukan cuma sekadar cuap-cuap, tapi saya juga mengecek kinerja TLKM saat itu.
Namun, analisis ya sekadar analisis yang bisa salah dan benar. Toh, analisis saham itu sangat subjektif. Logika saya subjektif terpengaruh omongan Erick Thohir. Akhirnya, saya melewatkan beli saham TLKM di bawah Rp3.000 per saham. Kini, harga saham TLKM sudah tembus di atas Rp4.000 per saham.
Andai, saya berani hold sejak pegang di harga bawah senilai Rp2.800 per saham. Kini, saya sudah cuan hampir 50 persen. Namun, sudahlah, itu hanya pengandaian dan semua sudah terjadi. Entah kapan harga saham TLKM bisa balik ke Rp2.800-an per saham.
Borong BBRI Saat Rights Issue
Jika TLKM adalah penyesalan saya, maka PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) adalah keberuntungan saya. Jujur, saya bukan nasabah BBRI dan bukan menjadi bank favorit. Bahkan, saya bukan nasabah bank besar di Indonesia tersebut.
Namun, saya tergelitik ketika harga saham BBRI anjlok hingga Rp3.500 per saham jelang rights issue jumbo senilai Rp90-an triliun pada akhir kuartal III/2022. Level itu bisa dibilang rendah karena BBRI baru saja mulai pulih menuju level Rp4.000-an per saham setelah market crash pada Maret 2020.
Penyebabnya, sentimen negatif rights issue jumbo BBRI yang dilepas dengan harga pelaksanaan Rp3.400 per saham. Angka yang jauh dari level Rp4.000 per saham dan dengan nilai besar. Dari situ, ada ekspektasi harga saham BBRI berpotensi koreksi ke depannya sampai rights issue selesai.
Belum lagi, ada yang membawa isu tujuan rights issue itu berpotensi membebani BBRI. Soalnya, ada aksi imbreng, penyertaan modal non tunai yang biasa dilakukan pemerintah terhadap BUMN. Di sini, pemerintah memberikan PT Pegadaian dan PT Penanaman Modal Madani (PNM) kepada BBRI dalam rights issue tersebut.
BBRI pun dijadikan sebagai holding BUMN ultra mikro karena kedua perusahaan yang diakuisisi dengan skema imbreng itu memiliki bisnis pembiayaan skala mikro.
Di sini, saya berpikir, ini aksi akuisisi yang memperkuat bisnis BBRI di segmen mikro. Dengan kehadiran Pegadaian dan PNM harusnya bisa berefek positif ke depannya, dan memperkuat pangsa pasar BBRI di bisnis mikro. Sebuah segmen yang sulit dijalani, bahkan PT Bank Danamon Tbk. (BDMN), PT Bank CIMB Niaga Tbk. (BNGA), hingga PT Bank Pundi Tbk. yang kini menjadi PT BPD Banten Tbk. (BEKS) gagal total dalam menjalankan bisnis kredit mikro.
Berhubung, intuisi nafsu memburu cuan lagi selaras dengan logika, yakni kompak beli saham BBRI sekarang, akhirnya saya borong di harga sekitar Rp3.600-an per saham. Saya akui itu keputusan yang tepat. Kali ini saya beruntung karena berani berhadapan dengan risiko.
Peluang Stock Split BBCA Dalam Bayang-bayang UNVR
Jika kamu pemula, investasi saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) saja. Sebuah cara gampang dalam menyarankan kepada pemula yang bingung mau beli saham apa. Namun, harga saham BBCA sebelum stock split atau aksi pemecahan nilai saham pada Oktober 2021 sangat mahal, sekitar Rp30.000-an per saham atau butuh modal minimal Rp3 juta untuk 1 lot BBCA.
Adapun, manajemen BBCA memberikan hadiah kejutan untuk investor ritel, yakni rencana stock split 1:5 pada Oktober 2021. Alhasil, jika harga saham BBCA sekitar Rp35.000 per saham, berarti setelah dipecah bakal menjadi sekitar Rp7.000-an per saham. Cukup modal Rp700.000 untuk beli 1 lot saham BBCA.
Namun, rencana stock split itu menuai nada pesimistis dari beberapa kelompok investor ritel. Banyak yang khawatir harga saham BBCA bisa anjlok parah seperti kejadian PT Unilever Indonesia Tbk. (UNVR) yang harganya rontok setelah stock split. Bayangkan, harga UNVR dari Rp8.000-an per saham rontok hingga sempat Rp3.000-an per saham.
Di tengah ketakutan itu, harga saham BBCA pun koreksi hingga sempat di bawah Rp30.000 per saham sebelum stock split. Dengan modal seadanya, saya mencoba masuk ke saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia tersebut.
Hasilnya, ketika hari pertama stock split, harga saham BBCA sempat sentuh Rp8.000 per saham. Adapun, rata-rata harga beli saya di saham BBCA setelah stock split sekitar Rp6.000-an per saham. Harga yang menarik dan entah kapan lagi BBCA rontok ke harga segitu.
Lagi-lagi, saya beruntung dalam mengambil risiko.
Saham SMGR yang Sudah Turun Cukup Dalam, Apakah Kali Ini Beruntung Lagi?
Setelah sukses di saham bank besar, yakni BBCA dan BBRI. Saya pun mulai mengoleksi saham PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. (SMGR). Saham sektor semen itu saya koleksi karena memang harganya sudah turun cukup dalam sehingga secara valuasi ‘mungkin’ sudah murah.
Sebenarnya, saya kurang suka dengan saham semen. Alasannya sangat mulia, karena mereka tidak ramah lingkungan, meski masuk dalam indeks saham environment, social, and government (ESG).
Apalagi, industri semen sempat mengalami oversupply atau kelebihan pasokan sehingga mereka tidak bisa ekspansi terlalu tinggi. Akhirnya, beberapa emiten semen membagikan seluruh laba bersihnya untuk dividen karena tidak bisa ekspansi akibat oversupply dan perang harga.
Cuma ya siapa yang tidak tergiur melihat rata-rata harga SMGR sekitar Rp9.000-Rp10.000-an per saham, kini berada di angka Rp6.000-an per saham?
Jika dilihat kinerja 2021, saham SMGR memiliki kinerja keuangan yang tidak begitu baik. Bayangkan, pendapatan turun 0,36 persen dan laba bersih turun sekitar 30 persen. Kondisi yang terbalik jika dibandingkan dengan kompetitor terkuatnya, yakni PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. (INTP) yang mencatatkan kenaikan pendapatan 3,98 persen, meski laba bersih turun 1 persen.
Di sisi lain, saya melihat SMGR punya peluang besar, apalagi rencana akuisisi PT Semen Baturaja (Persero) Tbk. (SMBR) ke dalam SMGR Grup pada tahun ini. Yaps, SMGR bakal rights issue untuk akuisisi SMBR dengan skema inbreng, seperti BBRI.
Keberadaan SMBR sering disebut bakal menjadi beban SMGR. Akan tetapi, jika melihat pencapaian SMBR pada 2021, bisa dibilang mulai membaik. Pendapatan SMBR naik 3,98 persen dan laba bersih melejit 78 persen yang disokong oleh efisiensi biaya.
Dengan integrasi antara SMBR dengan SMGR, berarti pangsa pasar Semen Indonesia bisa makin besar dan dari segi biaya lebih efisien. Setidaknya, itulah teori yang harusnya terjadi. Apalagi, ada rencana pembangunan ibu kota baru yang digadang-gadang juga jadi sentimen positif untuk saham semen.
Namun, apakah itu akan mengerek harga saham SMGR balik ke Rp10.000-an per saham? Jujur, saya tidak berani bilang iya karena saya bertaruh untuk diri saya sendiri dengan berbagai logika yang saya setujui. Apakah kali ini keberuntungan atau harus menerima risikonya?
Disclaimer: Saya menyebutkan investasi berhubungan erat dengan keberuntungan dan risiko bukan menganggap ini judi. Keberuntungan di sini adalah pencapaian ekspektasi yang sesuai harapan. Soalnya, dunia keuangan, termasuk soal investasi dan pasar saham sangat dinamis. Siapa coba yang nyangka bakal ada perang Rusia-Ukraina atau virus Covid-19 menjadi pandemi? namun semua hal yang tak terduga itu hadir mempengaruhi pasar keuangan, serta mempengaruhi hasil analisismu yang bisa membawa keberuntungan atau harus menerima risiko yang ada.